Pemerintah Indonesia Jamin Tata Niaga Nikel di Pasar Domestik Sesuai HPM

 

                                                                                                                                                                                   Penambangan Nikel di Sulawesi —ist–

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan penyempuraan regulasi baru terkait penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) mampu mendorong tumbuhnya pasar nikel domestik dan memastikan penjualan bijih nikel sesuai dengan harga pasar.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Rida Mulyana, penerbitan HPM yang tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam Batubara, dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan penambang nikel maupun pelaku usaha smelter.

“(Tugas pemerintah) bagaimana mencari kesimbangan atau keadilan harga antara keuntungan untuk smelter dan menjamin aktivitas penambangan nikel dapat memberikan margin yang cukup bagi para penambang,” jelas Rida saat konferensi pers secara virtual di Jakarta sebagaimana dikutip Asiatoday.id, Senin (20/7/2020).

Dalam beleid tersebut, Pemerintah telah menetapkan HPM di bawah harga internasional guna meningkatkan keekonomian smelter.

“HPM ini harga bit stocknya harga smelter. Makin rendah tentu saja smelter makin ekonomis. Ini kita tetapkan selalu di harga pasar internasional,” jelasnya.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM Yunus Saefulhak memberikan gambaran atas penetapan HPM di bawah harga internasional.

“Misalnya kalau harga di internasional sebesar USD60 (per Wet Metrik Ton), di kita (Indonesia) paling USS30 (per WMT),” jelas Yunus.

Kendati demikian, penetapan HPM akan tetap berada di bawah Harga Pokok Produksi (mining cost) atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau menambang biji nikel.

Pemerintah menilai keberadaan beleid HPM akan mencitptakan iklim investasi yang kondusif untuk smelter maupun penanmbang.

“HPM ini dalam rangka membuat tata niaga dalam subsektor minerba yang berkeadilan, kompetitif, dan transparan kepada para pelaku usaha penambang maupun smelter,” ungkap Yunus.

Formula HPM sendiri ditetapkan oleh Menteri ESDM yang terdiri dari nilai/kadar mineral logam; konstanta atau corektif faktor; Harga Mineral Acuan (HMA); biaya treatment cost dan refining charges (TC/RC) dan/atau payable metal.

Teknis Perubahan Aturan

Ada beberapa substansi pokok yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 11/2020.

Pertama, aturan pertama terkait penetapan HPM dan HPB itu ditetapkan dengan mempertimbangkan pasar internasional, peningkatan nilai tambah, dan pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik.

Kedua, HPM bijih nikel ditetapkan sebagai harga batas bawah. Transaksi dapat dilakukan di bawah harga, dengan selisih tidak lebih dari 3 persen. Untuk mengantisipasi perbedaan kutipan harga atau penalty mineral pengotor, seperti kadar Fe dan Mg yang melebihi standar.

Ketiga, dalam melakukan pembelian bijih nikel, pihak lain wajib mengacu pada HPM.

Selanjutnya, keempat, penambahan publikasi harga timah mengacu pada Jakarta future exchange dari sebelumnya hanya Bursa Komoditi dan Derivatif indonesia atau Indonesia Commodity and Derivative Exchange (ICDX).

Kelima, formulasi HPM dan HPB pada saatnya ditetapkan perbulan melalui Kepmen ESDM.

Keenam, dilapangan verifikasi kualitas dan kuantitasnya wajib dilakukan oleh surveyor pelaksana, yang akan menerbitkan laporan hasil verifikasi (LHV).

Ketujuh, yang menunjuk surveyor dalam Permen ini adalah Dirjen Minerba, yang akan menetapkan surveyor sebagai verifikator penjualan mineral dan batu bara di lapangan.

Kedelapan, penjualan dalam negeri wajib menunjuk surveyor sebagai wasit (umpire) apabila terjadi perbedaan hasil analisa antara kualitas mineral antara penjual dan pembeli.

Kesembilan, ketentuan formula HPM dan HPB itu juga diatur dalam permen ini dapat ditinjau setiap 6 bulan.

“Jadi kalau misalkan kita terbitkan bulan Februari tambah 6 bulan evaluasinya sekitar bulan oktober,” tutup Yunus.

Penerapan HPM Logam sesuai dengan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tersebut akan dilakukan evaluasi setiap 6 (enam) bulan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan masukan dari para stakeholder sehingga dapat dijadikan sebagai dasar apabila terjadi perubahan.

Permen tersebut diterbitkan pada tanggal 14 April 2020 dan berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan atau efektif berlaku sejak 14 Mei 2020. (AT Network)

tambang