YANGON, LENTERASULTRA.COM – Negeri Myanmar kini makin jatuh kedalam krisis multi dimensi. Penindasan rakyat sipil oleh junta militer kian menjadi, namun solidaritas untuk rakyat disana justru sepi bahkan dari negeri tetangga di Asia Tenggara (ASEAN).
Saat ini, rakyat Myanmar kian terisolasi apalagi layanan internet makin terbatas dan surat kabar akhirnya berhenti terbit. Pada saat yang sama, junta militer membangun narasi pembenaran terhadap kasus korupsi Aung San Suu Kyi.
Seperti dilaporkan Reuters, pada Kamis (18/3/2021), peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi digulingkan dan ditahan dalam kudeta militer 1 Februari yang memicu protes massal di seluruh negeri yang oleh pasukan keamanan telah berjuang keras untuk menekan dengan taktik kekerasan yang semakin meningkat.
Pihak berwenang telah membatasi layanan Internet yang digunakan pengunjuk rasa untuk mengatur, dengan akses ke Wi-Fi di tempat umum sebagian besar ditutup pada hari Kamis.
Penduduk beberapa kota, termasuk Dawei di selatan, melaporkan tidak ada internet sama sekali.
Kantor Berita swasta Tachilek di timur laut menerbitkan foto-foto pekerja yang memotong kabel yang dikatakan sebagai sambungan serat optik dengan negara tetangga Thailand.
Reuters tidak dapat memverifikasi laporan tersebut. Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk meminta komentar.
“Apa pun yang terjadi di Myanmar dalam beberapa bulan mendatang, ekonomi akan runtuh, menyebabkan puluhan juta orang dalam kesulitan dan membutuhkan perlindungan segera,” kata sejarawan dan penulis Thant Myint-U di Twitter.
Sementara pihak berwenang telah memerintahkan beberapa surat kabar untuk ditutup, yang lain tampaknya terpaksa tutup karena alasan logistik. Koran swasta terakhir berhenti terbit pada Rabu (17/3). Namun media yang dikelola negara tidak terpengaruh.
Sebagian besar bisnis yang sudah terhuyung-huyung karena Covid-19 telah dilumpuhkan oleh protes dan kampanye pembangkangan sipil paralel terhadap pemerintahan militer. Sementara itu, banyak investor asing meninjau kembali rencana tersebut.
Badan pangan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan minggu ini bahwa kenaikan harga makanan dan bahan bakar di seluruh negeri dapat merusak kemampuan keluarga miskin untuk memberi makan diri mereka sendiri.
ASEAN Gagal Merespon
Di tengah krisis Myanmar yang kian tak terkendali, Perhimpunan negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN justru mendapat sorotan tajam karena dinilai gagal merespon krisis politik yang terjadi di Myanmar.
Pemimpin Oposisi Kamboja Sam Rainsy bersama dengan Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon , Pemimpin Oposisi Malaysia Anwar Ibrahim, Senator dan Ketua Dewan Liberal dan Demokrat Asia Filipina Kiko Pangilinan, Mantan Juru Bicara Parlemen Singapura Charles Chong, dan Mantan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya menyuarakan bahwa ASEAN membutuhkan visi baru dalam merespons krisis kudeta militer Myanmar .
“Rakyat ASEAN menginginkan kawasan damai dan demokratis yang menghormati hak asasi manusia (HAM), dimana pemerintah ASEAN gagal menangani secara efektif krisis Myanmar yang sedang berlangsung,” ujar Rainsy dalam konferensi pers virtual pada Rabu (17/3/2021).
Dia menegaskan, ketika rakyat sipil menyuarakan sikapnya yang pro-demokrasi Myanmar dengan gagah berani sedang dibunuh secara keji oleh junta militer, semua pemerintah negara ASEAN lainnya justru menunjukkan kurangnya kemauan politik dan persatuan untuk menekan junta militer agar mengakhiri aksi pembunuhan mereka.
Pada intinya, pemerintah ASEAN telah dilumpuhkan oleh doktrin non-intervensi yang dibuat sendiri. Doktrin ini mungkin dibutuhkan di masa lalu, tetapi sejak saat itu doktrin ini justru menjadi penghalang utama dan batu sandungan bagi perkembangan demokrasi partisipatif dan perlindungan hak-hak dasar rakyat ASEAN.
“Kami yang bertanda tangan di bawah ini, menuntut pemerintah ASEAN kami masing-masing untuk meninggalkan doktrin lama non-intervensi ini dan mengejar pendekatan baru, yakni keterlibatan konstruktif dan kritis, dengan opsi untuk menjatuhkan sanksi perdagangan dan ekonomi pada junta militer Myanmar,” tandas Rainsy.
Sikap yang sama juga disuarakan oleh Ketua BKSAP DPR RI, Fadli Zon. “Saya mengutuk keras aksi brutal militer Myanmar terhadap para demonstran pro demokrasi yang menyebabkan jatuhnya puluhan korban tewas, luka-luka, dan penahanan ribuan orang tanpa proses hukum,” tegas Fadli Zon.
Menurut Fadli, kekerasan yang terjadi di Myanmar menunjukkan tidak mampunya pemerintahan negara-negara ASEAN dalam menangani krisis regional. Selama beberapa dekade terakhir, pemerintah negara ASEAN telah gagal melindungi warganya dalam berbagai krisis seperti bencana kabut asap transnasional, bencana kemanusiaan Rohingya, hingga sejumlah aksi demokrasi dan kekerasan terhadap HAM.
“Kami mendesak seluruh pemerintah negara ASEAN untuk bersatu dan mengambil sikap tegas agar junta Myanmar segera membebaskan seluruh tahanan politik, mengembalikan situasi politik di Myanmar seperti sebelum terjadinya kudeta pada 1 Februari 2021, serta menghargai suara masyarakat dalam Pemilu Myanmar 2020.
“Seluruh pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian para aktivis pro-demokrasi harus diproses secara hukum. Jika Myanmar tidak mampu melakukannya, Pemerintah ASEAN harus bersatu dan menangguhkan keanggotaan Myanmar dari keanggotaan ASEAN, serta menjatuhkan sanksi perdagangan ekonomi kepada junta militer Myanmar,” demikian dikutip dalam resolusi bersama. (ATN)