Pemerintah Buka Opsi Vaksin Booster Covid-19 Berbayar

Vaksinasi ibu hamil di UGM, Yogyakarta, Kamis (19/8). (Foto: Humas UGM)

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan pihaknya membuka opsi untuk melakukan suntikan dosis ketiga atau booster vaksin Covid-19 bagi masyarakat umum secara berbayar pada awal tahun depan. Menurutnya, hal ini akan dilakukan apabila target vaksinasi Covid-19 suntikan pertama dan kedua telah tercapai. Sampai saat ini pemerintah baru memberikan n booster hanya untuk para tenaga medis.

Presiden Joko Widodo, ujar Budi, telah menyetujui rencana booster berbayar tersebut. Menurutnya, pemerintah akan menanggung biaya booster hanya bagi masyarakat yang tidak mampu atau yang sudah tercantum dalam Daftar Penerima Bantuan Iuran (PBI) di BPJS Kesehatan.

“Sedangkan yang lain, karena toh biayanya tidak terlalu mahal akan dimasukkan ke skema yang umum. Bisa beli langsung dari (biaya) diri sendiri atau juga bisa melalui mekanisme BPJS. Dengan demikian harga suntikannya mungkin bisa USD7-USD8 satu kali suntik atau tidak sampai Rp100 ribu, itu bisa langsung dilakukan oleh yang bersangkutan dan menurut pendapat saya, kita akan secara terbuka menyebutkan vaksin-vaksin yang masuk sehingga rakyat yang ingin mendapatkan booster bisa memilih, yang memiliki uang mau menyuntik Rp100 ribu-Rp150 ribu bisa memilih sedangkan yang memang PBI bisa kita lakukan subsidinya lewat BPJS,” ungkap Budi saat rapat dengan Komisi IX DPR RI, di Jakarta, Rabu (25/8).

Rencana suntikan dosis ketiga vaksin Covid-19 ini, kata Budi, dilakukan karena secara klinis booster terbukti menurunkan risiko kesakitan parah dan kematian akibat terpapar virus corona. Diakuinya memang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai saat ini belum menganjurkan booster. Sikap WHO ini bukan karena isu kesehatan, melainkan karena jumlah vaksin yang masih sangat terbatas. Masih banyak orang di berbagai negara belum bisa mendapatkan akses vaksin Covid-19. Maka dari itu, Kemenkes pun akan berusaha untuk memenuhi target vaksinasi ini di tanah air terlebih dahulu.

“Sampai saat ini baru 58 juta rakyat Indonesia yang beruntung yang bisa mendapatkan akses untuk suntik pertama. Dan mungkin sekitar 30 juta yang mendapatkan akses suntik kedua. dengan jumlah vaksin yang masih terbatas, mungkin akan lebih pas itu kita berikan kesempatan ke teman-teman yang even belum mendapatkan kesempatan untuk suntik pertama,” tuturnya.

Budi mengatakan, sebanyak 34 persen atau 450 ribu nakes telah mendapatkan booster.

Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan booster bagi masyarakat umum belum dibutuhkan. Menurutnya, vaksin dosis pertama dan kedua masih cukup untuk melindungi masyarakat dari risiko keparahan dan kematian akibat Covid-19.

“Bukti apa? Engga ada bukti. Vaksin yang sekarang masih bisa memproteksi. Jadi keputusan booster saja belum dipikirkan, belum ada data-datanya semuanya masih tahap riset. Jadi kalau sampai memikirkan opsi yang berbayar itu tidak relevan, keputusan booster saja belum ada,” ungkapnya dikutip dari voaindonesia.com.

Lebih lanjut Pandu menekankan bahwa pemerintah harus fokus dalam memperluas cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia yang sampai saat ini masih rendah. Ia mengatakan,sudah terbukti bahwa masyarakat yang mengalami keparahan dan meninggal akibat terpapar virus corona adalah orang yang sama sekali belum divaksin.

“Belum ada indikasi, bekum ada data. Jadi tidak usah ikut-ikutan negara lain seperti Amerika, Israel, karena kalau mereka sudah ada bukti, kalau kita kan belum ada bukti karena vaksinasi kita masih rendah. Problem utama kita masih besar, banyak penduduk yang belum divaksinasi, kenapa harus memikirkan orang yang sudah divaksinasi untuk divaksin lagi? Jadi orang yang belum divaksin itu, yang paling rawan terkena, itu yang fokusnya harus ke sana,” jelasnya.

Dalam kesempatan ini, Budi menjelaskan bahwa kemungkinan besar herd immunity atau kekebalan komunal di Indonesia sulit untuk dicapai, akibat adanya varian delta. Informasi ini ia dapatkan setelah mendapatkan berbagai masukan ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair).

“Vaksin yang efikasinya paling tinggi seperti Pfizer dan Moderna yang terhadap varian delta efikasinya sudah turun dari 90 persen ke level 60-70 persen. Dan juga dengan kenyataan bahwa varian delta yang baru ini replicate generate-nya jauh lebih tinggi dari Wuhan, bisa sampai 5-8 kali. Jadi berdasarkan keilmuan dan hasil diskusi dengan tiga profesor di tiga perguruan tinggi sudah sampaikan bahwa herd immunity tidak mungkin tercapai. Jadi kalau mau (tercipta herd immunity) vaksin pun harus lebih tinggi dari efikasi vaksin yang ada sekarang dengan varian delta,” jelas Budi.

Dengan penularan yang masih terjadi di tengah-tengah masyarakat, virus ini, menurutnya terus bermutasi.Yang terbaru, ujar Budi, adalah varian virus corona jenis Lamda di Amerika Selatan yang menyebabkan kenaikan kasus positif corona di 30 negara. Di Asia Tenggara sendiri, katanya, jenis Lamda baru ditemukan di Filipina.

Vaksinasi COVID-19 Sinovac untuk siswa usia 12-17 tahun di Medan, Sumatera Utara, 12 Agustus 2021. (AP Photo/Binsar Bakkara)

“Jadi mungkin at the end of the day, kenyataannya bahwa ini akan sama seperti polio, cacar yang tidak mungkin kita hapuskan. Kita harus memang hidup bersama dengan virus ini untuk waktu yang cukup lama. Sekarang bagaimana dengan kombinasi protokol kesehatan yang baik dengan vaksinasi yang mungkin bisa meningkatkan kekebalan tubuh kita, dengan kebiasaan hidup kita yang sehat, kemudian ada perkembangan dari sisi therapeutic side, dari sisi obat-obatannya sehingga kita bisa mengurangi risiko kematian, karena sebenarnya juga tidak terlampau tinggi, kalau dibandingkan dengan HIV/AIDS, atau Mers,” pungkasnya. [gi/ab/VOA]

Covid-19IndonesiaPemerintah Buka Opsi Vaksin Booster Covid-19 BerbayarSultra