Modus Kecurangan Pemilu

Direktur AMAN Center, Laode Rahmat Apiti. (Istimewa)

KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Kurang dari dua minggu lagi, tepatnya 17 April 2019 nanti, tiba saatnya kita berpartisipasi langsung dalam hajatan demokrasi pemilihan umum.  Hiruk pikuk menjelang perhelatan demokrasi jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 sudah semakin meriah.

Isu dan opini antar para kontestan terkait pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilihan anggota legislatif pun mewarnai pemberitaan di media massa. Pertarungan antar kontestan pun tak jarang bergeser ke tema-tema yang  yang justru tidak substansial dan malah bersifat personal.

Yang menarik untuk dicermati dalam setiap momentum pemilu sebenarnya adalah tentang isu kecurangan. Betapa tidak, tak jarang berbagai cara dan strategi diracik oleh para  politisi untuk memenangakan pertarungan tanggal 17 April mendatang.

Bagi politisi kawakan, saat ini memasuki minggu-minggu kritis. Maka salah satu cara yang biasa dilakukan dengan “mengunci” basis-basis suara. Sehingga tidak tergerus oleh lawan politik.

Tahapan silakan berjalan, tapi kecurangan juga terus berjalan sesuai dengan keterampilan masing-masing politisi. Bagi politisi, memenangkan pertarungan dengan cara apa pun lebih terhormat ketimbang kalah terhormat.

Hasil penelusuran penulis ketika berdialog dengan pemilih mayoritas referensi mereka dalam memilihi yakni rupiah. Tak satu pun visi dan misi caleg yang mereka pahami bahkan lebih ekstrem dikatakan “Politisi dan atau caleg harus ditipu juga oleh rakyat karena bagi kami, kalau sudah duduk mereka lupakan kami”.

Kesibukan politisi saat ini bukan memperdalam visi dan misi tapi mencari modus yang aman untuk melakukan kecurangan. Mendata wajib pilih untuk sasaran serangan fajar mulai dilakukan, penjagaan super ketat di basis masing-masing juga sudah mulai diterapkan.

Perangkat keras (preman politik) mulai disiagakan di posko-posko strategis untuk memantau situasi di lapangan. Bahkan pemeriksaan kerap dilakukan agar pertahanan basis tidak jebol.

Penyelenggara silakan bekerja sesuai tupoksi masing-masing tapi untuk pola kecurangan bervariasi yang akan muncul di lapangan, Bawaslu wajib lihai membaca situasi di lapangan. Karena kalau tidak Bawaslu akan jadi bahan ejekan politisi yang curang.

Menurut analisa penulis trend kecurangan yang muncul menjelang pelaksanaan pemungutan suara dikemas dalam beberapa modus.

1. Serangan Amplop

Amplopnisasi, cara yang umum dilakukan untuk “membeli” suara . Metode ini dilakukan oleh para tim sukses di setiap RT dan RW serta biasanya dilakukan oleh kordinator RT/RW dan atau koordinator tim di tingkat TPS. Pola ini sudah tidak efektif dan gampang tercium oleh lawan politik maupun penyelenggara (Bawaslu).

2. SMS Banking

Untuk politisi yang bertarung di perkotaan, cara amplop akan ditinggalkan dan beralih pada sms banking.  Metode ini bisa dilakukan tanpa tercium oleh lawan dan pemilih bebasis DPT menjadi sasaran utama serangan fajar sehingga serangan sms banking tepat sasaran dan tidak menguap pada pihak-pihak lain. Sehingga Bawaslu pun sulit untuk mengedus bila masih berkutat pada pola pengawasan manual.

3. Membeli Surat Pemberitahuan Pemilih (C6)

Kecurangan modus ini masi kerap terjadi di lapangan. Bahkan cara ini sangat efektif untuk mengontrol perolehan suara di TPS. Pemilih akan diberi duit dengan menyerahkan C6 pada tim sukses yang ditugaskan.

Tidak cukup sampai di situ, da dua instruksi bila menggunakan modus C6. Pertama pemilih diarahkan untuk memilih caleg tertentu. Kedua pemilih diintruksikan untuk golput.

Cara kedua biasanya digunakan untuk menekan angka partisipasi. Sehingga dukungan perolehan suara lawan mengalami penurunan sehingga terjadi penggembosan basis lawan politik yang ber efek pada perolehan suara.

Tiga modus diatas merupakan potret kecurangan yang sering digunakan untuk melakukan kecurangan.  Berdasarkan pengalaman penulis, biasanya modus ini dilaksanakan pada saat tahapan minggu tenang untuk itu tindakan antisipatif dari bawaslu harus dilakukan karena bila lalai sedetikpun kita akan menyaksikan pesta demokrasi yang bermertamorfosis menjadi pesta kecurangan politisi.

Oleh: La Ode Rahmat Apiti (Direktur AMAN Center)

Rahmat Apiti