JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Tujuh September 2021, tepat 17 tahun kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Siapa dalang pembunuhan aktivis HAM Munir yang belum terungkap hingga kini menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah dalam mengungkap kasus ini.
Munir tewas diracun dalam penerbangannya dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Melansir dari laman Kontras, pembunuhan Munir merupakan serangan sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap warga sipil. Kejahatan yang teroganisir itu diyakini melibatkan beberapa pihak dari kalangan berpengaruh.
Dalam diskusi membahas 17 tahun kematian Munir yang digelar secara virtual di Jakarta, Senin (6/9), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan kematian Munir merupakan pembunuhan politik, karena ketika itu Munir berseberangan dengan orang-orang yang berkuasa di bidang keamanan negara. Munir juga kerap bersebrangan dengan pemerintah.
“Munir jelas orang yang sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan institusi keamanan seperti badan intelijen, yang ketika itu beberapa kali hendak menyatakan kewenangan yang berlebihan berupa kewenangan menangkap, menggeledah, menahan, membuka rekening, menyadap telepon, dan seterusnya yang juga berkali-kali ditentang oleh Munir bersama dengan kalangan masyarakat sipil dan mahasiswa ketika itu,” kata Usman dikutip dari voaindonesia.com.
Menurut Usman, Munir juga orang yang sangat vokal menyuarakan pertanggungjawabn negara untuk mengadili elit politik tertentu, terutama yang berlatar belakang militer, di balik sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Munir dikenal sangat kritis terhadap kebijakan pemerintahan Megawati, baik kebijakan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, Tanjung Priok, maupun peristiwa pelanggaran HAM yang berlangsung di Aceh dan Papua.
Usman menyebutkan kasus pembunuhan Munir menjadi peringatan bagi semua masyarakat Indonesia soal betapa kotornya kontestasi elektoral di Indonesia. Juga betapa minimnya jaminan keamanan dan perlindungan hukum bagi pejuang demokrasi serta HAM, seperti Munir.
Usman menambahkan kuat dugaan pembunuhan Munir waktu itu berkaitan erat dengan situasi politik di Tanah Air, karena hanya dua pekan menjelang pemilihan presiden langsung putaran kedua. Hubungan pembunuhan Munir dengan kondisi politik saat itu makin terasa jika dilihat dari partisipasi politik Munir dalam pemilihan presiden putaran pertama di awal Juli 2004.
Ketika itu, Munir menyuarakan dukungan secara terbuka kepada pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo. Selain itu, terdapat tiga pasangan calon lain, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputeri dan Hasyim Muzadi, serta pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar.
Usman mengatakan pemerintahan ketika itu dipegang oleh orang-orang yang secara politik merupakan patron dari pemerintahan yang sekarang berkuasa. Itulah sebabnya pemerintahan Joko Widodo tidak terlihat memiliki kekuatan dan bahkan tidak mempunyai kemauan untuk mengusut tuntas pembunuhan terhadap Munir.
Bahkan, kata Usman, pemerintahan sekarang tidak ada kekuatan baru untuk melepaskan diri dari patron politik yang ketika Munir dibunuh merupakan orang-orang yang mengendalikan kekuasaan pemerintah.
Pada kesempatan tersebut, Sekretaris Jenderal Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti menjelaskan koalisi masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi, karena kasus pembunuhan Munir merupakan ancaman bagi demokrasi dan hukum di Indonesia.
Dia menambahkan masyarakat sipil penting untuk berkonsolidasi karena kekuatan oligarki sudah dan makin kuat berkonsolidasi.
Menurut Bivitri, 17 tahun kasus pembunuhan Munir menjadi penanda penting bagi dua hal.
“Pertama, memang tidak ada keseriusan dari pemerintahan, dari 2004 sampai sekarang, Tapi yang sekarang ini kan masa jabatannya sepuluh tahun sendiri, terhadap hak asasi manusia, terhadap keadilan. Jangan lupa, pembunuhan Munir adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujar Bivitri.
Kalau memang Indonesia negara hukum, lanjut Bivitri, pemerintah harus menyelesaikan kasus Munir secara hukum, dan tidak hanya menggunakan hukum untuk menekan masyarakat sipil.
Faktor kedua, adalah adanya aktor-aktor penghalang dalam penyelesaian kasus Munir. Hal ini bisa terlihat dari dokumen hasil investigasi tim pencari fakta yang hilang. Dengan masih berkeliarannya aktor-aktor intelektual dalam kasus pembunuhan Munir, akan makin memperkuat kultur impunitas dan ada kemungkinan kasus seperti pembunuhan Munir akan berulang.
Karena itu, Bivitri mendorong semua kelompok masyarakat sipil untuk terus menyuarakan keadilan bagi korban, yakni keluarga almarhum Munir, dan perlindungan bagi para pembela HAM.
Dalam siaran pers yang diterima, seratus tokoh demokrasi mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengusut aktor intelektual dalam pembunuhan terhadap Munir. Pengusutan tersebut sangat penting untuk menunjukkan komitmen presiden atas demokrasi.
Menurut seratus tokoh demokrasi itu, negara bertanggung jawab untuk melakukan penyelesaian kasus pembunuhan Munir secara terbuka. Perkara ini bukan hanya belum tuntas, tetapi sering dipolitisasi dan menjadi komoditas politik menjelang pemilihan umum. Kasus ini bukan cuma menjadi janji kampanye calon presiden, tetapi menjadi bom waktu bagi rival politik atau oposisi untuk menyerang pesaingnya atau pemerintah melalui isu HAM.
Penyelesaian perkara pembunuhan Munir penting untuk mencitakan wajah baru penegakan HAM di Indonesia serta perbaikan citra terhadap wajah politik dan hukum di Indonesia.
Penyelesaian yang segera dan tuntas terhadap kasus pembunuhan Munir akan melahirkan suatu jaminan pembunuhan politik seperti ini tidak akan terulang pada pemilihan umum di masa depan. Penyelesaian kasus Munir akan menjadi tonggak upaya menanamkan prinsip perlindungan terhadap perbedaan pendapat dan penegakan hak politik semua warga negara. Pengungkapan perkara Munir akan menegaskan dihentikannya praktek-praktek kuno dan tidak beradab berwujud penggunaan kekerasan dalam politik di Indonesia.
Ketika VOA meminta tanggapan kepada juru bicara presiden bidang hukum, Dini Purwono, soal desakan para tokoh demokrasi tersebut, dia menyatakan isu tersebut sudah dilegasikan ke Kemenkopolhukam. Pihak Kemenkopolhukam hingga berita ini diturunkan belum menanggapi desakan tersebut. [fw/em/VOA]