JAKARTA, LENTERASULTRA.COM Nasib antara Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China di Indonesia dan Anak Buah Kapal (ABK) warga Indonesia yang bekerja di Kapal China layaknya sebuah paradoks.
Para TKA China mendapatkan perlindungan maksimal di Indonesia, namun berbeda dengan ABK Indonesia yang mengalami perbudakan di kapal China.
“Kalau TKA China dilindungi, mestinya TKI kita juga harus dijamin pelindunganya oleh pemerintah China dan peran itu harus dilakukan oleh pemerintah RI bukan swasta,” tegas Ketua bidang Buruh dan Pekerja MPN Pemuda Pancasila, Jamaludin Suryahadikusuma saat dihubungi di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Jamal mengungkapkan, Republik Rakyat China (RRC) merupakan pasar kerja terbesar sektor perikanan dan pelayaran. RRC merupakan industri perikanan terbesar di dunia yang memiliki ribuan jumlah kapal ikan, dan menjadikan negara itu sebagai negara penghasil ikan nomor satu di dunia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir mayoritas mereka menggunakan ABK yang berasal dari Indonesia. Tiap tahun, diperkirakan puluhan ribu ABK Indonesia berangkat kerja di kapal ikan China melalui mining agency di Jakarta ataupun di daerah daerah. Dengan kata lain, hasil perikanan RRC banyak ditopang oleh tenaga kerja dari Indonesia.
Menurut Jamal, sebagaimana dikutip Asiatoday.id, mencuatnya kasus kekerasan dan perbudakan terhadap para ABK Indonesia harusnya menjadi pelajaran serius bagi pemerintah Indonesia.
Pemerintah jangan hanya menyalahkan maning agency jika terjadi kasus ABK yang bekerja di kapal RRC, tapi harus melakukan introspeksi apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warga.
“Pemerintah harus menghapus berbagai tumpang tindih aturan penempatan ABK kapal dan yang mengakibatkan ABK jadi korban. Jika tidak segera memperbaiki tumpang tindih ini maka sebenarnya pemerintah sudah ikut menyumbang kondisi ABK yang tidak terlindungi selama ini,” tegasnya.
Upaya perlindungan harus dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir untuk memastikan ABK sebelum penempatan maupun ketika mereka bekerja bahkan hingga purna penempatan.
“Apa gunanya kita melakukan perlindungan di dalam negeri jika pemerintah tidak bisa menegosiasikan aturan perlindungan tersebut ke negara penempatan,” tambah Jamal.
Hingga kini, sudah ada beberapa perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan RRC.
Penandatanganan nota kesepahaman bersama atau MoU tersebut dilaksanakan di Great Hall of The People, disaksikan pula oleh Presiden Joko Widodo Jokowi dan Presiden Xi Jinping pada 26 Maret 2015 lalu. Terdapat 8 MoU kerja sama Indonesia dan RRC yang telah ditandatangani.
“Kasus perbudakan di kapal China yang mencuat harus jadi momentum pemerintah untuk meningkatkan bargaining tenaga kerja Indonesia melalui diplomasi untuk meningkatkan perlindungan warga negara,” terang Jamal yang pernah menjadi anggota Satgas Perlindungan TKI di era Presiden SBY.
Dia mempertanyakan, jika pemerintah mau melindungi TKA RRC yang datang bahkan ada pasang badan untuk mereka, lalu apakah ada pejabat RRC yang mau pasang badan untuk perlindungan TKI di sana.
Pemerintah harus membangun sistem perlindungan dan melakukan negoisasi ulang dengan pemerintah RRC agar warga negara yang bekerja di sana khususnya di kapal ikan mendapatkan jaminan perlindungan hukum ketika bekerja.
“Pemerintah harus membangun MoU sebagai payung kerjasama yang mencakup aspek perlindungan menyeluruh terhadap hal-hal ABK yang menjadi dasar MOU antara mining agency user (ownership),” tandasnya. (ATN)