JAKARTA, LENTERASULTRA.COM – Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam. Ini terkait dengan kasus korupsi atas sejumlah izin usaha pertambangan di wilayah kekuasaanya. Salman Luthan sebagai Hakim Ketua, LL Hutagalung dan Syamsul Rakan Chaniago sebagai Hakim Anggota sepakat mengurangi masa hukuman Nur Alam 3 tahun. Dengan demikian, Nur Alam tinggal menjalani masa hukuman 12 tahun, yang mana sebelumnya di tingkat kasasi Hakim memutuskan Nur Alam untuk dipenjara 15 tahun.
Menurut Jubir MA, Suhadi Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut menilai bahwa Nur Alam terbukti melanggar Pasal 12B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Adapun Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor tidak terbukti.
“Ini karena Majelis Hakim menilai yang terbukti yang Pasal 12B, kalau yang ditingkat bandingkan Pasal 12B sama Pasal 3 juga,” tuturnya saat dihubungi Lenterasultra.com di Jakarta, (13/12/2018).
Selain itu, Majelis Hakim juga menyunat denda yang dijatuhkan kepada suami dari Tina Nur Alam itu. Nur Alam diharuskan membayar Denda sebanyak Rp 750 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 8bulan penjara.
“Kalau ditingkat banding, dendanyakan Rp 1 miliar subsidernya 6 bulan kurungan bukan penjara,” imbuhnya.
Sedangkan terkait uang pengganti, sama saja. Mantan Politikus PAN itu diwajibkan membayar uang pengganti sebanyak Rp 2,78 miliar. Dengan ketentuan, memperhitungkan harga 1 bidang tanah dan bangunan yang terletak di Komplek Premier Estate Kav.1 No.9, Cipayung, Jakarta Timur yang disita dalam proses penyidikan.
Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut, dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (incraht), maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka dipenjara selama 2 tahun.
“Putusan di tingkat banding sebelumnya kan penjar 1 tahun. Sedangkan terkait pidana tambahan berupa pencabutan politik, sama 5 tahun setelah menjalani masa penjara,” tuntasnya.
Untuk diketahui, kasus izin usaha pertambangan di wilayah Sultra ini sudah diusut KPK sejak Oktober 2016 lalu. Setelah melalui proses pemeriksaan dan persidangan yang panjang, Nur Alam pun dijatuhi vonis 12 tahun penjara oleh Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat. Tak terima dengan putusan tersebut, ia pun mengajukan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun bukan keadilan yang didapat, hukuman penjaranya malah ditambah menjadi 15 tahun. Masih tak terima ia pun mengajukan kasasi. (Rere)