JAKARTA, LENTERASULTRA.COM Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendesak pemerintah Indonesia agar membuka keran ekspor bijih nikel kadar rendah secara terbatas. Desakan itu disuarakan lantaran rendahnya penyerapan nikel di tingkat domestik.
Menurut Sekretasis Jenderal APNI Meidy Katrin, bijih nikel kadar rendah tidak diterima di pasar domestik. Pada umumnya smelter membelinya dengan penalti senilai USD7-12 per wet metrik ton (WMT).
“Smelter yang beroperasi di Indonesia hanya melakukan kontrak pembelian bijih nikel kadar tinggi di atas 1,8 persen,” terang Meidy seperti dikutip Asiatoday.id, Selasa(23/6/2020).
Dilain pihak, smelter tidak membeli nikel para penambang sesuai harga patokan mineral sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.
Dengan kondisi ini kata Meidy, bijih nikel kadar rendah di area pertambangan menumpuk karena tidak terserap.
“Perusahaan juga harus menyiapkan tambahan biaya untuk proses pemurnian ulang jika ingin memanfaatkannya kembali. Penambang tidak bisa menghentikan produksi karena nikel kadar rendah dan tinggi berada dalam satu bijih,” jelasnya.
Di pasar internasional bijih nikel dengan kadar 1,65 persen dihargai USD43-46 per ton.
Meidy optimistis pembukaan keran ekspor dapat mendatangkan devisa untuk negara.
“Jika ekspor dibuka kembali untuk tiga tahun ke depan, proyeksi penerimaan devisa bisa mencapai Rp100 triliun,” ujarnya.
Tak hanya itu, akan ada penyerapan 15 ribu tenaga kerja di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Meidy mengestimasi pembukaan ekspor bijih nikel kadar rendah selama tiga tahun didasarkan kepada Undang-Undang Minerba terbaru.
Dalam Pasal 170 A Ayat 1 diatur pemegang Kontrak Karya, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi mineral logam dapat menjual produk tertentu yang belum dimurnikan selama tiga tahun. Syaratnya, pemegang izin telah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian, dalam proses pembangunan smelter, atau bekerja sama untuk pengolahan dan pemurnian mineral logam.
Merespon hal itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengungkapkan, pemerintah tidak berniat membuka kembali keran ekspor bijih nikel mentah.
Pemerintah telah merancang strategi untuk menjadi negara industri penyedia kebutuhan kendaraan listrik dengan mengolah sendiri nikel, cobalt hingga mangan yang melimpah di dalam negeri.
“Langkah ini agar ke depan kita tidak bergantung pada negara lain,” ujarnya.
Mengenai izin ekspor mineral logam mentah hingga 2023 dalam UU Minerba, Yunus menuturkan aturan itu tak berlaku untuk nikel. Dalam Ayat 3 di Pasal 170 A disebutkan, ketentuan ekspor diatur dalam Peraturan Menteri.
“Sampai saat ini Peraturan Menteri yang berlaku tidak mengizinkan ekspor bijih nikel mentah,” tandasnya. (ATN)