Kisah La Salimi, Tunawicara di Muna Barat yang Bertahan Hidup di Gubuk Seluas 2 Kali 1 Meter 

La Salimi, tunawicara asal Muna Barat yang tinggal di gubuk berukuran satu kali dua meter. Foto: Herlis.

MUNA BARAT, LENTERASULTRA.COM – Kehidupan tak selamanya bisa bersahabat. Banyak dari kita yang harus berjuang keras menguras tenaga hanya untuk bertahan hidup. Kondisi tersebut juga dialami oleh La Salimi, laki-laki tunawicara asal Desa Kusambi, Kecamatan Kusambi, Kabupaten Muna Barat, yang berjuang hidup dengan serba terbatas.

Ditinggal kedua orang tuanya menghadap Sang Khalik sejak puluhan tahun silam, La Salimi kecil kemudian diasuh keluarganya.

Beranjak remaja ia kemudian menghabiskan waktu dengan menjadi tukang dorong gerobak. Setiap subuh, ia harus mengantarkan dagangan milik si pedagang di pasar-pasar yang ada di Kecamatan Kusambi. Jasanya juga dipakai saat panen ubi kayu tiba. Petani yang hendak mencabut dan membawa hasil dari kebun ke rumah dengan jarak tiga sampai empat kilo meter. Medan terjal dan berat yang dilalui tak menjadi halangan bagi La Salimi asalkan mendapatkam pundi-pundi rupiah halal.

Tak ada pendidikan yang ia tempuh karena keterbatasan yang ia miliki. Namun dengan dengan bahasa isyarat yang ia gunakan untuk berkomunikasi, sebagian orang bisa memahami pembicaraan La Imi, sapaan akrabnya.

“Sudah lama dia begini. Tapi sudah banyak mi juga yang mengerti maksudnya kalau dia bicara. Kadang kita hanya dengar ujung-ujungnya yang dia bicarakan, kemudian kita tanya lagi. Kalau betul dia bilang “um” atau sesekali dia kasi naik kepalanya,” kata kemanakan La Imi, Nurjannah.

Saat awak Lenterasultra bertemu langsung dengan La Imi, ia sedang mengangkat air untuk mencuci pakaian. Tinggal di dalam sebuah pondok panggung berukuran satu meter dan panjang dua meter, ia menyambut dengan senyum dengan wajah yang tampak mulai menua.

Selembar plastik alas tidur ia jadikan tempat mencuci pakaian. Sebuah bantal kecil dan selembar sarung tua, serta perabot sederhana memenuhi pondoknya.

La Salimi memang kini telah  memilih hidup sendiri di pondok kecil tersebut. Ia sadar, akibat pandemi Covid-19 yang menghimpit ekonomi masyarakat membuat dirinya tak ingin membebani orang-orang di sekitarnya. Meskipun jasanya tak lagi dipakai saat teknologi mulai memudahkan pekerjaan para pedagang ataupun petani, ia tetap ingin hidup mandiri.

“Saya tidak mau kasi repot orang tinggal di rumahnya mereka. Sa mau buka kebun, mau tanam ubi, jagung dan sayur untuk makan,” kata La Imi dalam bahasa isyarat yang diartikan oleh Nurjannah.

Beruntung La Imi masih mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Kepala Desa Kusambi, Ruslan Ofa menuturkan, La Imi adalah salah satu warga yang berhak mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT). Pihaknya akan pro aktif mengulurkan tangan bagi warganya yang benar-benar dalam kondisi memprihatinkan.

“Ada BLT Rp600 dan Rp300 ribu yang dia dapat perbulan saat ini dari Kemensos. Alhamndulillah, saat ini ada jalan dan ke depan akan terus di upayakan oleh pemerintah Desa Kusambi,” pungkasnya. (A)

Reporter: Herlis Omputo Sangia

Editor: Wulan

Kisah La Salimila imila salimiMubarMuna BaratSultraTunawicara di Muna Barat yang Bertahan Hidup di Gubuk Seluas 2 Kali 1 Meter