JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Pemerintah Indonesia serpertinya tak berdaya membendung penyebaran wabah coronavirus (Covid-19). Saat ini saja, pasien Covid-19 terus menunjukkan kenaikan yang mencapai 22.271 orang per pukul 12.00 WIB, Minggu, 24 Mei 2020. Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pasien positif telah menembus angka 22.271 yang tersebar di 34 provinsi Indonesia.
Mengutip Asiatoday.id, berdasarkan zona, tidak ada provinsi berzona hijau dan kuning terang. Zona hijau merupakan daerah yang steril dari covid-19. Sedangkan Zona kuning terang merupakan daerah dengan frekuensi 1-5 kasus dan zona kuning tua adalah daerah yang memiliki frekuensi 6-9 kasus.
“Wilayah yang masuk dalam kategori zona kuning tua hanya Provinsi Aceh sebanyak 19 kasus,” demikian data yang dikumpulkan Kementerian Kesehatan RI.
Adapun zona oranye daerah yang memiliki frekuensi kasus 20 sampai 49 kasus. Hanya Kepulauan Bangka Belitung yang masuk zona oranye dengan jumlah 39 kasus.
Sementara 32 provinsi masuk kategori zona merah, atau daerah yang memiliki pasien covid-19 lebih dari 50 orang. DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus covid-19 terbanyak.
Sebanyak 6.634 kasus positif covid-19 terdeteksi di DKI Jakarta. Disusul Jawa Timur dengan 3.663 kasus dan Jawa Barat dengan 2.091 kasus positif covid-19.
Sedangkan 29 provinsi dengan zona merah lainnya yakni, Papua 558 orang, Papua Barat 130 orang. Kemudian, Sulawesi Utara 230 orang, Gorontalo 58 orang, Sulawesi Tengah 121 orang, Sulawesi Selatan 1.296 orang, Sulawesi Barat 86 orang, dan Sulawesi Tenggara 215 orang.
Kemudian, Maluku 159 orang, Maluku Utara 100 orang, Nusa Tenggara Timur 79 orang, dan Nusa Tenggara Barat 478 orang. Kalimantan tediri atas Kalimantan Utara 276 orang, Kalimantan Selatan 599 orang, Kalimantan Tengah 368 pasien, Kalimantan Timur 276 kasus, dan Kalimantan Barat 164 pasien.
“Sebanyak 394 pasien di Bali, 1.309 pasien di Jawa Tengah, dan 226 pasien di DI Jogjakarta,” tulis data tersebut.
Sebanyak 789 kasus terdeteksi di Banten. Lampung 109 orang, Sumatera Selatan 736 orang, Bengkulu 69 orang, Jambi 95 orang, Riau 111 orang, dan Kepulauan Riau 154 orang. Sumatera Barat mencatat 478 pasien positif covid-19 dan Sumatera Utara 311 kasus.
Kebijakan Bertolak Belakang
Sebelumnya, langkah Pemerintah Indonesia dalam merespon pandemi global coronavirus (Covid-19) dinilai berantakan dan tidak sinkron.
Pasalnya, aturan yang dikeluarkan pemerintah sering kali bertolak belakang.
“Kita amati, ada sejumlah kebijakan yang saling bertolak belakang, misalnya antara PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dengan kebijakan transportasi antarkawasan,” tegas Anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen di Jakarta, Kamis (21/5/2020).
Menurut Nabil, dengan kondisi itu maka wajar jika kebijakan transportasi umum direspons negatif oleh publik di tanah air. Selain bertentangan, masyarakat bingung dengan kebijakan yang awalnya disampaikan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi itu.
“Ini sekaligus membuat pemerintah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Komunikasi mitigasi pandemi tidak komprehensif dan fakta di lapangan menujukkan itu,” jelasnya.
Pemerintah pun diminta segera membenahi komunikasi lintas sektoral sehingga kebijakan yang dibuat tidak membuat masyarakat kecewa.
“Munculnya tagar #IndonesiaTerserah merupakan suara publik yang harus didengarkan pemerintah,” imbuhnya.
Pemerintah juga diminta bijak dalam mengeluarkan kebijakan. Salah satunya menghargai perjuangan pihak yang berjuang selama ini membantu menghadapi virus corona, terutama tenaga medis dan pihak yang patuh menjalankan aturan PSBB.
“Jadi jelas bahwa jangan sampai perjuangan panjang ini sia-sia, karena kebijakan yang salah sasaran dan komunikasi antar kementerian/antar pejabat yang tidak terpadu,” tandasnya.
Terburuk di Asia Tenggara
Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini juga menilai kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Indonesia dinilai paling buruk dibanding negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN).
“Data hasil PSBB dan kebijakan pandemi Covid-19 di Indonesia paling tidak sukses atau bahkan buruk dibanding dengan tingkat kesuksesan negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN),” jelas Didik J Rachbini, melalui keterangan tertulisnya, yang diterima Kamis (21/5/2020).
INDEF pun mengingatkan pemerintah agar tidak sembarangan melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pelonggaran PSBB secara serampangan sama saja dengan menuju herd immunity (kekebalan kawanan) dengan cara berbahaya.
“Peringatan yang harus disampaikan di sini bahwa pelonggaran dan wacana pelonggaran yang tidak berhati-hati tanpa pertimbangan data yang cermat sama dengan masuk ke dalam jurang kebijakan herd immunity. Yang kuat sukses, yang lemah tewas,” jelasnya.
Herd immunity atau ‘kekebalan kawanan’ merupakan imunitas banyak individu terhadap suatu virus, kekebalan itu didapatkan banyak individu karena kawanan mereka sudah terjangkit virus secara besar-besaran. Yang selamat dari virus akan kebal, namun yang tidak selamat akan meninggal.
