JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Mural sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Dalam foto atau rekaman video era penjajahan Belanda, kita bisa melihat lukisan atau tulisan-tulisan bernada kritik dan perjuangan. Salah satunya yang mungkin paling populer adalah tulisan Merdeka Ataoe Mati, dengan berbagai variasi, karya anak muda era kemerdekaan.
Sejarawan Bonnie Triyana menemukan catatan yang mungkin bisa dijadikan penanda sejarah mural di Indonesia. Pemimpin Redaksi Historia.id ini menyebut, ada arsip laporan Dinas Pengawasan Politik di masa Belanda. Laporan itu ditulis oleh Raden Salamoen, seorang Wedana Reserse di lembaga kepolisian.
“Raden Salamoen membuat laporan pada 3 september 1937 ada seorang warga Yogya bernama SK Mochamad ditangkap atas tuduhan menghina penguasa. Mochamad ini bikin grafiti di tembok Pengadilan Negeri Yogyakarta dan di sebuah tembok di kampung Notoyudan di Yogya,” kata Bonnie dikutip dari voaindonesia.com.
Mochamad membuat tulisan yang menghina Ratu Wilhelmina dengan istilah kasar. Dia juga menulis kalimat perlawanan seperti “Perdjoangan Rakjat Marhaen”, “Tidak Oesah Takoet Menentang Kekoeasaan”, dan “Pembrontakan Kita Kehendaki”
Bonnie mengatakan ada banyak seniman yang ikut terlibat dalam protes melalui karya di ruang publik ini. Mereka antara lain tergabung dalam Seniman Indonesia Muda dan Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI). Mural yang didominasi gambar maupun grafiti yang berupa tulisan, menyuarakan protes melawan Belanda, hingga ke era pasca kemerdekaan. Ketika Belanda berupaya kembali masuk ke Indonesia dengan bantuan Sekutu, para seniman juga bergerak.
Peran seni di ruang publik itu terasa. Bonnie mengatakan seorang perwira Sekutu mengirim laporan yang mengatakan, berdasar apa yang dia lihat dalam protes-protes itu, Indonesia sudah berdiri. Perwira itu bahkan mengatakan, tidak mungkin lagi membantu Belanda mengembalikan kekuasaan mereka setelah Jepang pergi.
“Melihat kondisi di Indonesia dan mengenali semua pesan di ruang publik itu, bisa dilihat bagaimana sikap Indonesia dan perkembangan politik terakhir semenjak kekalahan Jepang,” kata Bonnie terkait laporan perwira Sekutu itu.
Paparan itu disampaikan Bonnie dalam diskusi Mural: Semangat Melawan Regresi Demokrasi, yang diselenggarakan Public Virtue Institute, Minggu (12/9).
Mural dan grafiti didefinisikan secara sederhana sebagai lukisan pada dinding atau permukaan luas. Mural menonjolkan gambar, sedang grafiti mengedepankan tulisan. Apa yang dilukiskan tentu beragam, mulai dari kritik sosial, politik, kampanye hidup sehat, sosialisasi Keluarga Berencana (KB) hingga obyek yang memang hanya ingin menampilkan karya seni itu sendiri tanpa tendensi.
Mural bergambar wajah mirip Jokowi dengan tulisan 404: Not Found dilukis seseorang di kolong tol kereta bandara, kawasan Batuceper, Tangerang. Sementara di kota lain, juga muncul mural dengan protes senada dengan kalimat seperti “Tuhan Aku Lapar” atau “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit.” Reaksi pemerintah, terutama di daerah, yang dinilai berlebihan karena menghapus mural itu, justru mengundang reaksi.
Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) misalnya, justru menggelar lomba mural sebagai cara menyampaikan kritik dari masyarakat. Meski disebut lomba, ajang ini bukan kompetisi. Mimin Muralis, mewakili ARB dalam diskusi ini menyebut suasana pandemi mendorong sikap otoritarian pemerintah di berbagai belahan dunia menjadi lebih menonjol.
Selain itu, ARB juga menilai ada kekecewaan politis dari rakyat terhadap politisi, yang kemudian terwujud dalam berbagai platform protes, mulai puisi, film, lagu, teater, hingga novel.
“Kita melihat bahwa penghapusan yang di Tangerang dan beberapa daerah lain, sebagai tragedi sampingan, bagaimana kritik ini malah dibungkam. Saya melihat dari berbagai dokumentasi, bagaimana seniman-seniman itu merefleksikan keadaan atau situasi rakyat hari ini. Seperti kalimat “Tuhan Aku Lapar”, atau “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit,” kata Mimin.
Pemerintah dinilai Mimin tidak melihat seni yang juga berfungsi sebagai kritik. Refleksi seniman melalui karya justru dibungkan, karena ada upaya memonopoli pemahaman terkait kondisi yang terjadi.
