JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Debat perdana Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden 2019 telah selesai dilaksanakan, Kamis, (17/1/2019) malam kemarin. Debat dengan tema Hukum, HAM, terorisme dan korupsi ini berhasil mencuri perhatian. Semua perhatian media, seolah-olah tertuju padanya, termasuk tim redaksi Lenterasultra.com.
Berdasarkan rangkuman jurnalis Lenterasultra.com yang bertugas, terdapat tiga topik pembicaraan yang membuat suhu di arena perdebatan semakin memanas. Berikut rangkumannya.
1. Nama Ratna Sarumpaet Bunyi di Arena Debat
Awalnya, Capres nomor urut dua, Prabowo Subianto menyebut bahwa selama Joko Widodo memimpin negeri ini empat tahun lebih lamanya, penegakan hukum rasanya berat sebelah. Prabowo pun mengambil contoh salah satu Kepala Desa (Kades) di Jawa Timur (Jatim) yang mendukungnya, namun malah ditahan. Sedangkan jika ada Gubernur atau Kepala Daerah yang secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada Jokowi-Ma’aruf, malah tidak dipermasalahkan.
“Saya kira ini suatu perlakukan tidak adil, menurut saya ini pelanggaran HAM. Karena menyatakan pendapat itu dijamin Undang-undang dasar, jadi sebetulnya siapa pun boleh menyatakan pendapat dukungan kepada siapa pun. Saya kira ini yang kami mohon Bapak perhitungkan mungkin juga ada anak buah Bapak berlebihan,” kata Prabowo.
Tak terima dengan tuduhan tersebut, Jokowi meminta agar mantan suami Titiek Soeharto itu jangan main tuduh hukum tidak adil. Pasalnya ada prosedur hukum yang berlaku. Kalau pun memang ada yang menyalahi, ia mempersilakan hal tersebut segera dilaporkan.
Tak tanggung-tanggung, mantan Wali Kota Solo itu pun malah menyerang balik Prabowo dengan mengungkit kasus hoaks Ratna Sarumpaet. Ratna mengaku dipukuli, padahal operasi plastik.
“Misalnya Jurkamnya Pak Prabowo, katanya dianiaya, mukanya babak belur. Kemudian konferensi pers bersama-sama, akhirnya apa yang terjadi, ternyata operasi plastik. Ini negara hukum, kalau ada bukti-bukti, silakan lewat mekasnisme hukum laporkan dengan bukti-bukti yang ada,” tegas Jokowi.
2. Biaya Politik Tinggi: Jokowi-Ma’aruf Tekankan Rekrutmen Berdasarkan Kompetensi, Prabowo-Sandi Tekankan Kenaikan Gaji PNS
Topik ini, cukup mendapatkan perhatian dari masyarakat. Pasalnya kedua Paslon memiliki pandangan yang berbeda dalam menuntaskan persoalan ini. Yang mana, Jokowi-Ma’aruf lebih menekankan pada proses rekrutmen yang berbasis pada kompetensi. Sedangkan Prabowo-Sandi lebih memilih menaikan gaji ASN/PNSnya.
Awalnya, Jokowi-Ma’aruf mendapatkan pertanyaan bagaimana strategi keduanya dalam mengatasi Politik Berbiaya Tinggi. Mengingat untuk menduduki jabatan publik sering kali, dibutuhkan biaya yang tinggi. Sehingga setelah menduduki jabatan, perilaku korupsi kerap tidak terhindarkan.
“Prinsipnya, rekruitmen harus berbasis kepada kompetensi bukan finansial dan bukan kepada nepotisme,” jawab Jokowi.
Untuk jabatan politik, ia akan berupaya untuk terus melakukan penyederhanaan sistem di dalam sistem kepartaian di negeri ini. Sehingga Pemilu menjadi murah, pejabat-pejabat yang terpilih tidak terbebani oleh biaya-biaya Pemilu.
Caranya dengan memangkas money politic atau politik uang. “Dengan begitu, kita bisa mendapatkan pejabat-pejabat publik yang memilliki integritas, yang memiliki kapasitas yang baik dan kita harapkan dengan pola rekrutmen-rekrutmen seperti ini, jabatan-jabatan baik itu Bupati, Wali Kota, Gubernur, dan seteeusnya bisa didapatkan dari putra putri terbaik karena memang rekrutmennya berjalan dengan transparan akuntabel dan bisa semua orang lihat,” ucap Jokowi.
Begitu juga dengan posisi pejabat di birokrasi, rekrutmennya harus transparan, sederhana dengan standar yang jelas. Sehingga jabatan publik benar-benar diisi oleh orang-orang yang berkompeten.
“Dan ini sudah dilakukan, semua orang bisa lihat, contoh rekrutmen ASN/PNS kita dilakukan secara terbuka. Semuanya bisa cek, hasilnya juga bisa dicek. Anak saya tidak diterima di situ, karena memang tidak lulus,” aku Jokowi.
