KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Belum juga usai duka akibat bentrokan warga di dua desa di Kabupaten Buton, kini Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali dirundung duka. Sebanyak 7 dari 17 kabupaten/kota terendam banjir.
Ketujuh daerah itu yakni, Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Utara (Konut), Konawe Selatan (Konsel), Kolaka Timur (Koltim), Buton Utara (Butur), dan Bombana. Kabupaten Konut, menjadi wilayah yang paling parah.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sultra, Saharuddin menduga aktivitas pertambangan menjadi biang keladi banjir bandang di Konut. WALHI mencatat, setiap tahun ada sekira 8,8 persen wilayah hutan hilang. Itu telah terjadi sejak 19 tahun yang lalu dimulai sejak tahun 2000 sampai dengan 2019.
Kata Saharuddin, hutan merupakan penahan dan area resapan air yang paling efektif. Dengan menurunnya kawasan hutan secara tidak langsung berdampak kepada hilangnya area penahan dan resapan air.
“Apabila musim penghujan tiba, hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Debit air yang turun melebihi kapasitas tidak mampu diresap. Sehingga air mencari ruang hingga merembes ke rumah warga,” tuturnya kepada jurnalis lenterasultra.com melalui sambungan telepon, Rabu, (12/6/2019).
Berdasarkan informasi yang dihimpun, sepanjang periode 2009-2011, sebanyak 117 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikeluarkan oleh Kepala Daerah Konawe Utara kepada 82 perusahaan. Perinciannya, 79 IUP Eksplorasi untuk 62 perusahaan, dan 38 IUP Operasi Produksi untuk 31 perusahaan.
Sebagian besar izin pertambangan yang dikeluarkan terkait pertambangan nikel, sebanyak 112 IUP untuk 79 perusahaan. Sisanya pertambangan gamping/kapur sebanyak 3 IUP, dan emas serta kromit masing-masing 1 IUP.
Oleh karena itu, melalui kesempatan ini Walhi meminta kepada pemda untuk mengkaji kembali sejumlah IUP yang telah dikeluarkan.
“Saya kira pemerintah harus mereview IUP yang sudah dikeluarkan itu,” terangnya.