Kisah Inal, Penenun Muda dari Muna yang Karyanya Sampai Rusia

Inal Hamzah, seorang remaja dari Muna yang memiliki ketrampilan jenius. Di usianya yang masih muda, ia sudah pandai menenun bahkan karyanya dipasarkan sampai luar negeri


Muna selalu melahirkan talenta. Saat keahlian menenun enggan dilirik orang, dan identik dengan pekerjaan emak-emak, seorang remaja bernama Inal Hamsah membalikan persepsi itu. Usianya masih 12 tahun, tapi karyanya sudah mendunia

Muhammad Ery, Raha

LENTERASULTRA.com-Nama lengkapnya, Muhammad Inal Hamsah. Usianya baru 12 tahun. Ia bahkan masih menimba ilmu di VII (kelas 1), Sekolah Menengah Pertama (SMP) 10 Lohia. Tapi ia memiliki jemari yang lincah dan lentur memintal benang dan menenunnya jadi kain. Alat tenunnya tentu saja yang masih tradisional.

Hasilnya bahkan membuat decak kagum karena sepadan dengan mereka yang sudah khatam ilmunya di bidang tenun. Kekuatan utama tenunan Inal adalah motifnya yang lahir dari imajinasi, tanpa harus dibuatkan pola secara khusus. Semuanya bisa ia elaborasi jadi sebuah karya yang hebat.

Imajinasi remaja kelahiran Mabolu ini menjadi salah satu nilai istimewa dari karya-karyanya. Ia pandai menggambar hingga mampu mengkolaborasikan desain yang dirancang. Semua berjalan alamiah saja. Baju, sarung hingga selendang dengan beragam motif, merupakan sederet karya remaja yang bercira-cita melanjutkan studi di sekolah kejuruan nanti.

Kemampuan Inal Hamsah seperti sebuah talenta, hoby dan ketekunan yang berpadu melahirkan maha karya. Tak pernah ia belajar khusus untuk urusan menenun karena modalnya hanya mengamati. Syahdan, kebiasaan menenun itu diadopsinya dari sang nenek

“Saya hanya liat-liat saja nenekku menenun tiap hari. Selepas itu, saya coba juga. Padahal tidak susah. Lama kelamaan saya suka menemun, ” kata Inal, saat ditemui di pendopo Bharugano, rumah adat Muna, beberapa hari lalu.

Sejak usia TK, Inal memilih tinggal di rumah neneknya di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga. Disana, suguhan tiap paginya anak dari pasangan La Ode Sakurana dan Wa Ode Hanida ini, hanya menyaksikan sang nenek menenun. Memasuki usia kelas VI SD, kepandaian sang nenek mulai tertular pada Inal.

“Belajarnya hanya lihat-lihat nenek. Nanti masuk kelas VI SD baru pintar. Dia belajar sendiri. Kepintarannya, hanya lihat-lihat saja. Karna sejak kecil sudah tinggal disana. Mungkin ini dijadikan hobi, ” tambah Wa Ode Hanida, ibu kandung Inal saat ditemui lenterasultra.com,

Berbekal hobi, semangat Inal terus menyeruak. Hasil karya yang dipersembahkan, telah menembus dunia. Batik selendangnya, telah dipasarkan di kota Moskow ibu kota Rusia. Tak ayal, ia kebanjiran pesanan dari pelanggan setianya. Bukan karena tenunannya yang mendunia, melainkan Inal mampu menyelesaikan pekerjaan itu dengan motif sesuai pesanan.

Makanya, setiap tenunan tak sungkan ia banderol dengan harga Rp 500 sampai Rp 750 ribu. “Pembeli puas. Semua dikerjakan tepat waktu sesuai permintaan,” kata Wa Ode Hanida lagi.

Inal bercerita, menggeluti dunia tenunan, tak sama sekali berdampak terhadap pendidikannya. Meski, ia sering mendapatkan pesanan, tapi dirinya mampu membagi waktu antara urusan sekolah dan pekerjaan. Skenarionya, saat pagi menjelang, dirinya menuntaskan urusan tenun. Dengan begitu, jangka waktu tiga hari saja, semua telah tuntas. Selanjutnya, ia mempersiapkan diri ke sekolah tanpa ada beban secuil pun.

“Waktu subuh bangun. Apalagi kalau ada yang pesan. Tidak terganggu dengan sekolahku. Sekarang saja, guru SD ku pesan baju batik enam pasang baru baru ini,” jelas Inal seraya menyelesaikan tenunan selendang dengan motif ikan itu.

Kelak nanti, Inal memiliki impian membangun usaha batik sendiri. Soal bahan baku, dirinya tak ambil pusing. Salah satu toko di Kota Raha yang menyediakan bahan baku, menjadi alternatifnya. Kini, Inal menjadi sosok teladan di keluarganya.

Dari tiga bersaudara, hanya dia (Inal, red) yang mewarisi tradisi tenunan yang secara turun menurun diajarkan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Bayangkan saja, sang ibu menenun belajar dari sang anak. Kemampuan menyulam benang menjadi hasil karya, pantas diberikan apresiasi.

Wa Ode Hanida berkeinginan menyediakan bahan baku sendiri, untuk mendukung Inal mengembangkan karyanya. Ia tak tanggung-tanggung menyebut, modal awal yang dipersiapkan sekira Rp 15 juta.

Inal kini mulai menabung. Hasil jual tenunannya, ia sisipkan sebagian demi mewujudkan impiannya dikemudian hari. Tak salah, asa lelaki asal Mabolu ini, melalui karya-karyanya, kelak bisa meramaikan pasar global.(***)

Munatenun