Berbeda dengan Jokowi, Prabowo Subianto selaku rivalnya justru memilih menaikan gaji ASNnya. Ini lantaran ia beranggapan bahwa muara dari permasalahan hukum di negeri ini berasal dari masih minimnya gaji yang diterima para abdi negaranya.
Dia pun mencontohkan gaji Rp 8 juta/bulan yang diterima Gubernur di Jawa Tengah (Jateng). Padahal Gubernur Jateng bertanggung jawab terhadap wilayah yang luasnya bahkan melebihi negara Malaysia.
“Kami menilai perlu ada langkah-langkah konkret. Bagaimana bisa seorang gubernur hanya bergaji Rp 8 juta? Kemudian dia mengelola provinsi, umpamanya Jawa Tengah yang lebih besar dari Malaysia dengan APBD yang begitu besar, ini hal-hal yang tidak realistis. Saya kira seorang kepala pemerintah/eksekutif kalau memang benar-benar berniat untuk memperbaiki itu, kita harus segera berani melakukan terobosan-terobosan supaya penghasilan para pejabat publik itu sangat besar,” jawab Prabowo menanggapi pernyataan Jokowi.
Tak terima dengan pernyataan Prabowo, Jokowi pun kembali menegaskan bahwa yang terpenting dalam proses rekrutmen adalah berbasis pada kompetensi.
“Contoh, saya sendiri. Waktu pemilihan Wali Kota saya betul-betul gunakan anggaran sangat kecil. Partai pun waktu pemilihan gubernur di DKI Jakarta, saya tidak mengeluarkan uang sama sekali dan Pak Prabowo pun tahu mengenai itu, Ketua Partai pendukung pun tahu mengenai itu. Tetapi memang ini sekali lagi memerlukan sebuah proses yang panjang. Artinya apa? Pergerakan politik itu bisa dimulai dari relawan, bisa dimulai dari keinginan-keinginan publik mendapatkan pemimpin-pemimpin yang baik tanpa mengedepankan finansial,” jawab Jokowi.
3. Jokowi Vs Prabowo Soal Mantan Koruptor yang Nyaleg
Mantan koruptor yang nyaleg juga menjadi pembahasan yang cukup memanaskan arena debat Capres-Cawapres 2019 Kamis, (17/1/2019) malam kemarin. Pembahasan soal ini terjadi pada segmen tanya jawab langsung yang dilontarkan oleh masing-masing Paslon.
“Kita tahu korupsi adalah kejahatan yang luar biasa. Bapak Prabowo pernah mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah stadium IV, meskipun ini saya nggak setuju. Menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), partai yang bapak pimpin termasuk partai terbanyak yang mencalonkan mantan napi korupsi. Yang saya tahu, Caleg itu yang tanda tangan itu adalah Ketua Umumnya, berarti pak Prabowo yamg tandatangani. Bagaimana bapak menjelaskan mengenai ini?” tanya Jokowi ke Prabowo.
Terkait hal itu, Prabowo berkilah belum mendapatkan laporan tersebut. “Baik itu ICW, tapi saya sendiri belum dapat itu laporan itu dan saya kira itu benar-benar sangat subjektif. Saya tidak setuju itu, saya seleksi caleg-caleg tersebut. Kalau ada bukti, silakan laporkan kepada kami,” jawab Prabowo seraya menambahkan bahwa Partainya tegas memberantas korupsi.
Kemudian Jokowi pun kembali menekankan pertanyaannya, ia menegaskan bahwa pertanyaan yang dilontarkannya itu bukanlah sebuah tuduhan belaka melainkan berdasarkan data yang diperolehnya.
“Mohon maaf Pak Prabowo, yang saya maksud tadi adalah mantan napi korupsi yang bapak calonkan sebagai Caleg. Itu ada, ICW memberikan data jelas sekali. Ada enam yang bapak calonkan, dan yang tandatangan dalam pencalegan itu adalah Ketum dan Sekjen, artinya bapak tandatangan. Jadi, mohon maaf saya tidak menuduh partai bapak korupsi. Ini mantan napi koruptor,” kata Jokowi menekankan.
Semakin menyulut, Prabowo secara tersirat menegaskan bahwa eks-napi korupsi bisa nyaleg sebagai wujud dari demokrasi.
“Mantan korupsi, saya kira pelajari, dan begini kan demokrasi. Kita umukan saja ke rakyat kalau rakyat nggak mau milih yah ga akan dipilih. Yang jelas kalau kasus itu sudah melalui proses dia sudah dihukum dan kalau memang hukum mengijinkan dia dianggap masih bisa dan rakyat menghendaki dia punya kelebihan-kelehihan lain mungkin korupsinya juga nggak seberapa,” kata Prabowo.
Dia pun mencontohkan “korupsi yang tidak seberapa” itu.
“Kalau curi ayam, benar itu salah. Tapi kalau rugikan rakyat triliunan itu yang harus kita habiskan di Indonesia ini,” tutup Prabowo.