Indonesia Kini dalam Ancaman Resesi Ekonomi

 

                                                                                                                          Mampukah Indonesia terhindar dari resesi ekonomi global? —ilustrasi–

JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Eddy Junarsin mengungkapkan, capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal III (Juli-September) 2020 menjadi penentu kondisi perekonomian Indonesia.

Pasalnya, jika pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut negatif, Indonesia dipastikan mengalami resesi.

Banyak negara di dunia diprediksi akan mengalami kontraksi ekonomi atau resesi akibat pandemi covid-19, termasuk Indonesia.

“Di kuartal II atau April-Juni 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan minus antara -3,5 persen hingga -5,1 persen. Karenanya kuartal III sangat menentukan, kalau pertumbuhannya berlanjut negatif maka Indonesia masuk resesi,” papar Eddy dikutip dalam analisis tertulis, Kamis (16/7/2020).

Menurut Eddy, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III masih akan kembali negatif dan memasuki resesi apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan yang lebih akurat dan konsisten dalam menangani wabah virus corona di Tanah Air. Bahkan, dikhawatirkan resesi tersebut dapat berkepanjangan.

“Kalau kebijakan penanganan lambat atau tidak sinkron, maka efeknya akan berkepanjangan, dan semakin parah pula kondisi perekonomian kita. Waktu recovery-nya pun akan semakin panjang, karenanya penanganan covid-19 ini perlu segera diperbaiki,” terang dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM ini.

Melansir Asiatoday.id, agar bisa keluar dari resesi, Eddy memandang, pemerintah perlu memberikan stimulus dengan membentuk jejaring pengaman sosial dan insentif bagi dunia usaha, terutama jika kebijakan PSBB nasional diterapkan secara total dalam periode singkat.

Sementara itu, stimulus moneter dengan penurunan suku bunga diharapkan mampu menarik minat investor untuk kembali melakukan ekspansi usaha.

“Dalam jangka pendek, metode darurat berupa pembelian kembali surat berharga pemerintah oleh Bank Indonesia (quantitative easing) perlu dilakukan untuk menopang perekonomian agar tidak lumpuh. Konsekuensinya memang akan menyebabkan inflationary pressure setahun ke depan, tapi diharapkan perekonomian bisa membaik setelahnya,” urainya.

Dikatakan, jika pemerintah bisa segera menangani wabah covid-19 dengan baik dan pandemi mereda, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mulai positif kembali pada kuartal IV. Sebaliknya jika pemerintah gagal, maka akan memunculkan risiko social unrest karena tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi.

“Kalau resesi berlangsung 1-2 kuartal, resilience pemerintah dan masyarakat barangkali masih bisa terjaga, tapi kalau lebih dari tiga kuartal maka potensi munculnya social unrest sangat besar,” jelasnya.

Eddy menuturkan, Indonesia pernah mengalami resesi pada periode krisis 1998. Namun demikian, periode tersebut berbeda dengan kondisi yang terjadi saat ini.

“Resesi tahun 1998 secara umum hanya melanda kawasan Asia Tenggara. Kalau saat ini situasi lebih buruk karena melanda seluruh dunia sehingga pemulihannya juga lebih kompleks,” imbuhnya.

Nol Persen

Sementara itu, Bank Dunia masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar nol persen alias tidak tumbuh tahun ini. Perkiraan tersebut serupa dengan proyeksi sebelumnya lantaran dampak pandemi covid-19.

“Untuk Indonesia kami prediksi pertumbuhan ekonomi akan turun dengan cukup signifikan,” kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen dalam video conference di Jakarta, Kamis (16/7/2020).

Menurutnya, ekonomi Indonesia bisa nol persen berdasarkan tiga hal yakni kontraksi ekonomi global, pembukaan kembali aktivitas ekonomi Indonesia, serta tidak adanya gelombang kedua pandemi covid-19.

“Jika ketiga asumsi yang digunakan berubah, maka forecast berubah. Krisis ini selalu berikan baik tantangan dan peluang. Ini waktu bagi kita untuk meraih peluang untuk membangun kembali negara ini dan membangun kembali dengan lebih baik,” jelasnya.

Menurutnya, reformasi pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengurangi hambatan untuk bisa menarik lebih banyak investasi masuk ke Indonesia. Hal ini bisa diwujudkan dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

“Dengan memberikan atau meniadakan hambatan investasi dengan sehat, maka UU omnibus law akan menjadikan struktur dasar untuk investasi. Ini menjadi sinyal ke dunia bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis,” urainya.

Selanjutnya pemerintah perlu mereformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menggalakkan investasi, khususnya di bidang infrastruktur. Kemudian reformasi akselerasi kebijakan pajak juga penting di tengah kebutuhan belanja pemerintah yang meningkat.

“Artinya perlu ada belanja prioritas untuk kesehatan publik, untuk bantuan sosial, untuk pendidikan yang sangat diperlukan. Namun ini tentu saja menjadi tantangan sendiri bagi credit rating. Oleh karena itu, reformasi pajak untuk meningkatkan pendapatan jadi sangat penting agar dapat memfasilitasi public spending yang sehat,” tandasnya. (ATN)

Resesi