JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Indonesia dan Malaysia bisa jadi “sasaran” Invasi China dalam konflik di Laut China Selatan.
Menurut Direktur Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) Greg Polling, tekanan China terhadap kedua negara akan semakin besar dan agresif.
Dengan menggunakan taktik “berkegiatan normal di bawah yuridisksi”, kapal China diklaim akan memburu negara-negara yang mencoba mengeksploitasi sumber daya di perairan termasuk Indonesia dan Malaysia.
Greg Polling memandang, hal ini terjadi karena China memperluas jangkauan kapal mereka untuk pembangunan pulau-pulau buatan Beijing di perairan Laut China Selatan, dekat kedua negara.
“(Pulau buatan itu) menjadi pangkalan untuk kapal-kapal China. Ini secara efektif mengubah Malaysia dan Indonesia menjadi negara garis depan,” katanya dikutip CNN, Senin (8/6/2020).
Dengan ini, sebagaimana diberitakan Asiatoday.id, Beijing menciptakan penjaga pantai dan kapal penangkap ikan yang dapat dikerahkan untuk mengganggu kapal lain yang berlayar di perairan sensitif itu. Ini sempat terjadi dengan kapal pengebor minyak Petronas, bulan Mei lalu, saat dibuntuti kapal China.
Sejak China mengklaim 90 persen wilayah di Laut China Selatan, perairan itu menjadi sangat rentan akan konflik bersenjata. Klaim China tersebut bertabrakan dengan wilayah sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, hingga Taiwan.
Menurut Polling, posisi negara-negara yang memiliki wilayah di Laut China Selatan menjadi lebih krusial dan kian tertekan.
“Di waktu tertentu, China siap mengirimkan selusin kapal penjaga pantai ke sekitar Kepulauan Spartly di Laut China Selatan kapan saja, sekitar ratusan kapal nelayan China juga siap dikerahkan ke sana,” ujarnya.
Sejauh ini, Malaysia dan Indonesia berusaha menghindari isu Laut China Selatan mempengaruhi hubungan diplomatik dengan China.
Menurut Polling, agresivitas China di Laut China Selatan yang semakin menjadi lambat laun akan memicu negara-negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia, memberontak juga.
“Pada tingkat apa agresi menjadi mustahil untuk diabaikan?” kata Polling.
Saatnya ASEAN Bersatu
Berbagai kalangan menilai, kini saatnya bagi negara anggota ASEAN untuk bersatu menentang dan menghadapi agresivitas China di Laut China Selatan. Sebab, beberapa anggota ASEAN memiliki sengketa langsung dengan China terkait wilayah di Laut China Selatan.
Namun, analis senior ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, Ian Storey, mengatakan hal itu sulit terwujud akibat pandemi virus corona (Covid-19) yang merongrong perekonomian global terutama negara-negara berkembang.
“Tidak peduli seberapa keras China menekan, saya tidak berpikir kita akan melihat anggota ASEAN bersatu dan membentuk front persatuan yang kuat untuk melawan China,” ujar Storey.
“Saya pikir dalam enam bulan ke depan, menjelang akhir 2020, kita bisa melihat China akan menggandakan agresivitas di Laut China Selatan,” terangnya.
Senada dengan Polling. Ia menganggap Malaysia telah lama berupaya menyeimbangkan manfaat hubungan bilateral dengan China. Karena itu, konfrontasi antara kapal Negeri Jiran dan kapal China di awal tahun tidak terlalu diekspos ke media.
Indonesia sendiri terlihat masih cukup tegas melawan agresivitas China di Laut China Selatan meski relasi Jakarta-Beijing terus mendekat di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Namun, para pengamat mengatakan China tidak akan berhenti memperluas pengaruh di Laut China Selatan meski mendapat protes keras dari Indonesia.
“Beijing percaya bisa membungkam oposisi di Indonesia dan pada akhirnya, Indonesia, seperti halnya Malaysia, akan menyadari bahwa mereka tidak punya banyak pilihan selain mengakomodasi kehadiran China,” ujar peneliti senior Foreign Policy Research Institute, Felix Chang, dalam tulisannya pada Januari lalu.
Manuver China tersebut tak terlepas dari ambisi negara itu untuk mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah mereka dengan konsep Sembilan Garis Putus. Namun konsep itu tak pernah diakui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menegaskan tidak gentar dengan klaim itu atau dengan China yang makin agresif.
“Indonesia tidak memiliki permasalahan perbatasan laut dengan RRT. Indonesia juga tidak akan pernah mengakui klaim China atas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) berdasarkan klaim yang tidak dikenal oleh UNCLOS,” tegas Pelaksana tugas jubir Kemlu Teuku Faizasyah, Senin (8/6/2020).
Kemlu menyatakan, pihak yang mengganggu kestabilan di Laut China Selatan merupakan masalah bersama bagi negara-negara di wilayah ini.
Isu Laut China Selatan dan klaim sepihak China memang tak hanya menjadi isu dengan Indonesia. China sempat diseret oleh Filipina ke pengadilan arbitrase internasional akibat klaim Laut China Selatan.
Pada 2016, kasus itu dimenangkan oleh Filipina dan menegaskan China tak berhak mengklaim sumber daya Laut China Selatan berdasarkan konsep Sembilan Garis Putus.
China Abaikan Putusan Arbitrase
Kendati klaim historisnya terhadap Laut China Selatan dimentahkan oleh Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 lalu, Beijing seolah mengabaikan hal itu dan terus melakukan berbagai pembangunan dan instalasi di perairan tersebut.
Sejak 2015, China terus mempercepat pembangunan pulau buatan di atas terumbu karang di Laut China Selatan. Tak hanya membangun daratan, China bahkan memasang sejumlah sistem militer dan bandar udara, pelabuhan, dan sistem radar di pulau-pulau buatan itu.
“Pulau-pulau ini penuh dengan radar dan kemampuan pengawasan sehingga China bisa melihat semua yang terjadi di Laut China Selatan. Di masa lalu, mereka tidak tahu di mana kalian melakukan penambangan atau latihan militer. Sekarang mereka pasti tahu,” jelas Polling.
Sementara itu, menurut Storey, agresivitas China di Laut China Selatan didorong dari keinginan pemerintahan Presiden Xi yang sangat ingin mengembangkan narasi bahwa AS, sebagai negara besar, telah mundur dalam perebutan pengaruhnya di kawasan.
“Ini akan menunjukkan kepada negara di Asia Tenggara bahwa kekuatan militer Amerika dan komitmennya terhadap kawasan itu berkurang. China juga ingin menunjukkan masalah ekonomi yang dihadapinya tidak akan berdampak pada kebijakannya di Laut China Selatan,” papar Storey. (ATN)