Produk Sawit Indonesia Kini Bebas Masuk ke Swiss

Foto: Ist.

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Produk Sawit Indonesia kini bebas masuk ke negara Swiss. Hal itu terjadi setelah Swiss menghapus bea masuk sawit asal Indonesia usai menang dalam referendum dengan mengantongi 51,7persen suara.

Perseteruan antara pendukung dan penentang perjanjian dagang IE-CEPA (Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreements) untuk memenangkan referendum sudah berlangsung lama.

Namun pada akhirnya berujung pada kemenangan pihak pendukung dalam referendum nasional Swiss pada Minggu, 7 Maret 2021. Kemenangan tipis 51,7 persen berbanding 48,3 persen ini disambut gembira dunia usaha dan Pemerintah Swiss.

Selisih tipis ini menunjukkan betapa sukarnya mengubah opini publik yang sudah terlanjur negatif terhadap minyak kelapa sawit (palm oil) di Swiss dan Eropa umumnya. Namun demikian pihak dunia usaha, Pemerintah Swiss dan pendukung lainnya memetik hasilnya setelah perjuangan berat selama berbulan-bulan berkampanye.

Wilayah atau kanton yang paling banyak memiliki pendukung IE CEPA adalah wilayah yang berbahasa Jerman dan Italia. Hal ini karena sebagian besar sentra industri Swiss berada di wilayah ini. Seperti diketahui dunia usaha dan sektor industri adalah pendukung IE CEPA. Sedangkan wilayah penentang adalah yang berbahasa Prancis, di mana sebagian besar penduduk bergantung pada hasil pertanian.

Dalam konferensi pers pengumuman hasil referendum, Presiden Swiss Guy Parmelin menyatakan bahwa ini adalah pertama kalinya bagi Swiss untuk memiliki kerjasama ekonomi terpadu yang memiliki komitment terhadap aspek sustainability. Swiss menganggap telah mencapai kemajuan besar telah memasukan isu lingkungan dalam perjanjian bilateral.

Kesepakatan ini juga bertujuan untuk memfasilitasi penghapusan bea masuk atas ekspor Swiss seperti produk keju, farmasi, dan jam tangan.

Produk sawit asal Indonesia nantinya bisa dijual di pasar Swiss dengan status bebas bea cukai. Penurunan tarif juga direncanakan untuk produk pertanian tertentu, khususnya minyak sawit, dimana Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor terbesar di dunia.

Mereka yang mendukung referendum termasuk penentang globalisasi, partai sayap kiri dan beberapa organisasi non-pemerintah (LSM). Argumen mereka menentang kesepakatan perdagangan bebas bea sebagian besar karena faktor lingkungan.

Menurut mereka, budidaya kelapa sawit memicu kerusakan hutan hujan. Di sisi lain, para pendukung kesepakatan tersebut berpendapat bahwa minyak sawit yang diimpor harus memenuhi standar lingkungan tertentu agar memenuhi syarat untuk pengurangan tarif.

Presiden Swiss, Guy Parmelin, mengatakan masyarakat Swiss merasa kesepakatan perdagangan itu sudah benar dan seimbang.

Menurutnya, kekhawatiran lawan akan diperhitungkan dan Swiss akan mendukung Indonesia dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan.

“Pemungutan suara ini bukanlah pilihan ekonomi atas hak asasi manusia dan lingkungan,” katanya dikutip dari Swiss Info, Senin (8/3/2021).

Parmelin mengisyaratkan bahwa kesepakatan perdagangan di masa depan juga dapat memasukkan klausul keberlanjutan, tetapi menekankan bahwa setiap kesepakatan itu memiliki keunikan dan tantangannya sendiri-sendiri.

Kemenangan suara dalam referendum hanya selisih tipis bagi beberapa penentangnya.

Direktur federasi bisnis Swiss, Economiesuisse, Monica Ruhl mengharapkan kemenangan tegas untuk kesepakatan perdagangan bebas.

“Kami mengharapkan yang jelas ya,” katanya kepada penyiar publik Swiss RTS pada hari Minggu.

“Keprihatinan penduduk harus ditanggapi dengan sangat serius,” tambahnya, dengan mengacu pada perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan.

Apresiasi dari Indonesia

Duta Besar Republik Indonesia Muliaman Hadad menyatakan bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan untuk memanfaatkan kesempatan besar dalam IE-CEPA.

“Kita harus dapat memanfaatkan perjanjian semaksimal mungkin untuk kepentingan nasional,” ujar Dubes Muliaman, dalam keterangan tertulis, Senin (8/3/2021).

Masuknya isu keberlanjutan dalam IE CEPA ini akan mendorong kemajuan penerapan aspek berkelanjutan di Indonesia, khususnya untuk minyak sawit.

“Aspek sustainability harus menjadi perhatian dalam mengembangkan industri pertanian dan sektor lainnya guna menjaga kepercayaan publik internasional akan komitmen Indonesia di sektor ini,” tambah Dubes Muliaman.

Swiss mengimpor hanya 19 ribu ton minyak sawit tahun 2020, sebagian besar berasal dari Pantai Gading, Malaysia dan Kepulauan Solomon. Indonesia hanya mengekspor 124 ton minyak sawit ke Swiss pada tahun 2020.

Dalam IE-CEPA, Indonesia mendapat kuota untuk mengekspor 10 ribu ton minyak sawit ke Swiss dan quota tersebut akan meningkat pada setiap tahunnya. Swiss menyatakan akan membantu penguatan standar minyak sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO), karena setelah IE CEPA berlaku, maka minyak sawit yang bersertifikasi berkelanjutan yang bisa masuk pasar Swiss.

Menyrut Dubes Muliaman, kemenangan IE-CEPA akan membawa dampak positif pada perjuangan minyak sawit Indonesia di wilayah lain, terutama Uni Eropa. Hasil referendum di Swiss ini akan mempengaruhi opini publik Eropa mengenai minyak sawit Indonesia.

“Citra baru untuk minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan harus dapat kita manfaatkan untuk menunjukkan berbagai perbaikan yang dilakukan dalam standar minyak sawit berkelanjutan di Indonesia,” papar Dubes Muliaman.

“Apa yang terjadi di Swiss hari ini dapat memberikan dampak positif dalam proses perundingan CEPA Indonesia dengan pihak lain,” pungkasnya seperti dikutip dari asiatoday.id. (ATN)

Produk Sawit Indonesia Kini Bebas Masuk ke SwissSultra