POSO, SULAWESI TENGAH (VOA) — Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut tuntas kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. Dugaan kasus korupsi dalam proyek penambangan pasir laut itu telah dilaporkan KPK pada pertengahan tahun 2020, tapi belum ada tindak lanjut.
“Kami juga mendesak penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk juga menyidik atau memeriksa Nurdin Abdullah terkait dugaan tindak pidana korupsi pada proyek tambang pasir laut dan Makassar New Port,” kata Al Amin dalam konferensi pers virtual, Sabtu (27/2).
WALHI menengarai proyek tambang pasir laut untuk reklamasi Makassar New Port itu (MNP) sebagai kegiatan monopoli. Dua perusahaan yang mengerjakan proyek tersebut ternyata hanya dimiliki oleh satu orang yang merupakan anggota tim sukses pemilihan Nurdin Abdullah.
“Kami menduga ada praktik ijon politik yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan terhadap kolega yang notabene adalah tim suksesnya dalam memuluskan proyek atau mendapatkan tender pasir laut di wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng,” jelas Al Amin.
KPK, Sabtu (27/2), menangkap dan menetapkan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dan dua orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengadaan barang, jasa, perizinan, dan pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan.
Ditambahkan Merah Johansyah dari Koalisi Selamatkan Laut Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bahwa Nurdin Abdullah menunjuk dua perusahaan yang kemudian bekerja sama dengan perusahaan asing untuk mereklamasi kawasan MNP seluas 1.428 hektare. MNP masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional yang dibangun secara bertahap hingga 2025 dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun.
“Jadi perusahaan-perusahaan yang berkaitan ini saya sebutkan saja, PT Banteng Laut Indonesia lalu juga PT Nugraha Indonesia Timur adalah dua perusahaan yang ditunjuk oleh Gubernur untuk menjadi pemegang izin usaha pertambangan yang kemudian bekerja sama dengan perusahaan asal Belanda, Boskalis. Lalu Boskalis ini bekerja sama dengan PT Pelindo 4 untuk menyediakan pasir untuk proyek reklamasi,” papar Merah Johansyah.
Nurdin Abdullah telah membantah dugaan keterlibatannya dalam penambangan pasir laut di perairan Pulau Kondingareng tersebut.
Krisis Lingkungan
Penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang, yang menjadi wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng itu, berlangsung dari Februari hingga Oktober 2020. Rata-rata setiap hari 72 ribu kubik pasir dikeruk dari dasar laut untuk reklamasi proyek pembangunan pelabuhan itu. Merah Johansyah mengungkapkan proyek penambangan itu telah menimbulkan krisis lingkungan yang berdampak pada wilayah tangkap nelayan tradisional di Pulau Kodingareng.
Siti Aisyah, warga Pulau Kodingareng, dalam konferensi pers virtual tersebut menceritakan dampak kegiatan penambangan pasir laut ini. Kegiatan itu disebut menyebabkan dasar laut semakin dalam sehingga ombak pun semakin besar dibandingkan sebelum aktivitas penambangan dilakukan. Situasi ini, lanjutnya, semakin menyulitkan nelayan tradisional untuk menangkap ikan karena ukuran perahu yang mereka gunakan tidak sanggup bertahan dihantam ombak.
“Kalau turun -melaut- pagi belum apa-apa sudah pulang kembali karena ombak terlalu besar. Daripada tenggelam lebih baik pulang, jadi kalau pulang tidak membawa apa-apa, habis saja bensinnya, pasti utang lagi di warung,” jelas Siti.
Kesulitan menangkap ikan itu, kata Siti, membuat banyak keluarga nelayan terjebak utang, baik untuk kebutuhan bahan bakar maupun untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Ada sekitar 1.456 keluarga nelayan di Pulau Kodingareng yang terletak sembilan mil dari lokasi proyek, yang kini tidak lagi bisa mengandalkan penghasilan dari menangkap ikan.[yl/ah/VOA]