JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Presiden Joko Widodo mengklaim bahwa pemerintah tidak hanya memberikan kemudahan izin berusaha atau berinvestasi bagi investor besar dan investor asing. Ia menjelaskan, berbagai kemudahan untuk berinvestasi telah diupayakan pemerintah lewat penerbitan Undang-Undang (UU) Cipta kerja yang dimaksudkan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha di Indonesia, serta memberikan perlindungan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), koperasi dan industri nasional.
Jokowi mencontohkan penyederhanaan perizinan berusaha di pusat dan daerah, penyederhanaan perizinan berusaha berbasis risiko, dan pemberian berbagai insentif diharapkan dapat meningkatkan minat investor khususnya investor dari Tanah Air. Selain itu, pihaknya juga telah membentuk Satgas Percepatan Investasi yang bertugas untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha serta mendorong kerja sama antara investor kelas kakap dengan UMKM.
Dengan semua itu, ia berharap akan tercipta pemerataan, kemandirian ekonomi dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa investasi jangan hanya dilihat investor besar. Pemerintah juga memberikan akses yang setara kepada golongan UMKM dan koperasi. Investor berbasis UMKM dan koperasi sama mulianya dengan investor besar, investor asing yang sama-sama memberikan kesempatan kerja kepada rakyat Indonesia, sama-sama berperan memajukan perekonomian bangsa,”ujar Jokowi dalam sambutannya di acara Investor Daily Summit, di Jakarta, dikutip dari voaindonesia.com.
Pentingnya keseteraan dan kemudahan investasi bagi semua investor ini bukanlah tanpa sebab. Pasalnya, Jokowi menilai bahwa investasi merupakan salah satu kunci utama dalam pemulihan ekonomi nasional, setelah dihantam pandemi COVID-19. Maka dari itu, meskipun situasi pandemi cukup sulit pemerintah akan terus melakukan reformasi dan transformasi struktural ekonomi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira mengatakan kemungkinan munculnya investor kecil baru pada masa pandemi COVID-19 sangat kecil. Situasi yang terjadi saat ini membuat banyak investor UMKM tidak menangkal hantaman keras akibat perebakan wabah virus corona. Maka dari itu, yang bisa dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah mendorong dan menjembatani kerja sama antara para pengusaha kecil dan besar tersebut.
Meski begitu, ada beberapa masalah yang membuat para pengusaha kelas kakap enggan untuk bekerja sama dengan investor kecil ini, diantaranya standarisasi atau kualitas produk dari pengusaha kecil ini tidak sesuai dengan yang diharapkan investor besar. Selain itu seringkali para pengusaha kelas kakap ini lebih memilih mengimpor bahan baku untuk dijual kembali di pasar domestik ataupun untuk keperluan ekspor, sehingga hubungan antara pengusaha lokal dan investor besar pun menjadi terputus.
“Seharusnya ada peran pemerintah, kementerian atau BUMN untuk menjadi jembatan, karena selama tidak ada jembatan itu maka investor asing atau investor kakap cenderung untuk bermain sendiri, tidak melakukan kerja sama dengan investor yang kecil. Kalau mengharapkan investor yang kecil sekarang skala UMKM, kecuali beberapa misalnya investor yang ada di sektor kesehatan, sektor ekonomi digital, tapi yang lainnya itu banyak yang sekarang bisa bertahan dulu, rencana ekspansinya banyak ditunda apalagi ada PPKM Darurat,” jelas Bhima kepada VOA.
Keengganan para investor besar untuk melakukan kolaborasi dengan investor kecil ini, katanya, kemungkinan terjadi karena pemerintah tidak memberikan insentif kepada mereka.
“Kalau di negara misalnya Korea Selatan itu salah satu negara yang mampu mengintegrasikan antara perusahaan konglomerasi seperti Samsung, LG dengan pemain kecil terutama dalam menyerap bahan baku maupun distribusi produknya. Untuk di Indonesia kita belum punya skema itu sehingga yang besar besar. Yang kecil ya kecil semuanya bermain dalam bidang yang berbeda padahal dalam satu rantai pasok yang sama. Jadi PR besarnya adalah harus dari dua sisi, yakni dari pelaku usaha UMKM-nya dituntut untuk meningkatkan kualitas sementara pelaku yang besar-besarnya itu diberikan insentif sehingga mau bekerja sama,” jelasnya.
Dalam kesempatan ini, Presiden juga menyoroti potensi ekonomi digital Indonesia yang diprediksi bisa menjadi yang terbesar se-Asia Tenggara. Selama tahun 2020, nilai transaksi perdagangan digital Indonesia mencapai Rp253 triliun. Nilai tersebut, ujarnya, diperkirakan bisa meningkat sampai Rp330,7 triliun pada tahun ini.
“Nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dalam 10 tahun ke depan. Potensi-potensi yang belum tergarap optimal harus kita temukan dan kembangkan,” tuturnya.
Menurutnya, dengan berbagai potensi tersebut tahun ini akan menjadi momentum Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19. Maka dari itu Jokowi mengajak semua pihak untuk terus membangun optimisme dan harapan agar semuanya mampu bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi baru yang semakin kokoh, tangguh dan mandiri.
Bhima pun mengakui bahwa pandemi COVID-19 telah mengubah perilaku masyarakat. Belanja online yang kian populer membuat potensi ekonomi digital Indonesia pun cukup besar untuk berkembang. Selain itu, pandemi juga memunculkan varian bisnis digital baru seperti agritech (pertanian), healthtech (kesehatan), edutech (pendidikan) dan lain-lain sehingga bisa menjadi momentum untuk melakukan akselerasi dalam perekonomian digital.
Namun, yang menjadi tantangan besar, ujar Bhima, dalah akselerasi digital ekonomi ini masih terpusat di kota-kota besar yang memiliki akses internet memadai. Kemudian, dari sisi sumber daya manusia (SDM), tenaga kerja yang memiliki keahlian di bidang ini masih minim, sehingga banyak perusahaan rintisan (start up) terpaksa harus mencari tenaga kerja asing.
“Terus juga masalah pendanaan. Indonesia potensinya besar tetapi terkait dengan pendanaan khususnya dari sisi perbankan atau lembaga keuangan formal masih banyak yang takut untuk membiayai start up sehingga start up masih kesulitan modal dan akhirnya dalam hal kualitas dan teknologi yang dihasilkan kalah bersaing dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura,” pungkasnya. [gi/ab]