Sulawesi, Episentrum Nikel Indonesia dan Masa Depan Dunia

 

                                                                                                                                                           Aktivitas pertambangan nikel —ist–

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Booming komoditi nikel mendongkrak nilai tawar Indonesia di pentas global. Betapa tidak, nikel tiba-tiba menjadi rebutan industri dunia. Bahkan komoditi mineral itu diburu oleh korporasi-korporasi global yang sedang merancang dan mempersiapkan masa depan dunia melalui industri kendaraan bebas emisi atau kendaraan berbasis elektrik.

Di tengah gemuruh itu, seluruh konsentrasi dunia tertuju di Pulau SULAWESI. Ada apa disana?

Tanpa diduga, SULAWESI menjadi episentrum nikel di Indonesia. Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terikira 986 juta ton). Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.

“Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono, dalam webinar Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia, dikutip  Asiatoday.id Jumat (16/10/2020).

Eko mengungkapkan, hingga kini kegiatan eksplorasi nikel terus berjalan agar Indonesia bisa lebih mandiri dalam produksi nikel. Melalui proses hilirisasi, nikel diharapkan bisa menambah nilai tambah bagi negara.

“Kami di Badan Geologi juga giat ekplorasi (nikel) ini untuk rekomendasi wilayah baru laporkan ke Ditjen Minerba sebagai Wilayah Usaha Pertambangan. Potensi logam ikutan pada endapan nikel laterit perlu evaluasi dan identifikasi untuk bisa memanfaatkan nikel dengan lebih baik,” ujar Eko.

Berdasarkan rekomendasi Badan Geologi, Budi menjelaskan eksplorasi cebakan nikel lebih mudah diarahkan pada endapan mineral logam tipe laterit dibandingkan tipe primer karena potensinya lebih ekonomis.

“Sejauh ini cadangan di laterit itu jauh lebih besar daripada yang primer,” kata Eko.

Indonesia sendiri telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada tahun 2019.

Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni).

Dikuasai Perusahaan China

Saat ini, pengelolaan komoditi nikel di Sulawesi dikuasai oleh perusahaan China. Ada tiga perusahaan besar yang menjadi pemain utama nikel ini yakni; Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

Berdasarkan data Kementerian ESDM, IMIP sudah menguasai 50 persen dari produksi hilir nikel di Indonesia pada 2018.

Porsi Vale menyusut jadi 22 persen dan Antam hanya 5 persen saja. Padahal, Vale masih menguasai produksi nikel dengan porsi 77 persen pada tahun 2014. Ketika itu, Antam memiliki pangsa pasar 19 persen dan perusahaan lainnya sebesar 3 persen.

Perusahaan nikel BUMN itu juga sudah dilewati oleh Virtue Dragon yang memegang porsi produksi nikel sebesar 11 persen, Harita Group 6 persen dan perusahaan lainnya sebesar 6 persen.

“Apa yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar biasa perkembangannya,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif.

Menurutnya, industri hilir nikel semakin kompetitif dan masih menjanjikan, baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri baterai. Sayangnya, hingga sekarang seluruh produk yang dihasilkan smelter di Indonesia masih dalam intermediate product atau produk setengah jadi.

Secara keseluruhan, lebih dari 90 persen produk smelter Indonesia masih berupa produk berbasis nikel pig iron (NPI).

“Perkembangan produksi smelter cukup signifikan, tetapi 99 persen atau semuanya 100 persen masih  intermediate produk. 90 persen lebih adalah produk NPI,” jelas Irwandy.

Berdasarkan jenis kemurniannya, nikel yang produksi di Indonesia juga masih didominasi oleh nikel kelas dua yang menghasilkan NPI atau feronikel. Sedangkan porsi nikel kelas satu untuk menghasilkan nikel matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP) masih mini.

Saat ini, kebutuhan nikel global  juga masih didominasi untuk industri stainless  steel sebesar 71 persen. Sedangkan untuk kebutuhan industri lainnya seperti baterai masih minim yakni 3 persen.

Namun, pembangunan smelter di Indonesia sudah mulai beragam. Irwandy mengungkapkan, paling tidak sudah ada enam perusahaan yang berencana membangun smelter nikel dengan high pressure acid leaching (HPAL). Dari keenam smelter HPAL itu, lima diantaranya ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2021 mendatang.

Keenam perusahaan yang membangun smelter HPAL itu adalah PT Halmahera Persada Lygend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Huayue, PT QMB dan PT Vale Indonesia.

Belum lagi, rencana  holding  pertambangan MIND ID untuk membangun smelter HPAL yang terintegrasi dengan industri baterai untuk kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi listrik (storage). MIND ID melalui Antam, bersama PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) rencananya akan membangun dua pabrik baterai integrasi.

Dengan adanya rencana pengembangan di industri hilir tersebut, investasi nikel di Indonesia diyakini akan semakin progresif. Apalagi dari sisi hulu, wilayah greenfield yang bisa dieksplorasi masih sangat luas.

“Potensi cadangan yang besar dan peluang industri hilir. Indonesia menjadi menarik untuk pengembangan investasi nikel,” imbuh Irwandy.

Dampak positif

Keberadaan hilirisasi nikel dinilai dapat memberikan dampak positif bagi perkonomian negara. Selain dapat meningkatkan nilai rantai pasok produksi, hilirisasi dapat menyelamatkan komoditas bijih nikel dari gejolak harga.

“Di hulu pertambangan itu praktis lebih mudah dilakukan dengan keuntungan yang lebih besar. Namun ketika tarik di hilir muncul istilah keekonomian bahwa nilai tambah keuntungan tidak seimbang dengan investasi (besar). Inilah sedang kita coba sehingga keseimbangan itu terjadi,” jelas Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin.

Aspek keekonomian, sambung Ridwan, merupakan aspek krusial atas keputusan kebijakan hilirasasi nikel di Indonesia.

“Ketika keekonomian itu dikaitkan dengan pohon industrinya atau rantai pasok dari produk-produk hilir belum berjalan sesuai harapan,” ungkapnya.

Ridwan mengakui, perencanaan keberadaan kawasan industri nikel selama ini tumbuh berkat dorongan dari pelaku industri.

“Ini menyadari industri nikel itu penting,” tegasnya.

Dorongan tumbuhnya industri pengolahan berdasarkan besarnya potensi nikel kadar rendah yang dimiliki oleh Indonesia. (ATN)