Sumur Peninggalan Jepang di Kendari, Dikenal Angker, Air Tidak Pernah Kering, Jadi Tumpuan Hidup Penduduk Satu RW

 

Sumur peninggalan Jepang di Gunung Potong. Sumur ini, sempat menjadi tumpuan hidup satu RW dan penduduk di sekitarnya untuk mendapatkan air bersih. Foto : Adhi

KENDARI, LENTERASULTRA.COM-
Tinggal di dataran tinggi, tidak membuat Warga Gunung Potong, Kelurahan  Kandai, Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara kekurangan air bersih. Sejak puluhan tahun, ratusan penduduknya mengandalkan pasokan air bersih dari sumur tua peninggalan penjajahan Jepang.

Sumur ini terletak di Jalan Gajah Mada, Rukun Tetangga (RT) 1, Rukun Warga (RW) 3, Kelurahan Kandai atau Gunung Potong. Lokasinya, tidak jauh dari titik aspal pertama Jembatan Teluk Kendari, jika dari arah Kemaraya. Sumur peninggalan penjajahan Jepang ini, berada didataran rendah dan dikelilingi rumah-rumah penduduk.

Sumur tua ini berbentuk segi empat, dengan diameter sekitar 1,5 meter  x 1,5 meter. Semua sisi sumur sudah ditembok dengan tinggi sekira 120-an centimeter. Kedalaman sumur, tidak lebih dari 10 meter. Meski tidak terlalu dalam, air sumur ini tidak pernah kering, kendati musim kemarau berbulan-bulan melanda daerah itu.

Menurut Abdul Salam, salah satu warga RW 3, keberadaan sumur umum di tempat tinggalnya sudah lebih dari 70 tahun. Pria yang akrab disapa Preng ini tidak mengetahui bagaimana asal muasal keberadaan sumur tua itu, yang pasti sejak kecil sumur tersebut sudah ada. “Cerita dari orang tua saya, sumur itu peninggalan Jepang,” kata pria 58 tahun ini.

Abdul Salam, salah satu warga Gunung Potong yang sudah lebih 50 tahun tinggal di Gunung Potong dan menikmati air bersih dari sumur bekas penjajahan Jepang. Foto : Adhi

Selain menjadi sumber air utama bagi penduduk Gunung Potong, air di sumur umum ini juga pernah dinikmati warga disekitarnya, seperti kota lama hingga penduduk disekitar SD 10, dekat rumah sakit Abunawas, kini puskesmas Kandai. Saat ini, air sumur tua ini, sisa dinikmati sebagian warga dari RW 3. Sebab, sebagian penduduk yang pernah menikmati air dari sumur tua itu, kini sudah memiliki sumur bor.

Preng menambahkan, selain sudah berusia puluhan tahun, sumur tua ini, dahulunya dikenal angker. Banyak hal-hal aneh, dilihat saat melintas di sekitar sumur. Maklum, di Timur dan Barat sumur, terdapat goa besar.
“Sekarang pintu lubang goanya sudah tertutup dinding rumah warga. Dulunya sebelum pintu goanya tertutup, sering membuat bulu kuduk berdiri jika lewat di depan sumur,” cerita pria yang sudah memiliki cucu lebih dari 20 orang ini.

Pria dengan lima orang anak mengaku, ada perbedaan menyolok untuk mendapatkan air bersih antara puluhan tahun lalu dengan saat ini. Puluhan tahun lalu, penduduk Gunung Potong agak susah dapatkan air. Mereka harus antri sejak Subuh dini hari untuk mendapatkan air.

“Subuh kita sudah di depan sumur, kita antri untuk mendapatkan timba, karena yang punya timba saat itu cukup terbatas,” kata Preng. Bagi warga yang cepat mendapatkan timba, akan cepat mengisi air kedalam wadah yang dibawa. Bagi penduduk yang tinggal dekat dengan sumur, biasanya cukup mengisi ember dan mengangkat ke rumahnya. Sementara yang jauh dari sumur,  menggunakan jeriken dengan volume 5 hingga 35 liter. Setelah penuh, lalu diangkat dan dipikul menuju rumah masing-masing. “Satu orang, biasanya tiga sampai lima kali dalam sehari, turun antri mengisi air di sumur,” sambungnya.

Pemandangan rumah-rumah penduduk di RW 3, Kelurahan Landai. Foto : Adhi

Hal ini juga dilakukan Abdul Salam selama puluhan tahun lamanya. Karena rumahnya berada didataran tinggi, pria 58 tahun harus memikul air dengan menapaki  tangga sebanyak 82 anak tangga dari sumur umum hingga ke tempat tinggalnya. Aktifitas ini dilakukan dua hingga tiga kali sehari. Selama sehari, Abdul Salam harus berulang-ulang naik turun tangga, karena wadah yang diisi adalah drum sebanyak dua unit. “Sampai depan rumah saya ini, 82 anak tangga. Sementara yang paling tinggi, 100 anak tangga. Jadi bisa dibayangkan saat itu, pikul air 35 liter sambil menapaki anak tangga tertinggi setiap hari,” cerita Abdul Salam.

Namun sejak tahun 2010 keatas, proses pengambilan air sudah canggih. Penduduk setempat tidak antri lagi di depan sumur. Mereka cukup membeli pipa dan mesin penyedot air. Pipa ini kemudian dimasukan kedalam sumur, sementara mesin pengisap dijejer dipinggir sumur. Untuk aliran listrik, masing-masing pemilik mesin air, menarik kabel listrik dari tempat tinggalnya hingga ke sumur.  Sampai saat ini, sudah hampir 30 pipa yang masuk kedalam sumur serta sekitar 30 mesin pompa penyedot air terpasang di sekitar sumur. Warga yang mendapatkan air dari sumur, cukup menyalakan saklar air di rumah masing-masing, air sudah tiba di dalam rumah.

Agar teratur, proses pengambilan air disepakati bersama. Kata Yusuf Coa, ketua RT 1, RW 3, bagi warga yang tinggal di dataran rendah, waktu pengambilannya disepakati pagi hingga siang hari, sementara yang tinggal di dataran tinggi sore hingga malam hari. Yusuf bilang, hingga saat ini, air sumur tua ini masih menjadi tumpuan sehari-hari sebagian di RW 3 untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk diminum, mandi, mencuci dan kebutuhan hidup lainnya. “Ada empat RT di RW 3. Yang nikmati air dari sumur ini sekarang, sisa penduduk dari RT 1 dan 3. Jumlahnya sekitar 60 KK (kepala keluarga). Sebab, sebagian sudah pakai sumur bor. Kalau dulu, hampir semua ambil air di sumur umum,” ungkap Yusuf Coa.

Penulis : Adhi

 

Kendaripeninggalan JepangSultraSumur tua