Indonesia jadi Target Kampanye Global Melawan Dampak Industri Budi Daya Ikan Bagi Lingkungan

 

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang menjadi target kampanye global “The World Day for the End of Fishing”, yang diprakarsai Pour l’Égalité Animale “Untuk Kesetaraan Hewan” (PEA), sebuah lembaga yang berbasis di Swiss. Kampanye ini diikuti 164 organisasi di seluruh dunia.

Kampanye ini bertujuan untuk menginformasikan kepada konsumen mengenai pola konsumsi yang lebih sadar dan bertanggung jawab dalam mengkonsumsi ikan dan makanan laut. Rencananya, kampanye itu akan diluncurkan di Indonesia pekan ini. Tahun ini, kampanye PEA difokuskan pada dampak budi daya ikan, atau disebut juga dengan istilah akuakultur.

“Banyak konsumen percaya bahwa praktik akuakultur dipandang lebih berkelanjutan daripada penangkapan ikan di laut, padahal ini merupakan kesalahpahaman besar,” kata Fernanda, Direktur Kebijakan Pangan dan Kesejahteraan Hewan Sinergia Animal dalam siaran pers, Kamis (24/3/2021).

Sinergia Animal adalah organisasi perlindungan hewan yang didedikasikan untuk memerangi praktik terburuk industri peternakan di negara-negara Dunia Selatan dan mempromosikan pilihan makanan yang lebih welas asih. Menurutnya budi daya ikan, udang, dan jenis hewan air lainnya sebenarnya bisa lebih berbahaya. Hampir 1.100 miliar ikan ditangkap di laut setiap tahun hanya untuk memberi makan hewan budi daya seperti salmon yang notabene adalah karnivora atau tilapia yang merupakan jenis ikan omnivora.

Dalam kasus Salmon, misalnya, diperkirakan dalam perhitungan industri, untuk menghasilkan 1 kg dagingnya, diperlukan lebih dari 800 gram ikan, dan jumlah ini bahkan tidak memperhitungkan bycatch, atau hewan laut yang secara tidak sengaja ditangkap dalam penangkapan ikan di laut.

Dikatakan akuakultur menyumbang 47 persen dari total produksi ikan di seluruh dunia dan diramalkan akan hampir melampaui total dari semua perikanan tangkap pada tahun 2024. Pertumbuhan yang cepat menimbulkan kekhawatiran di antara para ilmuwan dan aktivis, yang mengklaim bahwa hal tersebut merugikan bagi lingkungan, dan juga berisiko bagi kesehatan masyarakat dan kejam terhadap hewan.

“Tambak ikan sering kali terdiri dari kolam yang kotor, dengan kualitas air yang buruk. Ikan menjadi sasaran segala jenis penyakit dan dimakan hidup-hidup oleh segala jenis parasit, mulai dari kutu laut parasit hingga jamur dan virus,” jelas Fernanda, dikutip dari asiatoday.id.

Investigasi yang dirilis minggu ini oleh LSM Compassion in World Farming menunjukkan Salmon dengan luka terbuka dan mengalami kebutaan di Skotlandia, produsen terbesar ketiga dari spesies ini di dunia. Untuk mencegah terjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh kondisi tambak yang tidak sehat, industri perikanan seringkali menggunakan antibiotik. Praktik ini dapat menyebabkan kontaminasi air dan tanah dengan antibiotik dan resistensi bakteri, dan juga secara langsung berdampak pada infeksi daging yang dikonsumsi orang-orang.

Beberapa penelitian bahkan menunjukkan antibiotik yang dilarang lebih dari 10 tahun yang lalu untuk bud idaya ikan di beberapa negara masih dapat terdeteksi pada produknya sekarang. Komponen kesejahteraan hewan juga menjadi topik bermasalah dalam industri ini. Ikan, yang terbukti mampu merasakan segudang sensasi dan emosi, sering kali dibesarkan dengan ruang yang terlalu minim untuk mengekspresikan perilaku alaminya. Sinergia Animal mengundang siapa saja yang peduli dengan dampak peternakan hewan untuk mempertimbangkan kembali apa yang mereka pilih untuk dimakan.

“Setelah mempelajari semua faktor ini, penting bagi masyarakat untuk mengetahui alternatif yang lain. Salah satu hal terbaik yang dapat dilakukan untuk mengubah kenyataan ini adalah meninggalkan produk hewani, termasuk hewan laut, dari piring kita,” saran Fernanda. (ATN)

IndonesiaIndonesia jadi Target Kampanye Global Melawan Dampak Industri Budi Daya Ikan Bagi LingkunganSultra