JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa Indonesia sudah tidak lagi mengekspor nikel ore ke China sejak larangan ekspor diberlakukan mulai Januari 2020.
Penegasan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin saat konferensi pers virtual, Selasa (26/10/2021). Hal ini disampaikan menyusul adanya temuan Ekonom Senior Indonesia, Faisal Basri yang menyebutkan bahwa Indonesia telah kecolongan karena ekspor nikel ore masih terjadi. Ia merujuk pada data Bea Cukai China, dimana tercatat ada impor bijih nikel sebanyak 3,4 juta ton ke negeri itu dari Indonesia.
“GCAC pada 2020 mencatat masih ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia dengan nilai jauh lebih tinggi dari 2014, yakni USD193,6 juta atau Rp2,8 triliun, lebih tinggi dari 2019,” papar Faisal dikutip dari asiatoday.id.
Menurut Djamaluddin, Indonesia tidak kecolongan. Kepastian ini didapat usai pihaknya bertemu dengan kementerian/lembaga terkait dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di China.
“Tidak ada kecolongan per status hari ini. Dari rapat yang dihadiri oleh kementerian/lembaga terkait serta KBRI, tidak ada satu pun kementerian yang mengkonfirmasi adanya impor bijih nikel dari Indonesia di China,” tegasnya.
Meski demikian, kementerian masih mengonfirmasi ulang informasi tersebut ke Bea Cukai China.
“Dalam sistem di China, bijih nikel dan konsentrat itu HS number-nya sama, sehingga belum pasti apa yang diimpor itu, apakah bijih nikel atau konsentrat, ini sedang kami klarifikasi atau konfirmasi dengan Bea Cukai China melalui KBRI di sana,” jelasnya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Indonesia mencatat memang ada ekspor bijih nikel sebanyak 3,6 ton pada 2020. Sementara pada tahun ini ada sekitar 1 ton.
Namun, hal ini bukan ekspor komersial, melainkan pengiriman sampel. Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyatakan tidak ada ekspor tersebut.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan empat smelter beroperasi di tahun 2021. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, dari empat smelter yang ditargetkan selesai, dua perusahaan telah menyelesaikan konstruksi fisik smelter. Kedua perusahaan tersebut adalah PT Smelter Nikel Indonesia dan PT Cahaya Modern Metal Industri.
“Harusnya keempat smelter ini selesai 2021. Namun yang saat ini selesai secara fisik 100 persen adalah PT Smelter Nikel Indonesia dan PT Cahaya Modern Metal Industri,” ujarnya.
Untuk PT Cahaya Modern Metal Industri di Banten telah terbangun 100 persen dan telah melakukan kegiatan produksi. Sementara PT Smelter Nikel Indonesia di Banten meski telah terbangun 100 persen dan telah berhasil melakukan uji coba produksi, kegiatan perusahaan berhenti sementara karena kekurangan dana untuk operasi.
“Untuk Smelter Nikel Indonesia masih butuh dukungan pendanaan institusi keuangan,” kata Ridwan.
Dua smelter lainnya, yaitu PT Antam di Maluku Utara telah terbangun 97,7 persen namun masih menunggu pasokan listrik.
“Secara fisik sudah selesai namun pasokan listrik yang belum ada sehingga belum beroperasi. Ini sedang diupayakan agar Antam bekerja sama dengan PLN saja menyelesaikan masalah,” jelas Ridwan.
Kemudian PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah telah terbangun 99,87 persen. Saat ini sedang menunggu tenaga ahli dari China sebagai ahli proses smelter yang direncanakan akan datang di bulan Oktober 2021. (ATN)