Imbas DPRD Muna ‘Gantung’ Pengesahan Perda, Layanan Air Dihentikan Hingga DAK Pariwisata Melayang

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Muna, Amiruddin Ako (Kanan). (LENTERASULTRA.COM/ODE)

RAHA, LENTERASULTRA.COM – Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Muna, Amiruddin Ako punya waktu kurang dari satu bulan lagi harus segera bertandang ke kantor Badan Perencana Pembangunan Nasional RI. Urusannya adalah membawa dokumen peraturan daerah rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah (RIPARDA) Kabupaten Muna yang menjadi syarat mutlak untuk mendapat dana alokasi khusus tahun 2023 mendatang. Namun sialnya, dokumen itu belum kunjung disahkan oleh DPRD Muna.

“Penginputan DAK 2023 itu dimulai April 2022 ini. Berarti paling lambat Maret ini sudah harus dibawa di Bappenas,” katanya saat ditemui di kantor Dinas Pariwisata, Selasa, (22/2/2022).

Dinas Pariwisata, lanjut Amiruddin Ako, sudah sejak 2020, 2021 dan 2022 tak mendapat DAK. Penyebabnya hanya karena Kab. Muna belum memiliki Perda tentang RIPARDA. Sebenarnya rancangan Perda itu sudah diserahkan ke DPRD Muna sejak 2019 lalu. Namun baru tahun 2021 lalu pembahasannya tuntas dilakukan. Kendati begitu, hambatannya belum selesai. DPRD hingga kini masih ‘ogah’ mengesahkan raperda itu. Padahal waktu penginputan DAK untuk 2023 sudah akan dilakukan sebulan lagi.

“Kalau disahkan lewat Maret ini, maka sia – sia. Karena kita tidak mungkin lagi dapat DAK 2023,” sambungnya.

Tidak jauh beda dengan Amiruddin Ako, masalah Perda ikut berpengaruh pada Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Dharma Muna. Direkturnya, Nur Hayat Fariki tidak habis pikir rancangan Perda yang diajukannya sejak 2019 lalu belum juga tuntas. Padahal, Perda yang mengatur perubahan status dari PDAM menjadi perusahaan umum daerah (Perumda) Air Minum tinggal disahkan lewat paripurna DPRD Muna.

“Saya juga tidak mengerti dimana masalahnya. Padahal, Perda ini sudah masuk 2019, sudah keluar biaya untuk studi banding ke Malang bersama anggota DPRD dan sudah dua kali juga dijadwalkan paripurna tapi selalu batal,” timpalnya.

Yayat, karibnya, menjelaskan Perda itu merupakan amanat Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2017. Regulasi itu mewajibkan status PDAM harus diubah dari perusahaan daerah menjadi perusahaan umum daerah. Batas waktunya dua tahun setelah PP dikeluarkan. Karena Perda perubahan status itu belum disahkan, Yayat bilang jika PDAM Muna kini termasuk ilegal alias tidak berdasar hukum.

“Karena statusnya ilegal, maka saya tidak berani mengeluarkan anggaran lagi, termasuk untuk operasional. Masalahnya sejak 2019 lalu selalu jadi temuan BPK. Mulai Rabu besok juga pendistribusian air untuk pelanggan di Kota Raha dihentikan sementara,” ungkapnya.

Yayat mengaku bingung dengan DPRD Muna. Selama ini, lembaga wakil rakyat itu hanya getol urusan budgeting. Sedangkan fungsi legislasi dan pengawasannya tidak optimal. Hal sebaliknya, DPRD justru kerap mengkritik PDAM untuk menjadi perusahaan profesional.

“Sekarang bagaimana kita mau tingkatkan kinerja kalau Perda yang mengatur PDAM tidak bisa disahkan DPRD,” ketusnya.

Ketua DPRD Muna, La Saemuna menjelaskan, memang Perda tentang PDAM dan RIPARDA termasuk dua dari empat raperda yang ditunda pengesahannya. Alasan yang dikemukakan tidak jelas, namun Saemuna menyebut hal itu sesuai hasil rapat badan musyawarah. Dalam rapat Bamus itu, kata Politisi Hanura, mayoritas anggota hanya menyetujui enam raperda untuk diparipurnakan. Antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah 2021 – 2041, review rencana pembangunan jangka panjang daerah 2005 – 2025, rencana pembangunan jangka menengah daerah 2021 – 2026, Kepelabuhanan dan revisi perda tentang Desa.

“Banyak anggota belum mau sahkan RIPARDA dan PDAM. Tidak tahu juga alasannya. Jelasnya saya hanya mengakomodir usulan anggota,” ujarnya.

Reporter: Ode
Editor: Dilah

DPRD MunaPDAMPerumdaRaperda