JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Ribuan warga yang dipimpin oleh mahasiswa membanjiri ruas jalan di Bangkok, Thailand menuntut Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha turun dari kekuasaan. Gelombang massa ini menjadi fenomena baru akan kesadaran politik warga negara Thailand.
“HRW menyaksikan puluhan ribu demonstran mengambil alih ruas jalan Bangkok untuk bergabung dalam protes terbesar yang dipimpin oleh mahasiswa. Protes ini menuntut demokrasi dan pengakuan hak asasi di Thailand. Ini merupakan fenomena baru dari kesadaran politik,” kata Peneliti Senior Human Rights Watch (HRW) Thailand Sunai Phasuk dikutip dari akun Twitter @sunaibkk, Senin (17/8/2020).
Melansir Bangkok Post sebagaimana dikutip Asiatoday.id, Kepolisian Thailand melaporkan pada Minggu (16/8) pukul 19.00 setempat, sebanyak 12 ribu demonstran menutup persimpangan jalan Monumen Demokrasi Bangkok. Namun, demonstran mengklaim bahwa massa melebihi 20 ribu orang.
Aksi protes oleh mahasiswa ini merupakan yang terbesar yang pernah dilihat kerajaan sejak Prayut melakukan kudeta pada 2014.
Para demonstran yang didominasi mahasiswa ini telah mengadakan protes rutin hampir setiap hari di seluruh negeri selama sebulan terakhir untuk mengecam Prayut yang merupakan mantan panglima militer yang memimpin kudeta pada 2014 silam.
Mereka menyuarakan tiga tuntutan, yaitu membubarkan kepemimpinan Prayut, mengamandemen konstitusi, dan memiliki kebebasan mengkritik pemerintah.
Mereka menuntut perombakan pemerintah dan penulisan ulang konstitusi bernaskah militer 2017, yang mereka yakini condong pada pemilu tahun lalu untuk mendukung partai yang berpihak pada militer Prayut.
Demonstrasi berpuncak pada Minggu sore saat demonstran mengambil alih Monumen Demokrasi Bangkok. Monumen Demokrasi Bangkok sendiri merupakan bangunan bersejarah yang menandai revolusi 1932 yang mengakhiri absolutisme kerajaan.
Jika tuntutan tidak perpenuhi pada September mendatang, para demonstran mengancam akan melakukan aksi demo yang lebih besar lagi.
Demostrasi rutin ini memanas dalam 2 minggu terakhir saat aparat keamanan menangkap tiga aktivis. Mereka kemudian dibebaskan dengan jaminan setelah dituduh melakukan aksi penghasutan.
Terinspirasi oleh gerakan demokrasi Hong Kong, para pengunjuk rasa mengklaim tidak memiliki pemimpin dan sebagian besar mengandalkan kampanye media sosial untuk menarik dukungan.
Analis politik Universitas Ubon Ratchathani Titipol Phakdeewanich menilai besarnya gelombang demonstran membawa pesan kepada pemerintah bahwa rakyat tak bisa lagi ditekan dengan hukum yang berlaku.
“Mereka tidak dapat selamanya menggunakan mekanisme hukum untuk melawan rakyat. Mereka dapat melihat bahwa itu (hukum) hanya digunakan untuk melayani kepentingan militer dan partai-partai yang mapan,” katanya seperti dikutip dari CNA. (ATN)