JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Laporan terbaru World Giving Index (WGI) yang dirilis Charity Aid Foundation (CAF), menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Predikat itu disandang oleh Indonesia dengan skor 69 persen, naik dari 59 persen menurut indeks yang diterbitkan pada 2018 lalu.
Melansir dari asiatoday.id, WGI merupakan indeks yang berbasis riset dan pengumpulan data oleh Gallup. Penyusunannya melibatkan lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan mereka dalam menyumbang. Pada laporan WGI 2021 kali ini, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari total tiga indikator, yakni mereka yang menyumbang pada orang asing atau tidak dikenal, menyumbang uang, dan kegiatan kerelawanan.
Hasil penelitian CAF menunjukkan, 8 dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang mereka tahun ini, sementara tingkat kerelawanan di Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari rata-rata kerelawanan dunia.
“Berdasarkan data, yang berubah hanya bentuk sumbangan dan jumlahnya saja, namun masyarakat yang terdampak tetap berdonasi uang meski nilai sumbangan lebih kecil, atau berdonasi dalam bentuk lain, seperti barang dan tenaga. Terbukti di beberapa lembaga sosial dan filantropi, jumlah donasi tetap naik, meski peningkatannya tidak sebesar saat normal,” kata dia melalui keterangan tertulisnya, Selasa (15/6/2021).
Laporan WGI menunjukkan Indonesia berhasil mempertahankan posisinya di peringkat pertama di tengah pandemi dibandingkan negara-negara lain yang merosot akibat penerapan kebijakan penguncian dan pembatasan wilayah. Amerika Serikat, misalnya, yang jatuh ke posisi 19 dunia, setelah sempat secara konsisten berada di peringkat lima besar. Irlandia, Inggris, dan Singapura juga memperlihatkan grafik serupa.
Pertama, kuatnya pengaruh ajaran agama, juga tradisi lokal dalam kegiatan berderma dan menolong sesama. Ini sejalan dengan catatan WGI perihal donasi berbasis keagamaan yang merupakan penggerak utama kegiatan filantropi di Indonesia di masa pandemi.
Kedua, Kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dibanding negara-negara lain. Tidak dipungkiri bahwa pandemi memukul sektor ekonomi yang juga berdampak pada daya beli dan kapasitas menyumbang masyarakat. Namun, dibanding negara-negara lain, kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia dinilai lebih baik sehingga tidak berdampak buruk pada kondisi ekonomi.
Ketiga, pegiat filantropi di Indonesia relatif berhasil mendorong transformasi kegiatan filantropi konvensional ke digital. Pembatasan mobilitas tidak terlalu berpengaruh pada kegiatan filantropi. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah donasi di lembaga-lembaga filantropi yang menggunakan digital platform.
Keempat, meningkatnya peran dan keterlibatan kalangan muda dan influencer dalam kegiatan filantropi. Keterlibatan mereka membuat filantropi bisa dikemas dan dikomunikasikan dengan populer ke semua kalangan, khususnya anak muda.
Walau demikian kata dia, terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang harus diatasi untuk memajukan filantropi Indonesia.
Hamid memandang, potensi filantropi Indonesia yang cukup besar belum tergalang optimal karena pola menyumbang masyarakat yang masih direct giving dan belum terorganisir dengan baik.
“Publik lebih suka menyumbang langsung ke individu penerima manfaat dibanding ke organisasi sosial. Donasi untuk kegiatan keagamaan, penyantunan, dan pelayanan sosial juga masih dominan dibanding program-program yang sifatnya jangka panjang, seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan pelestarian lingkungan,” imbuhnya.
Selain itu, pengembangan filantropi di Indonesia belum didukung data yang memadai karena pemerintah dan pemangku kepentingan lain belum punya kesadaran pentingnya data dalam pengembangan filantropi.
“Yang lebih ironi, kegiatan kerelawanan kita yang dalam WIG dinyatakan lebih banyak dari tiga kali rata-rata global belum mendapat dukungan dan perlindungan. Banyak relawan yang bekerja tanpa perlengkapan yang memadai, serta tidak mendapat jaminan sosial,” urai Hamid.
“Kemudian, relawan atau pegiat kemanusiaan tidak dimasukkan pada kelompok prioritas untuk mendapat vaksin. Padahal, saat pandemi, ribuan relawan dan pekerja kemanusiaan terjun langsung membantu masyarakat, membuat mereka berpotensi terpapar COVID-19,” imbuhnya.
Hamid juga menyebut bahwa regulasi filantropi dan insentif perpajakan sebagai faktor yang kurang mendukung, bahkan menghambat sektor filantropi Indonesia. Regulasi terkait filantropi dinilai sudah tidak relevan, kurang apresiasi, dan cenderung restriktif.
Kebijakan insentif pajak juga ketinggalan dibanding aturan serupa di negara-negara lain. Insentif pajak belum jadi pendorong warga untuk berdonasi karena cakupannya terbatas, jumlah insentif yang kecil, serta ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam penerapannya.
“Dukungan itu bisa diberikan melalui berbagai regulasi yang kondusif, kemudahan, serta insentif pada lembaga dan pegiat filantropi, serta para donatur,” tandasnya. (ATN)