Carut Marut Pertambangan di Sulawesi Tenggara

Laode Rahmat Apiti, Direktur AMAN center

KENDARI, LENTERASULTRA.COM – Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) salah satu daerah yang memiliki sumber daya alam khususnya nikel. Sektor pertambangan menjadi salah satu penopang perputaran ekonomi serta membuka peluang kerja bagi masyarakat di wilayah tersebut.

Kekayaan alam yang terkandung menjadi berkah bagi masyarakat sekitar blok tambang, namun pada sisi yang lain juga menjadi “racun” bagi pegiat lingkungan hidup. Berbagai protes masyarakat terkait aktifitas penambangan selalu terjadi di tengah masyarakat. Misalnya tumpang tindih lahan, penyerobotan lahan warga pencemaran lingkungan maupun problem sosial lainnya.

Sementara pada aspek legalitas, sebagian perusahaan tambang tidak memiliki ijin yang lengkap untuk melakukan operasi produksi. Ironinya, operasi terus berlangsung di lapangan dan anehnya aparat hukum maupun instansi terkait seakan menutup mata dan terkesan melakukan pembiaran.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) pada bulan November 2018, terdapat 528 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan hanya 8 perusahaan tambang yang mempunyai kuota eksport dan lebih banyak yang tidak melakukan  produksi sehingga mayoritas masih jadi lahan “tidur”. Parahnya lagi sebagaimana diungkapkan KPK , luas IUP melebihi luas daratan sulawesi tenggara. Aneh bin ajaib!!

Problematika yang menyelimuti pertambangan di bumi anoa ini sudh akut dan tidak  bisa ditoleransi lagi. Sebab membiarkan hal ini terus terjadi sama dengan mewariskan masalah pada generasi selanjutnya.

Berbagai protes masyarakat hanya menjadi angin lalu bahkan aktifitas pertambangan terus berjalan walaupun sudah “menabrak” berbagai aturan. Sehingga pertambangan di  sultra carut marut dan menjadi “pabrik” problematika di tengah masyarakat. Lntas mengapa bisa terjadi carut marut dan terkesan ada pembiaran? Menurut hemat penulis ada beberapa faktor yaitu:

1. ATM berjalan

Industri pertambangan menjadi lahan basah aksi suap menyuap. Perputran uang gelap di industri pertambangan sangat menggiurkan bahkan sekali suap para pelaku bisnis minimalis Rp 100 juta untuk satu jenis masalah kecil dan kalau aktiftas penambangan ilegal terjadi tentu upetinya suda miliaran angka yang sangat fantastis dan menggoda iman seseorang.

Jadi bila perusahaan tambang yang beroperasi tanpa disertai dengan seluruh perijinan sudah dipastikan miliiaran yang akan dikeluarkan untuk “menyumbat” oknum yang terkait dengan kewenangan pertambangan. Jngan heran kalau aksi penambangan ilegal akan terus terjadi karena kasus seperti ini sengaja dibiarkan untuk dijadikan ATM berjalan.

2. Bekingan Aparat Bersenjata

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalir kalau penambangan ilegal karena dibekingi aparat keamanan yakni aparat bersenjata dan yang terjadi di lapangan menjadi akut karena aktifitas penambangan dijaga aparat bersenjata. Salah seorang mantan aktifias Walhi pernah merasakan teror aparat karena membeberkan aktifitas penambangan ilegal.  Seharus nya aparat bersenjata tidak melindungi dan atau melakukan penjagaan “khusus”  terkait aktifitas penambangan ilegal.

3. Obral IUP

Ketika pemerintah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk menerbitkan ijin usaha pertambangan, para bupati sepertinya memanfaatkan hal tersebut untuk mengeluarkan ijin tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dan lebih tragisnya lagi banyak IUP yang tumpang tindih. Pendapatan asli daerah (PAD) menjadi “mantra” para bupati menerbitkan perijinan tambang akibat nya menjamurnya perijinan tambang masalah juga bermunculan.

Selain itu cerita yang banyak beredar di kalangan pengusaha tambang ada biaya “segar” yang harus disuntik untuk mendapatkan IUP nominal nya bermain diangka Rp 1-2 miliar. Artinya, jika satu kabupaten mengeluarkan ijin sekitar 200, silakan anda hitung berapa pendapatan tidak resmi para Bupati!

Problem yang muncul tentu saja beragam dan masyarakat menjadi “korban” jangka panjang dan pemerintah tidak boleh mendiamkan virus tersebut menyerang masyarakat. Terkait hal itu solusi alternatif yang bisa ditempuh yakni melakukan moratorium ijin serta menata ulang berberbagai aktftas pertambangan.

Secara teknis pengajuan ijin baru harus dihentikan seraya melakukan verifikasi adminitrasi dan faktual terkait aktiftas penambangan. Dinas pertambangan selaku komandan di bidang ini harus berani melakukan langkah yang tidak populer agar pertambangan disultra tidak carut marut.

Langkah taktis dan strategis Kadis Pertambangan dan Kepala Bidang Minerba Sultra dinantikan oleh publik sehingga kinerja mereka. Bukan malah melanjutkan kesalahan-kesalahan para pendahulunya.

Penulis: Lode Rahmat Apiti, Direktur AMAN Center