“Pemerintah tidak melihat seni sebagai refleksi atau keadaan di masyarakat. Mereka hanya melihatnya sebagai esensi politis, yang dianggap mengganggu stabilitas ekonomi atau stabilitas politik,” kata Mimin.
Karena itu, pendekatan yang diambil pemerintah adalah menempatkan karya seni itu sebagai produk yang melanggar aturan terkait fasilitas umum.
Obed Bima Wicandra, dosen yang mendalami seni jalanan dari Universitas Petra, Surabaya, menyebut dalam sudut pandang seniman jalanan, seni jalanan adalah respons terhadap ruang publik. Ruang publik adalah ruang yang bisa menjadi ruang bersama.
“Tetapi itu yang kemudian menjadi pertanyaan, ketika ada seni jalanan itu sendiri. Apakah benar ruang publik itu adalah ruang bersama? Apakah benar ruang publik itu benar-benar dimiliki secara bersama?” kata Obed bernada tanya.
Pertanyaan itu wajar dimunculkan karena ketika seni jalanan muncul, seniman pembuatnya ternyata tidak bebas mengekspresikanya di ruang publik.
“Di Surabaya misalnya,ada taman kota, difungsikan sebagai ruang publik. Tetapi ada aturan, tidak boleh begini dan begitu,” lanjut Obed.
Karena itulah kemudian muncul pertentangan. Pemerintah daerah berpegang pada aturan yang mereka buat, sementara di sisi lain seniman jalanan menuntut hak untuk berkarya. Karya-karya itu muncul karena kegelisahan, karena pemerintah dinilai tidak mendengar suara atau protes dari masyarakat. Seniman, kata Obed, meyakini tetap ada warga yang menikmati seni jalanan seperti mural. Karena itu, mereka menuntut sikap lebih adil dari pemerintah terkait karya seni ini.
Indonesia memang belum menjamin hak kebebasan berpendapat secara ideal. Setidaknya, kata Amalinda Savirani, kondisi itu tercermin dari survei lembaga Pew Research pada 2015. Amalinda adaah pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, Yogyakarta. Indonesia dalam survei ini masih berada dalam kelompok yang sama dengan India dan Rusia terkait kebebasan berpendapat. Dalam survei skala nasional pun, kata Amalinda, kondisinya tidak berbeda jauh.
“Kalau kita cek beberapa data survei, hampir sama isinya. Kira-kira mengonfirmasi kecenderungan Indonesia yang tidak mendukung gerakan prodemokrasi, khususnya kebebasan berpendapat,” kata Amalinda.
Dia juga mengutip dua hasil survei yang hasilnya relatif senada. Survei Ikatan Politik Indonesia 2020 menemukan, hampir 70 persen responden setuju, bahwa publik kian takut menyatakan pendapat.
“Atau kalaupun bukan takut, bentuknya adalah self censorship, karena sudah merasa ini bakalan kena. Lebih parah dari Orde Baru, yang memang sangat menyensor, tapi kalau kita sekarang sudah duluan menyensor diri sendiri sebelum mengatakan sesuatu dan itu sekarang banyak sekali terjadi.
Itu tanda yang tidak baik bagi kualitas demokrasi,” kata Amalinda.
Selain itu, LP3ES belum lama juga membuat survei yang sama. Menurut Amalinda, angkanya memang lebih rendah, yaitu sekitar 53 persen publik yang merasa ketakutan untuk berpendapat. Namun, tetap ini ini menjadi peringatan terhadap kondisi demokrasi di Indonesia saat ini
Semua tidak terlepas dari rezim yang saat ini berkuasa, yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Karena membutuhkan stabilitas, maka represi atas hak politik diterapkan.
Karena itu, pengingat bagi pemerintah dalam berbagai bentuk, seperti mural jalanan tetap dibutuhkan. Paling tidak, ekspresi itu bisa menjadi pengingat bagi penguasa bahwa ada persoalan yang tidak bisa ditutupi.
Amalinda juga menilai, jika represi terhadap ekspresi seni jalanan ini berlanjut, kondisinya bisa berbahaya. Bukan tidak mungkin, arahnya akan menuju ke represi kampus atau penerbitan buku.
“Modelnya bisa seperti hit and run yang sekarang harus dilakukan, kalau habis dibersihkan ya dibikin lagi saja. Begitu, untuk bisa mengingatkan kembali publik soal ini,” tambah Amalinda.
Selain itu, publik juga bisa memanfaatkan media internet yang hingga saat ini masih cukup memberi ruang. Penting juga untuk membangun kerja sama lintas sektor, untuk terus mengingatan bahwa jika kebebasan berpendapat ditekan, dampaknya akan berbahaya. [ns/ah/VOA]