Indonesia Dorong Penguatan Kapasitas Pelaku Usaha Hutan Melalui SVLK

 

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerjasama dengan Multi-stakeholders Forestry Programme Tahap 4 (MFP4) melakukan penguatan kapasitas pelaku usaha hutan melalui sertifikasi SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) dan CBFE (Community Based Forest Enterprises) dengan menggunakan pendekatan pasar atau market access player.

Dilansir dari asiatoday.id, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Misran mengatakan pentingnya memastikan kayu yang beredar di pasar, berasal dari sumber yang legal. Selain itu, usaha hutan berbasis masyarakat, dan akses terhadap pasar, juga tidak kalah penting.

“Menjadi sebuah nilai plus bagi perusahaan yang membeli kayu rakyat yang telah melalui sertifikasi SVLK, karena pasti legal. Legalitas semakin penting apabila kayu-kayu tersebut akan diekspor,” kata Misran, saat meninjau HKm Sedyo Lestari di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), baru-baru ini.

Terkait dengan sertifikasi, di DIY, MFP4 menggandeng NGO lokal Java Learning Center (Javlec) yang sudah sejak tahun 2000 melakukan pendampingan kepada kelompok HKm di Gunungkidul dan fokus pada pertumbuhan produksi kayu olahan legal dan pertumbuhan bisnis hutan berbasis masyarakat melalui pendekatan pasar. Sementara untuk pertumbuhan kayu olahan legal, beberapa capaian kerja sama tersebut yaitu membangun klinik SVLK untuk melayani petani hutan rakyat, pedagang atau IKM yang ingin berkonsultasi terkait implementasi SVLK atau tata cara mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu. Klinik dibangun kerja sama antara MFP4, Javlec dan asosiasi industri.

“Klinik dibangun di tiga lokasi yakni Jogja bekerjasama dengan Asmindo Jogja, Jepara bekerjasama dengan Asosiasi Pengrajin Kayu Jepara (APKJ), dan Klaten bekerjasama dengan Asmindo Klaten,” ujar Manager Forest Governance and Policy MFP4 Iwan Wibisono.

Selanjutnya, MFP4 dan Javlec memfasilitasi pelatihan bagi anggota HKm dan HTR tentang bimbingan teknis implementasi SIPUHH online. Ini merupakan kegiatan penting agar kegiatan pemanenan di HKm dapat dilakukan sesuai dengan prosedur dan kebijakan terkait penatausahaan hasil hutan di HKm. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelompok tani HKm dan HTR dalam pencatatan, pelaporan, dan pengoperasian SIPUHH.

“Saat membeli kayu dari masyarakat, IBI memastikan kayunya sudah bersertifikat. Kalau belum, IBI akan mendampingi kelompok atau petani untuk bisa memproses dokumen legalitas kayunya,” ungkap Iwan.

Yang terbaru, MFP4 dan Javlec membangun MAP (Market Access Player) untuk meningkatkan perdagangan kayu yang kemudian disebut sebagai IBI (Interface Bisnis Indonesia). IBI bertugas menjembatani perdagangan kayu yang terjadi dengan mempertemukan para pihak yang adalah pemilik langsung atau pemilik hak atas suatu hutan, pemilik industri pengolahan dan exportir. IBI kemudian dikelola secara profesional di luar Javlec.

Panjangnya rantai suplai usaha hutan berbasis masyarakat dan konsumen akhir dalam industri kehutanan kerap menjadi penyebab nilai ekonomi yang diterima masyarakat kurang optimal. Pendekatan pasar (market driven approach) memberikan solusi atas problema ini. Model pendekatan seperti ini yang tengah dikembangkan KLHK bersama Multi-stakeholders Forestry Programme Tahap 4 (MFP4).

Dalam pendekatan pasar, Market Access Players (MAP) menggantikan peran dari perantara. MAP baik berupa organisasi atau perusahaan, bekerjasama langsung dengan masyarakat dan menghubungkan produk hasil hutan ke pembeli berskala besar. Mereka juga melakukan pendampingan dan pengembangan kapabilitas masyarakat sekitar kawasan hutan.

“Salah satu faktor kunci pengembangan usaha hutan berbasis masyarakat yaitu pendampingan di lapangan dan peningkatan kapasitasnya. Hal ini akan membuat posisi tawar petani pengelola usaha hutan memperoleh manfaat optimal dari komoditas hasil hutan yang diproduksi,” kata Misran.

Manager Stakeholder Engagement MFP4, Hening Parlan menjelaskan pendekatan pasar yang dikembangkan MFP4 dengan tiga prinsip yaitu kelestarian hutan, kesejahteraan komunitas dan keberlanjutan usaha. Model ini menjadi salah satu pendekatan yang mampu memberikan jawaban atas kegelisahan bisnis kehutanan di masyarakat.

“Dengan merespon terhadap kebutuhan pasar yang jelas, produksi hasil hutan akan sesuai dengan tren pasar dan kebutuhan pelanggan. Model ini memastikan bisnis bersifat keberlanjutan dan memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan,” ujar Hening.

Ketua Paguyuban Bukit Seribu, Sudarmi mengatakan pendekatan pasar mampu memberikan perbedaan dimana harga jual kayu kelompoknya mendapatkan harga yang optimal dan merata. Dia juga mengungkapkan anggota kelompoknya begitu terbantu dengan fasilitasi dan pendampingan yang diberikan.

“Untuk pemasaran kayu, kini tidak menjadi masalah karena ada fasilitasi. Jadi sekarang tidak berhubungan langsung dengan pembeli, melainkan melalui koperasi, sehingga harga jualnya rata dan akan memberikan manfaat yang lebih besar pada kelompok,” tuturnya.

Paguyuban Bukit Seribu, merupakan wadah komunikasi kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Gunungkidul. Sudarmi menjelaskan sejak mendapatkan izin pada tahun 2007, anggota kelompoknya bisa melaksanakan panen kayu jati pada tahun 2019. Pada tahun ketiga ini, ada 12 kelompok yang siap melakukan pemanenan, yang diatur satu kelompok tiap bulannya.

Saat berdialog, Sudarmi mengutarakan keinginan kelompoknya agar selain kembali menanam jati, mereka dapat menanam tanaman lain yang hasilnya dapat dirasakan jangka pendek dan menengah.

“Selain itu, kami juga menginginkan penantian puluhan tahun menanam pohon jati ini, terbayar dengan harga yang maksimal bisa kami dapatkan. Termasuk solusi untuk pemanfaatan kayu-kayu ukuran kecil, tidak hanya menjadi kayu bakar, tetapi dapat diolah menjadi sesuatu yang bernilai lebih,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Sekditjen PHPL, Misran menjelaskan terbitnya UU Cipta Kerja, dalam perizinan berusaha memungkinkan pemegang izin untuk melakukan multi usaha/bisnis kehutanan, tidak semata menanam kayu saja. Jadi, skema multibisnisnya diatur dalam Rencana Kerja Tahunan (RKT), baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.

“Jadi usaha itu tidak hanya satu, kalau dulu HPH misalnya hanya menghasilkan kayu. Ada banyak hal dan usaha yang bisa dikembangkan di lahan yang ada di sini. Sejauh sesuai regulasi, kami mendukung rencana pengembangannya,” terangnya.

Ke depan, Misran mengungkapkan multi bisnis seperti jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) akan terus berkembang. Apalagi sekarang multi bisnis ini menjadi sesuatu yang legal sesuai dengan ketentuan regulasi. (AT Network)

IndonesiaIndonesia Dorong Penguatan Kapasitas Pelaku Usaha Hutan Melalui SVLK