JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Sesak napas, letih, dan depresi adalah sejumlah keluhan yang dialami sebagian pasien Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh namun masih merasakan efek berkepanjangan. Sindrom pasca Covid ini, yang belum ada istilah resminya, sering dijuluki sebagai “long Covid”.
Suci Nuzleni yang pada umumnya relatif sehat, terinfeksi Covid-19 dengan gejala ringan pada November. Setelah menjalani isolasi di rumah sakit, perempuan 38 tahun ini dinyatakan sembuh pada Desember. Tapi, penderitaannya tak usai disitu. Meski sudah negatif Covid, ia kerap mengalami beberapa gejala yang timbul tenggelam.
“Selama empat sampai lima bulan saya mengalami ”long Covid”, seperti masih merasakan greges, atau sensasi gerakan otot setiap sore menjelang malam. Selain itu gampang sekali ngos-ngosan kalau naik tangga atau melakukan aktivitas berat. Saya juga mengalami hilang rasa asin hingga empat bulan pasca Covid,” ujarnya.
Puncaknya pada Juni, ia dirawat inap karena jatuh sakit. Hasil tes Covid negatif. Ia didiagnosis mengidap infeksi saluran pencernaan dan bronkopneumonia, infeksi yang mengakibatkan terjadinya peradangan pada paru-paru. Hasil tes juga menunjukkan ia mengalami pengentalan darah di atas normal, kondisi yang tak terjadi sebelum terjangkit Covid.
Tak hanya dari segi fisik, ibu dua anak ini juga sering merasa cemas.
“Setiap mengingat masa berada di ruang isolasi, rasa/sensasi ketika sakit Covid, membuat saya cemas. Ternyata rasa cemas itu hilang timbul. Sampai akhirnya ketika Juni lalu, ketika tubuh drop dan saat kasus Covid sangat tinggi, gangguan kecemasan saya memuncak. Saya sampai konsultasi ke psikiater dan rutin melakukan hipnoterapi untuk bisa menenangkan pikiran,” ujarnya dikutip dari voaindonesia.com.
Suci adalah satu dari banyak penyintas yang dijuluki “Covid long hauler”, yaitu orang yang belum pulih sepenuhnya dari beberapa dampak Covid.
Berbagai studi menunjukkan antara 10-30 persen penyintas akan mengalami ‘long Covid’ dengan beragam gejala, seperti letih, nafas tersengal-sengal, “otak berkabut,” gangguan tidur, demam, gangguan pencernaan, kecemasan dan depresi.
Ketua tim Divisi Kesiapan Perawatan Kesehatan WHO, Janet Diaz, mengatakan masih belum jelas siapa yang paling berisiko terkena ‘long Covid’. Dia mengatakan para peneliti belum mengetahui mengapa ‘long Covid’ terjadi dan berusaha mencari jawaban atas banyak pertanyaan seputar penyakit ini.
“Kami jelas prihatin dengan jumlah pasien yang terinfeksi virus corona. Kami tidak tahu seberapa umum atau seberapa jarang itu terjadi. Namun melihat jumlahnya, mengingat luasnya pandemi, akan berdampak pada sistem kesehatan,” jelasnya.
Kandidat PhD Ilmu Kedokteran Universitas Kobe Jepang, dr. Adam Prabata, menyampaikan pesan senada. “Karena kita ngga tahu pasti penyebabnya, kita ngga tahu pasti pencegahannya kalau sudah kena, jadi mau ngga mau pencegahannya dari sebelumnya yaitu jangan sampai kena Covid, entah itu di protokol kesehatan atau vaksin,” jelasnya kepada VOA.
Survivor Corps, kelompok nirlaba AS yang bertujuan mengadvokasi para penyintas Covid dan keluarga mereka, mengadakan survey yang melibatkan hampir 1.000 penyintas yang mengalami ‘long Covid’. Hasil yang diumumkan pada April menunjukkan 42 persen merasa gejalanya membaik setelah divaksinasi.
“Vaksin itu berpotensi mencegah ‘long Covid’ dari awal supaya tidak kena Covid, dan yang kedua, orang yang sudah Covid, ketika dikasih vaksin, lebih meringankan keluhannya,” jelas Adam.
Berbagai studi panjang masih diperlukan untuk mengetahui dampak vaksinasi terhadap kondisi pasca Covid, serta bagaimana cara terbaik menangani pasien dengan dampak jangka panjang ini.
Suci, yang baru menerima satu dosis vaksin, kini berusaha menjaga kondisi kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh dengan makan teratur, tidur cukup, olahraga dan mengonsumsi berbagai jenis vitamin. [vm/ab/VOA]