Indonesia Fokus Hilirisasi Industri Mineral, Ekonomi Hijau dan Digital

 

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Indonesia terus berpacu untuk tumbuh menjadi salah satu negara maju dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan tiga hal utama, mulai dari hilirisasi industri mineral, pengembangan ekonomi hijau dan industri digital.

Untuk hilirisasi industri, Jokowi menegaskan komitmen pemerintah untuk melanjutkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah (raw material).

“Kebijakan kita mengenai hilirisasi, ini akan kita teruskan. Kalau sudah kita setop (ekspor bahan mentah) nikel, nikel setop, meskipun kita dibawa ke WTO (World Trade Organisation) oleh EU (Uni Eropa), ya silakan enggak apa-apa. Ini nikel kita kok, dari bumi negara kita kok,” ujar Presiden saat menyampaikan pidato kunci pada Kompas100 CEO Forum, Kamis (18/11/2021) siang, di Istana Negara, Jakarta.

Presiden menegaskan kebijakan hilirisasi industri ini akan memberikan nilai tambah sekaligus membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di Indonesia.

“Kita kirim raw material dari Indonesia ke Eropa, ke negara-negara lain, yang buka lapangan kerja mereka dong, kita enggak dapat apa-apa,” imbuhnya dikutip dari asiatoday.id.

Tak hanya menghentikan ekspor bahan mentah nikel, Indonesia juga akan secara bertahap menghentikan ekspor bahan tambang lain seperti bauksit dan tembaga.

“Nikel, pertama udah setop. Tahun depan mungkin bisa setop bauksit, kalau smelter kita siap, setop bauksit. Sehingga kita bisa membuka lapangan kerja, hilirisasi, industrialisasi di negara kita. Bauksit sudah, tahun depannya lagi setop tembaga,” ujar Kepala Negara.

Dengan penghentian ekspor nikel, Kepala Negara memperkirakan akan terjadi peningkatan nilai ekspor hingga mencapai USD20 miliar di akhir tahun ini.

“Akhir tahun perkiraan saya, estimasi saya bisa USD20 miliar hanya dari kita setop nikel. Dan perkiraan saya kalau nanti jadi barang-barang yang lain, perkiraan saya bisa USD35 miliar hanya dari satu barang. Sehingga nanti neraca perdagangan kita baik, neraca transaksi berjalan kita menjadi semakin baik,” ujarnya.

Di hadapan para CEO yang hadir, Kepala Negara menekankan agar semua pihak memiliki strategi yang sama terkait hilirisasi industri ini.

“Kita tidak berbicara perusahaan per perusahaan, tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana ini dilakukan hilirisasi, industrialisasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Presiden menekankan pentingnya integrasi antara produk-produk yang ada.

“Tetapi yang lebih penting lagi bagaimana mengintegrasikan ini. Nikel terintegrasi dengan tembaga, terintegrasi dengan timah, terintegrasi dengan bauksit semuanya. Kalau terintegrasi nanti barang jadinya akan betul-betul dari kita semuanya bahannya,” tandasnya.

Terkait ekonomi hijau, Jokowi menegaskan bahwa pemerintah perlu mulai mengambil langkah cepat karena di masa depan negara-negara di dunia mulai meninggalkan barang-barang yang berasal dari energi fosil.

“Di G20, omongan kita juga hanya itu-itu saja sudah, orang larinya ke sini semuanya, ke green economy. Dan kita sadar, kita mempunyai kekuatan besar di ekonomi hijau ini. Oleh sebab itu, nanti bulan depan kita akan memulai membangun Green Industrial Park di Kalimantan Utara yang energinya dari green energy, dari Sungai Kayan,” ujar Presiden.

Potensi energi hidro atau (hydropower) yang dimiliki oleh Sungai Kayan diperkirakan bisa memproduksi 11-13 ribu megawatt. Selain Sungai Kayan, Indonesia juga memiliki lebih dari 4.400 sungai baik sedang maupun besar yang juga memiliki potensi untuk menghasilkan energi hijau.

“Sungai Mamberamo itu bisa kira-kira 24 ribu megawatt. Ini baru dua sungai. Kalau 4.400 sungai ini dilarikan ke hydropower, kita bisa membayangkan. Baru yang namanya hydropower,” imbuhnya.

Tak hanya lewat energi hidro, Indonesia juga memiliki energi hijau lainnya dalam bentuk geotermal atau energi panas bumi yang berpotensi menghasilkan 29 ribu megawatt. Selain itu, terdapat juga potensi energi dari angin dan arus bawah laut.

“Inilah kekuatan yang harus kita sadari dan segera kita manfaatkan untuk ke depan anak cucu kita. Kekuatan ini yang ingin kita siapkan. Dan sudah nanti di bulan depan ini nanti kita akan memulai tadi, Green Industrial Park, satu dulu. Begitu ini jalan, ini sudah mengantre, yang mengantre pengin masuk. Karena apa? Energinya hijau. Tapi butuh investasi yang sangat besar dan kita tidak punya kemampuan, sehingga swasta silakan masuk,” paparnya.

Selain ekonomi hijau, Kepala Negara juga meminta agar ekosistem ekonomi digital disiapkan karena Indonesia juga memiliki potensi besar dalam ekonomi digital.

Selain memiliki pasar yang besar, Indonesia hingga saat ini juga memiliki perusahaan rintisan atau start up sebanyak 2.229 perusahaan.

Potensi ekonomi digital Indonesia hingga tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih kurang USD124 miliar.

“Oleh sebab itu, ini juga harus disiapkan dan saya sudah memberikan target dua tahun. Kalau lepas dua tahun sudah kita keduluan oleh negara lain. Ini peta jalannya harus kita miliki. Bagaimana menyiapkan infrastruktur digitalnya, bagaimana menyiapkan pemerintahan yang digital, bagaimana menyiapkan setelah itu ekonomi digitalnya, kemudian masyarakat yang digital itu seperti apa, sehingga muncul sebuah ekosistem besar digital economy,” kata Presiden.

Untuk mencapai semua itu tentu dibutuhkan kerja besar baik berupa pembangunan infrastruktur digital seperti fiber optik, satelit, base transceiver station atau BTS, dan sebagainya. Tak hanya itu, infrastruktur di sisi hilirnya juga perlu disiapkan, misalnya pusat data atau data center.

“Percaya saya, kita hanya punya waktu hanya dua tahun menyiapkan ini, cepat-cepatan. Regulasi-regulasi kita yang terlambat terus, fintech-nya sudah lari, regulasinya belum ada. Ini kerja-kerja dengan kecepatan ini sekarang yang kita perlukan,” ujarnya.

Di samping infrastruktur, sisi sumber daya manusia (SDM) juga adalah faktor lain yang diperlukan untuk membangun ekosistem ekonomi digital. Untuk itu, Presiden Jokowi mendorong agar digital leadership academy disiapkan dengan bekerja sama dengan beberapa universitas ternama.

“Kemarin sudah mulai ketemu dengan Oxford, dengan Harvard, dengan NUS, dengan Tsinghua, sudah kerja sama. Enggak mungkin kalau kita ingin cepat kemudian kita sendirian, enggak mungkin sekarang ini sudah. Sehingga segera kita harus yang namanya ekosistem digital itu betul-betul bisa terbentuk dan bisa segera bisa kita jalankan,” tandasnya. (ATN)

ekonomi hijauEkonomi Hijau dan DigitalIndonesiaIndonesia Fokus Hilirisasi Industri Mineral