JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Pandemi global wabah coronavirus (Covid-19) kian dirasakan dampaknya oleh industri di Indonesia, tak terkecuali industri pertambangan nikel.
Pemerintah Indonesia pun didorong untuk mencermati kondisi para pelaku industri, salah satunya dengan mempertimbangkan pemberian relaksasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambangan Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey meminta pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor bijih nikel berkadar rendah sementara agar penambang bisa hidup dan bertahan ditengah krisis.
Langkah ini dipandang krusial guna menghindari terjadinya pengurangan tenaga kerja termasuk menjaga stabilitas kredit perbankan oleh para pelaku industri.
“Kami berharap pemerintah dapat membuka relaksasi ekspor nikel ore untuk meningkatkan devisa penerimaan negara. Pemberian relaksasi ekspor bijih nikel berkadar rendah yakni dibawah kadar 1,65 persen ini minimal dalam jangka waktu 1 tahun,” terang Meidy dalam keterangan tertulis sebagaimana dikutip Asia Today.id, Minggu (5/4/2020).
Menurut Meidy, Pemerintah dapat mengembalikan Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2017 dimana pelarangan eskpor dimulai pada 12 Januari 2022.
“Kami minta agar ekspor nikel ore ini kembali dibuka. Pemerintah bisa memberikan beban bea ekspor yang tinggi untuk ekspor nikel ore BK 20 persen. Bea keluar ekspor ore ini bisa dialokasikan langsung untuk bantuan penyelesaian masalah akibat dampak coronavirus di dalam negeri,” imbuhnya.
Meidy menjelaskan, para penambang akan mengalokasikan Rp10.000 per wett metriks ton untuk bantuan menangani Covid-19 yang diberikan di setiap wilayah ekspor.
Apabila pemerintah membuka pintu ekspor bijih nikel berkadar rendah, pengelolaan ekspor tesebut dapat dilakukan melalui satu pintu yakni melalui APNI atau melalui BUMN yang ditunjuk pemerintah.
“Kami sangat berharap pemerintah bisa memberikan relaksasi ekspor bijih nikel berkadar rendah, tentunya dengan sistem yang ketat,” terang Meidy
Meidy menerangkan, saat ini kondisi para penambang nikel semakin terpuruk akibat pandemi coronavirus, apalagi setelah larangan ekspor nikel di awal Januari ditutup.
“Beberapa perusahaan sudah melakukan penghentian produksi,” ujarnya.
Berhentinya sejumlah operasional penambangan nikel ini karena adanya kendala operasi menyusul adanya pembatasan wilayah oleh Pemerintah Daerah sehingga berdampak pada mobilitas tenaga kerja karena sulit masuk area produksi akibat Covid-19.
“Tidak semua smelter atau fasilitas pemurnian menjalankan operasi di semua line sehingga permintaan nikel ore mengalami penurunan,” jelas Meidy.
Dia menambahkan, saat ini smelter lokal hanya menerima kadar ore tinggi yakni di atas 1,8 persen. Dengan kata lain, kadar rendah di bawah 1,8 persen tidak diterima oleh smelter lokal.
“Smelter lokal yang hanya menerima kadar 1,8 persen ini dampaknya justru memicu banyak ilegal mining sebab penambang mencari sumber-sumber baru untuk bisa menemukan kadar tinggi 1,8 persen,” urainya.
Smelter lokal kata dia, terlalu selektif menerima nikel ore yang gradenya tinggi dengan jenis sio, mgo, dan fe. Sementara, apabila diekspor tak ada selektif kualitas nikel. Dengan kata lain, para buyer di luar negeri menerima kualitas apapun.
Tak hanya itu, harga beli nikel oleh smelter di dalam negeri pun sangat rendah yakni hanya USD18 per ton free on board (FoB), dimana di bawah biaya produksi penambang yang sebesar USD20 per ton.
“Smelter lokal prioritas membeli ore hanya kepada anak perusahaan sendiri atau tambang sendiri,” tuturnya.
Hingga saat ini, pemerintah belum mengeluarkan beleid ketentuan tata niaga nikel domestik, padahal beleid ini dijanjikan akan keluar pada akhir Maret lalu.
Adapun dalam beleid ini akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) sebagai harga dasar jual beli nikel domestik dimana juga akan diatur batas bawah dari HPM tersebut.
Kemudian dalam beleid ini juga akan diberikan sanksi bagi smelter maupun penambang apabila tak mengikuti aturan. Selain itu juga akan diatur wasit surveyor antar kedua belah pihak agar adil.
“Kami berharap agar beleid ini segera keluar yang mengatur HPM dan tata niaga nikel domestik,” tandas Meidy.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli memandang, kebijakan relaksasi ekspor nikel ore kembali perlu dikaji lebih mendalam karena akan berpengaruh kepada neraca sumberdaya dan cadangan nikel.
“Pemenuhan kebutuhan bijih nikel untuk kebutuhan dalam negeri, harga komoditas akibat over supply dan pada akhirnya akan berpenagaruh kepada kelayakan bisnis smelter,” kata dia saat dihubungi, Minggu (5/4/2020).
Ia menerangkan, wabah covid-19 sudah mempengaruhi segala lini kehidupan dan industri dihampir seluruh Negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini juga dapat memengaruhi dunia tambang apabila penyebaran Covid-19 ini tidak bisa dibendung.
Ia menjelaskan, setelah pemerintah mencabut aturan relaksasi ekspor nikel ore, banyak perusahaan yang terkena imbasnya karena tidak membangun smelter sendiri sehingga tidak bisa berproduksi seperti biasanya.
Hanya perusahaan tambang yang memiliki smelter atau pembeli dari smelter yang beroperasi untuk memenuhi permintaan pelanggan smelter.
“Diharapkan kalau smelter yang direncanakan selesai dibangun semua, tentu permintaan akan nikel ore akan meningkat lagi. Namun, lagi-lagi karena pengaruh covid-19 ini bisa berpengaruh kepada penyelesaian pembangunan smelter tersebut,. Situasi ini dilematis, tetapi harus direspon oleh pemerintah,” tandas Rizal. (ATN)