JAKARTA (VOA) — Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan hasil survei yang dilakukan lembaganya menunjukkan kelompok masyarakat yang enggan divaksin Covid-19 masih tinggi, yaitu 41 persen. Sedangkan warga yang bersedia divaksin mencapai 54,9 persen. Survei itu dilakukan terhadap 1.200 responden pada 1-3 Februari 2021 dengan toleransi kesalahan kurang lebih sekitar 2,9 persen.
Menurut Burhanuddin, survei tersebut menunjukkan publikasi pemberian vaksin kepada Presiden Joko Widodo pada Januari lalu tidak berdampak pada kesediaan warga untuk mau divaksin.
“Survei kami di bulan Desember yang tidak bersedia atau sangat tidak bersedia 43 persen. Jadi turun hanya dua persen, efek Presiden Jokowi ada, tapi hanya menurunkan dua persen,” jelas Burhanuddin dalam konferensi pers secara daring, Minggu (21/2).
Burhanuddin menambahkan beberapa alasan yang menjadi pertimbangan responden tidak mau divaksin adalah adanya faktor keraguan terhadap efektivitas vaksin, faktor merasa sehat atau tidak membutuhkan dan juga faktor keuangan jika ternyata vaksin berbayar. Masalah harus membayar vaksin ini juga muncul pada 54,9 persen warga yang bersedia divaksin. Mereka tidak lantas bersedia divaksin jika harus membayar sehingga jumlah warga yang tidak bersedia divaksin bisa bertambah karena alasan tersebut.
Burhanuddin menuturkan hasil survei juga menunjukkan mayoritas warga menerima vaksin jika telah dinyatakan halal (81,9 persen). Selain itu, kelompok agama Islam lebih resisten terhadap vaksinasi Covid-19.
“Buat mereka itu halal itu penting, karena itu Wakil Presiden sebagai mantan petinggi MUI (Majelis Ulama Indonesia -red) dan MUI itu harus ikut sosialisasi,” tambahnya.
Burhanuddin menyarankan pihak berwenang turut meyakinkan publik untuk mensukseskan program vaksinasi virus corona, mulai dari efektivitas vaksin, status halal, hingga vaksin yang gratis atau tidak berbayar.
Dokter Spesialis Paru Erlina Burhan mengatakan hasil survei ini dapat menjadi masukan bagi para dokter dalam mengedukasi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. Utamanya kelompok masyarakat yang masih meragukan terhadap efektivitas vaksin. Ia juga menyoroti masih ada sekitar 23 persen warga yang bersedia membayar vaksin virus corona. Karena itu, ia menyetujui jika pemerintah mengeluarkan kebijakan vaksin mandiri yang diperuntukkan bagi warga untuk mempercepat vaksinasi Covid-19 di Tanah air.
“Kami dari kelompok dokter mencatat ini dan mensosialisasikan ini. Kalau mau cerita tentang vaksin, topiknya efek samping dan kenapa orang sehat harus divaksin, apa yang disebut efikasi sehingga lebih terarah,” jelas Erlina.
Ia juga meminta media untuk berperan dalam mendorong kesadaran masyarakat untuk bersedia divaksin. Sebab, ia masih menemukan pemberitaan yang kurang tepat yang dapat menyebabkan warga tidak mau divaksin.
Ketua Komisi IX DPR Felly, Estelita Runtuwene, mengatakan lembaganya akan terus mengawasi dan memberi masukan kepada pemerintah terhadap penanganan virus corona, termasuk soal vaksin. Selain itu, pemerintah perlu menggencarkan komunikasi dan edukasi terhadap warga yang menolak vaksin. Kegiatan tersebut dapat melibatkan tenaga medis, tokoh agama, para politikus, dan organisasi masyarakat yang dipercaya orang yang tidak mau divaksin.
“Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pertama, yaitu susun strategi komunikasi yang mempertimbangkan keragaman kebutuhan informasi masyarakat,” jelas Felly Estelita Runtuwene.
Felly juga menyarankan pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur dan ketersediaan vaksin untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity) di masyarakat.
Kementerian Kesehatan mencatat sudah ada sekitar 1,2 juta tenaga kesehatan atau 83,6 persen yang menerima suntikan vaksin COVID-19 dosis pertama per 21 Februari 2021. Sedangkan yang menerima suntikan dosis kedua sekitar 736 ribu atau 50,16 persen dari target 1,4 juta tenaga kesehatan. Adapun target vaksinasi nasional sebanyak 181 juta orang. [sm/ah/VOA]