1 Oktober, Industri Smelter Belum Terapkan HPM Bijih Nikel akan Disanksi

 

Stokfile Ore Nikel Indonesia yang belum di ekspor —ist—

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan menegaskan bahwa pemerintah harus bertindak tegas dalam mengawasi penerapan HPM Bijih Nikel.

“Kita tidak perlu sungkan untuk memberikan sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh,” ujarnya ketika memimpin rapat koordinasi virtual terkait evaluasi Harga Patokan Mineral (HPM) Bijih Nikel di Jakarta, dikutip dari keterangan tertulis dikutip Asiatoday.id, Rabu (23/9/2020).

Rapat koordinasi tersebut berlangsung Senin (21/9/2020) bersama Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Menurut Menko Luhut, pemberian sanksi ini sudah sejalan dengan wewenang pemerintah untuk mengatur harga patokan mineral yang diatur dalam UU nomor 3 tahun 2020 Pasal 5 (2) yang berbunyi “Untuk melaksanakan kepentingan nasional, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan, dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, atau batubara.”

Dalam rakor tersebut terungkap bahwa berdasarkan hasil evaluasi ditemukan masih ada perusahaan surveyor yang belum terdaftar di Kementerian ESDM namun sudah digunakan oleh banyak perusahaan smelter.

Hal ini yang diminta oleh Menko Luhut untuk segera ditindaklanjuti oleh Kementerian ESDM. Perusahaan smelter harus menggunakan surveyor yang terdaftar di Kementerian ESDM karena objek penelitiannya adalah barang mineral tambang.

Ada beberapa rekomendasi yang dilaporkan oleh Satgas HPM yang semuanya disetujui di dalam rakor menteri yang dipimpin oleh Menko Luhut.

Pertama, memberi batas waktu 1 Oktober kepada seluruh perusahaan smelter untuk menyesuaikan pembelian Bijih Nikel agar sesuai dengan HPM.

Kedua, meminta Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian untuk mulai memberi sanksi administratif berupa surat peringatan hingga pencabutan izin bagi perusahaan smelter yang tidak patuh.

Ketiga, melakukan peninjauan fasilitas fiskal berupa tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan (PPh) terhadap perusahaan smelter yang tidak patuh.

Keempat, meminta Kementerian Perdagangan melakukan kajian pembatasan ekspor hasil produksi smelter kepada perusahaan smelter yang tidak patuh.

Terakhir, melakukan kajian ketahanan cadangan bijih nikel melalui Kementerian ESDM.

Menko Luhut meminta satgas untuk segera menindaklanjuti hasil rakor tersebut.

Sorotan Keras

Kinerja Satuan Tugas (Satgas) Pengawas Harga Pokok Mineral (HPM) bentukan Menko Luhut tersebut menuai sorotan keras karena dinilai belum optimal melaksanakan tugas.

Menurut anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto hingga kini masih ada perusahaan peleburan dan pemurnian (smelter) bijih nikel yang tidak mematuhi ketentuan Peraturan Menteri (Permen) No 11 Tahun 2020, yang di dalamnya mengatur tata niaga dan harga nikel domestik yang harus mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM).

Politisi PKS ini pun mendesak Satgas HPM agar lebih tegas menindak pengusaha smelter, terutama smelter asing, yang tidak mematuhi Permen No. 11 Tahun 2020.

“Selama pengusaha smelter tidak patuh pada ketentuan yang ditetapkan maka banyak pengusaha nikel lokal dirugikan,” terang dia dalam keterangannya, Rabu (23/9/2020).

Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Minerba, Asosiasi Penambang Nikel, Batubara, Surveyor, Selasa (22/09/2020) kemarin terungkap bahwa selama ini para pengusaha smelter masih berlaku sewenang-wenang dalam menentukan kadar dan harga bijih nikel.

“Sehingga tidak jarang penambang nikel lokal masih menerima harga jual nikel jauh di bawah HPM,” urainya.

Mulyanto juga meminta Pemerintah segera mengevaluasi kerja Satgas HPM.

“Harusnya Satgas HPM itu bersikap tegas dalam menegakkan aturan HPM sehingga kepentingan pengusaha nikel lokal dapat terlindungi,” imbuhnya.

Mulyanto memandang, selama ini Pemerintah sudah banyak memberi fasilitas kemudahan bagi pengusaha smelter. Seharusnya kemudahan itu digunakan untuk menciptakan iklim kerjasama yang adil dan saling menguntungkan antara pengusaha smelter dengan penambang nikel lokal. Bukan malah mempersulit kepentingan salah satu pihak.

“Menurut saya ini adalah ketidakadilan yang kasat mata. Pemerintah harus bertindak tegas,” seru Mulyanto.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini mengingatkan bahwa sesuai dengan konstitusi dan UU. No. 3/2020 tentang Pertambangan Minerba, sumber daya minerba ini dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk itu pengelolaan dan pengusahaan minerba oleh pemerintah ini tidak boleh merugikan Negara dan masyarakat.

“Pemerintah wajib mengatur, mengawasi dan menindak tegas pelanggaran yang dilakukan para pengusaha smelter tersebut, agar terjadi iklim bisnis yang fair sesuai dengan aturan yang disepakati,” tandasnya.

Selain itu, lanjut Mulyanto, Pemerintah juga harus memikirkan pengembangan dan pemanfaatan nikel yang berkadar rendah di bawah 1.7 persen.

“Sampai hari ini, praktek yang terjadi di lapangan adalah nikel dengan kadar rendah dari penambang lokal tersebut ditolak oleh pengusaha smelter dan menumpuk di pabrik pengolahan,” ungkap Mulyanto.

Mulyanto minta Pemerintah segera membuat aturan khusus tentang pemanfaatan bijih nikel berkadar rendah ini, agar dapat dioptimalkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

“Sebab bijih nikel berkadar rendah tersebut jila diekspor masih memiliki harga yang bagus di pasar internasional. Namun sayangnya, pemerintah telah menetapkan pelarangan ekspor bijih nikel,” imbuh Mulyanto.

Seperti diketahui Peraturan Menteri ESDM No. 11/2020 yang merevisi permen ESDM No. 07/ 2017 mengatur agar pelarangan ekspor bijih nikel ke luar negeri tidak mematikan penambang nikel lokal. Permen ini mengatur harga patokan bawah dan harga patokan atas yang ditetapkan sedemikian rupa, sehingga baik penambang maupun pengusaha smelter memiliki keuntungan yang wajar.

“Namun, dalam praktek di lapangan ketentuan ini tidak diindahkan oleh para pengusaha smelter asing, yang masih membeli bijih nikel dari penambang di bawah HPM. Sehingga penambang lokal merasa dirugikan. Sementara mereka tidak punya pilihan karena diberlakukan larangan ekspor nikel,” pungkasnya. (ATN)

Ore Nikel