Belajar dari India, Indonesia Jangan Alami Euforia Vaksin

Seorang perempuan duduk di lantai saat dia mengantre untuk menerima dosis vaksin Sinovac China di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, 1 April 2021. (Foto: REUTERS /Ajeng Dinar Ulfiana)

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Dalam kasus COVID-19, vaksinasi ibarat pisau bermata dua. Satu sisi, menjadi kesempatan mengatasi pandemi, tetapi di sisi lain euforia membuka peluang serangan lebih dahsyat. Indonesia harus belajar dari India. Mayoritas masyarakat, ingin segera menerima vaksinasi saat ini. Contoh kecil bisa dilihat di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepala Dinas Kesehatan setempat, Joko Hastaryo, mengaku menerima permintaan dari begitu banyak pihak terkait sasaran vaksinasi. Kampus, organisasi profesi, sampai lembaga bisnis mengajukan diri sebagai prioritas penerima.

Salah satu alasannya, kata Joko, karena mereka berpandangan vaksin dapat menggantikan protokol kesehatan.

“Sehingga mereka ingin segera mendapatkan vaksinasi agar dapat lebih bebas beraktivitas,” kata Joko dalam diskusi Sambatan Jogja (Sonjo), Minggu (25/4) petang.

Tentu saja sikap ini berdampak. Dalam skala kabupaten setidaknya, di Sleman tercatat peningkatan kasus yang cukup signifikan meski vaksinasi terus berjalan. Mereka yang sudah divaksin merasa aman, sementara yang belum merasa bosan dengan protokol kesehatan.

“Euforia terhadap vaksinasi, ditambah kejenuhan menerapkan protokol kesehatan menjadikan tren penambahan kasus terkonfirmasi meningkat. Setidaknya kita alami di kabupaten Sleman,” tambah Joko, dikutip dari voaindonesia.com.

Sebagai gambaran, sejak Maret-Desember 2020, Kabupaten Sleman hanya mencatatkan kasus COVID-19 berjumlah 5.063. Kenaikan sangat tajam terjadi pada Januari setelah masa libur akhir tahun, di mana dalam sebulan saja tercatat 3.338 kasus.

Sleman menggelar vaksinasi pertama pada 14 Januari 2021, dan jumlah kasus pada Februari anjlok menjadi 1.627. Namun, seiring euforia vaksin dan lemahnya penegakan protokol kesehatan, pada Maret jumlah kasus naik menjadi 1.963. April ini, hingga tanggal 24 sudah tercatat 1.765 kasus dan menurut Joko Hastaryo, diproyeksikan angkanya akan lebih tinggi dari Maret.

Kondisi ini persis fenomena tahun lalu, di mana pada Juli 2020 ada semacam anggapan bahwa pandemi akan berakhir. Masyarakat lalai, dan kasus kemudian meningkat terus mencapai puncaknya pada Januari 2021. Setelah turun, kini grafiknya naik kembali.

Perhatikan Efikasi

Menurut dr. Citra Indriani, MPH, efikasi vaksin harus dipahami dengan baik untuk memahami persoalan ini. Citra adalah staf Departemen Biostatistik, Epidemiologi dan Kesehatan Populasi (BEPH), Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Yogyakarta.

Dikatakan Citra, vaksin Sinovac yang dipakai di Indonesia memiliki efikasi sekitar 65 persen.

“Jadi masih ada kemungkinan juga akan mengalami sakit karena COVID, meskipun kita sudah divaksin. Tetapi kemungkinannya itu jauh berkurang,” kata Citra.

Dia mengingatkan, COVID-19 masih baru dan terus dalam penelitian. Apa yang menyertai penyebarannya terus berkembang, termasuk seberapa kuat infeksi yang ditimbulkan dan seberapa mudah transmisinya.

Dalam persoalan vaksin, lanjutnya, belum cukup bukti bahwa itu akan mencegah dari infeksi. Namun yang jelas, vaksin mampu mengurangi dampak sakit akibat infeksi itu. Karena faktor penyakit baru, varian yang terus bertambah dan mutasi virus yang terjadi, menjadi tugas semua pihak untuk saling mengingatkan mengenai protokol kesehatan.

“COVID masih ada di sekitar kita. Yang sekarang harus kita cegah adalah, jangan sampai kita menjadi seperti India,” tambah Citra.

Belajar dari India 

Pakar Pulmonologi sekaligus Ketua Tim Airbone Disease RSUP Dr. Sardjito, dr. Ika Trisnawati, M.Sc., Sp.PD., KP., FINASIM, membedah apa yang terjadi di India saat ini. Melihat data September hingga November 2020, negara itu mampu menekan angka positif hingga sepersepuluh dari sebelumnya. Pada Januari, India juga melaksanakan vaksinasi dan bahkan disebut mampu mengatasi penularan dengan baik.

Sayangnya, terjadi euforia yang disebut Ika kemudian menyebabkan terjadinya tsunami COVID-19.

“Ini yang disebut sebagai euforia vaksin. Pemerintah India sudah menyampaikan berhasil menurunkan angka COVID ditambah dengan vaksinasi. Kemudian terjadi euforia, penurunan penerapan protokol kesehatan dan juga pembebasan dari protokol-protokol yang sudah ditetapkan sebelumnya terhadap COVID-19,” ujar Ika.

Karena itulah, India kemudian mengalami serangan luar biasa hingga mencatatkan angka positif harian rata-rata lebih dari 200 ribu. Sektor layanan kesehatan tidak mampu berfungsi dengan baik. Proses kremasi bagi korban yang meninggal bahkan dilakukan di lapangan terbuka, seperti yang dilaporkan banyak media.

“Ini kan sangat menyedihkan, dan jangan sampai hal ini terjadi di Indonesia,” tambah Ika.

Laporan soal mutasi virus, kata Ika, seharusnya juga membuat semua pihak lebih peduli dan tidak lepas dari protokol kesehatan. Meski vaksinasi massal gencar dilakukan di Tanah Air, peneliti belum memahami dampaknya hingga setidaknya 12 bulan ke depan. Hasil di lapangan bisa saja tidak sama dengan hasil uji coba dalam populasi terbatas.

“Seberapa besar sebenarnya, efektivitas atau efikasi dari vaksin tersebut bisa memproteksi seseorang yang sudah divaksin,” lanjutnya.

Mutasi virus COVID-19 yang ditemukan di Inggris, Afrika Selatan, Brazil dan India adalah kondisi normal dari virus itu sendiri. Mutasi adalah cara virus untuk bertahan hidup. Dampaknya bisa berbeda di setiap varian. Ada yang membuat virus itu lebih mudah menular, tetapi terbuka pula kemungkinan mutasi membuat dia menjadi lebih kuat. Kemungkinan kedua inilah yang harus diwaspadai, karena vaksin dibuat menggunakan versi virus lama sebelum mutasi. [ns/ab/VOA]

Belajar dari IndiaIndiaIndonesiaIndonesia Jangan Alami Euforia VaksinSultra