JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materiil terkait aturan penambahan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di Kabupaten/Kota dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan gugatan pemohon tak beralasan menurut hukum.
“Menolak provisi para pemohon, dalam pokok permohonan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ucap Anwar Usman, Hakim Ketua saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, (28/3/2019).
Diketahui gugatan ini diajukan oleh Komisioner KPU Kabupaten Pulau Seribu periode 2013–2018; Palaloi, Pengawas Pemilu Kecamatan Gunung Sitoli Utara Tahun 2019; Melianus Laoli, Ketua PPK dalam Pemilukada Kabupaten Nias Barat 2015; Sitefano Gulo Ketua KPU Soppeng 2018; Abdul Rasyid, dan Panitia Pengawas Pemilihan di Kabupaten Mahakam Ulu pada Pemilukada Gubernur Tahun 2017; Alex.
Mereka merasa dirugikan dikarenakan dengan ketentuan Pasal 92 ayat (2) huruf c yang menyebut anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota diwakilkan 3 atau 5 orang. Pasalnya, dengan kewenangan serta beban kerja Bawaslu ditingkat Kabupaten/Kota yang semakin luas mengakibatkan perlu adanya penambahan jumlah personel agar kinerja yang dilakukan tidak menghambat proses pemilu.
Diantaranya yakni wewenang untuk memeriksa, memediasi, mengajudikasi, dan memutuskan penyelesaian sengketa proses pemilu di wilayah kabupaten/kota. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum para pemohon adalah putusan MK Nomor 31/PUU-XVI/2018 tentang penambahan anggota KPU Kabupaten/Kota.
Terkait dalil tersebut, Mahkamah berpandangan berpandangan bahwa beban kerja penyelenggaraan pemilu lebih banyak berada di KPU, termasuk KPU Kabupaten/Kota. Beban demikian terjadi karena penyelenggaraan tahapan, mulai dari masalah data pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan, hingga penetapan calon terpilih menjadi tanggung jawab KPU.
Dengan titik fokus kerja penyelenggaraan pemilu yang ada di KPU maka segala pertimbangan hukum Mahkamah dalam pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak serta-merta dapat digunakan dalam
mempertimbangkan keberadaan Pasal 92 ayat (2) huruf c UU Pemilu dengan alasan beban kerja.
Meski demikian, MK sama sekali tidak menolak perihal terdapatnya penambahan beban kerja Bawaslu di semua tingkatan, yaitu tugas menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui mediasi maupun ajudikasi, hanya saja, beban kerja dimaksud terbagi secara merata di setiap tingkatan. Dalam arti, kewenangan pengawasan dan penyelesaian sengketa proses pemilu dilakukan sesuai tingkatan yang ada.
Dalam konteks ini, sekalipun terdapat penambahan beban kerja Bawaslu, namun hal tersebut masih berada dalam ambang batas beban kerja yang proporsional dengan jumlah anggota Bawaslu di semua tingkatan termasuk beban anggota Bawaslu Kabupaten/Kota.
Sedangkan secara faktual, penambahan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota sesungguhnya bukan menyangkut pada teknis pelaksanaan, melainkan lebih pada tugas penyelesaian masalah hukum pemilu yang muncul. Artinya, tanpa penambahan jumlah anggota sekalipun, Bawaslu Kabupaten/Kota masih dapat menjalankan tugasnya secara maksimal.
Pertimbangan tersebut didasari dua alasan. Pertama, dalam melakukan pengawasan, Bawaslu Kabupaten/Kota memiliki perangkat pengawas kecamatan sampai dengan pengawas lapangan. Kedua, peran serta masyarakat dalam mengawasi pemilu juga akan turut meringankan beban kerja pengawasan yang dimiliki Bawaslu Kabupaten/Kota.
Berdasarkan UU Pemilu, masyarakat juga dapat ikut berpartisipasi dalam pemilu, termasuk mengawasi pemilu dan melaporkan dugaan- dugaan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu di semua tingkatan. Oleh karena itu, penambahan tugas untuk penegakan hukum pemilu tidak dapat dianggap sebagai beban berat yang mengharuskan dilakukan perubahan kebijakan dengan menjadikan jumlah anggota Bawaslu secara sama lima orang untuk semua kabupaten/kota.