Renungan Ramadhan 1442 Hijriah
Oleh: Makmur Ibnu Hadjar
Salah satu moment yang dinantikan oleh orang yang beriman dalam Bulan Ramadan seperti saat ini adalah Lailatul Qadar. Secara harfiah Lailatul Qadar berarti malam penentuan, atau malam kepastian jika kata qadar maknanya setara dengan kata takdir. Tetapi ada juga intelektual Islam (baca ulama) mengartikan Lailatul Qadar sebagai malam kemahakuasaan, jika kata qadar itu dipahami setara dengan kata al-Qadir, yang artinya Yang Maha Kuasa.
Dalam Kita Suci Al Quran Surat Al Qadar, digambarkan secara ringkas tentang Lailatul Qadar itu, yang dikaitkan dengan malam diturunkannya Al Quran, dimana dilukiskan bahwa Allah SWT menurunkan Al Quran pada malam Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam tersebut Malaikat Jibril dan para malaikat lainnya turun dengan membawa segala rahmat bagi alam semesta serta bumi dan penghuninya, khususnya umat manusia.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah, kenapa Allah SWT mengaitkan kemuliaan Lailatul Qadar itu dengan variable waktu. Kenapa bukannya dengan varible lain. Maksudnya adalah kenapa Allah SWT memberi hidayah dalam bentuk amal pada malam Lailatul Qadar itu yang nilai instristiknya setara dengan amal ibadah seribu bulan? Bukan setara secara kuantitas dengan variable yang lain, misalnya setara dengan jumlah daun di semua hutan di permukaan bumi atau setara dengan jumlah butir pasir di pantai? Akal sehat kita harus bisa menyelusuri hikmahnya. Dari sekian banyak variable di alam ini yang jumlahnya tak terhingga, maka variabel waktu adalah satu-satunya variable yang ajeg dan konsisten dimensi kuantitasnya. Jika Allah SWT menggunakan ukuran variable lain mungkin terjadi ketidakadilan. Misalnya kalau pakai ukuran jumlah daun di hutan maka antara satu generasai dengan generasi yang lain, jelas akan berbeda jumlah hidayah amalnya karena jumlah daun di hutan senantiasa berubah. Demikian pula misalnya jika dengan jumlah butiran pasiR di pantai, tetap juga tidak adil. Karena oleh proses alamiah sehingga jumlahnya pasir di pantai selalu berubah-ubah. Satu-satunya variable yang sungguh mengandung azas keadilan untuk semua umat manusia dari zaman Nabi Adam sampai Muhammad SAW dan sampai dengan hari kiamat adalah varible waktu. Karena waktu memiliki unsur kepastian (eksakta). Jadi hidayah dalam bentuk amal, yang nilai setara dengan seribu bulan itu akan dinikmati oleh umat Muhammad SAW sepanjang masa dalam ukuran yang sama. Disinilah letak keadilan dan kemahakusaan Allah SWT, bahwa umat yang terdahulu, umat sekarang dan umat pada masa yang akan datang, ukuran hidayah yang diterima adalah sama, dalam konteks Lailatul Qadar itu.
Dengan pengertian itu, Lailatul Qadar memang merupakan malam penentuan dan malam Kemahakuasaan Allah. Ini akan semakin jelas jika dikaitkan dengan kehadiran Quran Suci, seperti yang ditulis oleh Nurcholish Madjid (2002); bahwa tidak hanya mempengaruhi dan membawa perubahan kepada kaum Muslimin saja, melainkan pengaruhnya baik secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi dan membawa perubahan kepada seluruh peradaban umat manusia.
Dalam prespektif yang lain, yakni pada konteks pengertian seribu bulan itu, Abdullah Yusuf Ali, sebagaimana yang dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa Lailatul Qadar sebagai moment mistis, yang menurut beliau pemahaman lebih mulia dari seribu bulan itu tidak secara harfiah. Tetapi sebagai simbolisasi bahwa Lailatul Qadar mengatasi waktu (transcends time), karena malam itu adalah titik awal melenyapkan kebodohan dan titik awal datangnya suatu pencerahan peradaban umat manusia, yang sumbernya dari wilayah padang pasir yang tandus, dengan peradaban yang jahiliyah. Wallahuallam bissawab.