“Ini bisa dianggap sebagai kebijakan pemerintah menjerumuskan rakyatnya ke jurang kematian yang besar jumlahnya,” tutur Didik.
Karena itu, INDEF meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhati-hati terhadap wacana pelonggaran PSBB. Wacana itu membuat masyarakat tidak lagi disiplin mengikuti protokol kesehatan pencegahan penyebaran virus Corona.
“Presiden harus berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap pelonggaran dan wacana pelonggaran yang sudah salah kaprah dan ditanggapi terserah saja oleh publik dan masyarfakat luas. Ini sebagai pertanda tidak percaya dan pasrah terhadap keadaan,” tutur Didik.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan cara pembiaran penyebaran virus untuk mencapai herd immunity karena risiko banyaknya korban jiwa yang mungkin bisa ditimbulkan.
WHO memandang, masyarakat manusia bukanlah sekadar kawanan hewan (herd), jadi cara itu tidak cocok diterapkan untuk masyarakat.
Didik merujuk data dari Endcoronavirus (ECV) yang merupakan koalisi relawan internasional, mengaku disokong 4.000 relawan, terdiri dari ilmuwan, organisator masyarakat, warga yang peduli, pebisnis, dan individu. ECV dimulai sejak 29 Februari 2020 pada organisasi induk New England Complex Systems Institute (NECSI) di Cambridge, Amerika Serikat.
Dalam data Endcoronavirus, kurva virus Corona dari negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) bisa dibandingkan. Didik membandingkan kurva Corona di Indonesia dengan kurva Corona Singapura, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Hasilnya, hanya Indonesia saja di antara negara-negara itu yang kurvanya nampak menanjak tanpa penurunan signifikan.
“Dengan melihat fakta yang ada dan kurva yang masih terus meningkat, maka atas dasar apa wacana dan rencana pelonggaran akan dilakukan? Baru wacana saja sudah semakin tidak tertib dan PSBB dilanggar secara massal di berbagai kota di Indonesia tanpa bisa diatur secara tertib oleh pemerintah. Keadaan ini terjadi karena pemerintah menjadi masalah kedua setelah masalah Covid-19 itu sendiri. Pemerintah tidak menjadi bagian dari solusi, tetapi masuk ke dalam menjadi bagian dari masalah,” papar Didik.
PSBB Longgar
Sementara itu, Rektor Universitas Alma Ata Yogyakarta Hamam Hadi memandang, PSBB di Indonesia saat ini mulai longgar. Situasi ini memicu peningkatan kasus terkonfirmasi positif virus corona (covid-19) dalam beberapa hari terakhir.
“Tidak dimungkiri bahwa PSBB itu longgar, saya katakan bukan pelonggaran ya, tapi longgar. Dan longgarnya PSBB itu telah memicu lonjakan kasus covid-19,” jelasnya melansir Antara, Minggu (24/5/2020).
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu mengemukakan lonjakan kasus positif pada Kamis 21 Mei 2020 mencapai 973 kasus. Padahal, hari-hari sebelumnya penambahan positif berkisar 300 sampai 500 kasus, meski angka tersebut dapat dikatakan sudah naik.
Dia mengatakan tren kasus positif covid-19 di seluruh Indonesia selama ini belum pernah turun. Namun, pernah mengalami pelambatan dalam arti penambahan kasusnya stagnan, yaitu pada periode pertengahan April sampai awal Mei. Setelah sepekan pertama Mei hingga saat ini, kasus justru naik.
“PSBB di DKI Jakarta pada 10 April ada dampaknya, pelambatan sampai 18 April, tetapi setelah 7 Mei ada peristiwa penting seperti pemberlakuan transportasi darat, udara, beberapa hari kemudian kasus positif naik signifikan,” terangnya.
Dia mengatakan lonjakan kasus covid-19 tidak lepas dari mobilitas tinggi warga ke bandara dan stasiun. Kemudian, pemudik yang sudah sampai kampung halaman mengunjungi pasar, pusat perbelanjaan yang buka dan berkerumun yang berpotensi menjadi tempat penularan.
“Jadi ada satu pasien tularkan ke dua, tiga pasien. Bisa disebut ini sebagai ‘secondary attack’ (serangan kedua) bagi kasus covid-19 ini, semakin banyak ada kerumunan makin tinggi kasusnya, makin banyak orang pergi ke mal, bandara makin tinggi,” katanya.
Dia mengatakan sejak bandara dan mal mulai dibuka, maka sepekan kemudian kasus positif akan terlihat naik. Hal tersebut dibuktikan bahwa sebelumnya penambahan kasus sempat tertahan pada angka 500 kasus, namun dikagetkan dengan lonjakan lebih dari 900 kasus positif.
“Tentu ini kejadian yang mengerikan sampai hampir 1.000 kasus tambahnya. Dan kami perkirakan kalau PSBB masih longgar seperti ini, bukan tidak mungkin akan terus bertambah, apalagi kita akan merayakan Idulfitri, masyarakat merayakan Lebaran di kampung,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah lebih memiliki ketegasan, keseriusan, dan kedisiplinan dalam meyakinkan masyarakat untuk mematuhi PSBB dan protokol kesehatan. Pemerintah juga diminta lebih ketat dalam memberikan sanksi jika ada pelanggaran guna mencegah kasus makin melonjak.
“Jika pemerintah gagal meyakinkan masyarakat untuk menahan diri merayakan Lebaran atau berkerumun tanpa protokol kesehatan, bisa diprediksi ada lonjakan kasus lima sampai tujuh hari kemudian. Makin terkendali makin rendah, makin tidak terkendali makin tinggi kasusnya,” jelasnya. (ATN)