Balada Suhaya, Perempuan Tuna Netra yang “Dilupakan” Anak-anaknya

Nenek Suhaya, bersama suaminya Sunarto. Tak ada hari ibu dalam kamus perempuan penyandang tuna netra yang hidup di Panti Tresna Wreda ini

LENTERASULTRA.com-Kala almanak Desember masuk penanggalan 22, Suhaya selalu gundah. Saat para ibu se Nusantara mendapat ucapan selamat hari ibu dari anak-anaknya, bahkan kado dari buah hati, kebahagiaan itu jauh dari kehidupannya.

Sejak 30 tahun lalu, ruang kehidupannya hanyalah areal Panti Tresna Wreda di Ranomeeto, Konawe Selatan. Disinilah, Suhaya menjalani hari-harinya. Ia merasakan ironi hidup yang untungnya tak sama sekali membuatnya menyerah. Penglihatannya tertutup, dan dilupakan anak-anaknya.

Wanita tua asal Desa Boro-boro, Konawe Selatan ini mengaku mengalami kebutaan saat melahirkan anak keempatnya. Kondisinya makin sulit karena suaminya meninggal. Kian berat lagi manakala keluarganya tak ada lagi yang mau dan bisa merawatnya. Ia pun dititipkan di panti jompo.

“Suami saya meninggal, sejak saat itulah, anak-anak saya menitip saya di sini,” lirih nenek Suhaya, saat ditemui di Panti Tresna Wreda, panti sosial khusus untuk para jompo.

Sejak di rawat ditempat itu, ia Suhaya yang saat ini sudah berusia 70 tahun sangat jarang mendapatkan kunjungan dari keluarga, bahkan anak-anaknya. “Anak-anak saya sudah menikah semua, mereka sudah jarang jenguk. Padahal, saya rindu mereka termasuk cucu,” sendu suara nenek Suhaya.

Tapi keadaan itu tak lantas membuatnya patah arang. Demi mengisi kekosongan jiwa dan hari-harinya yang sepi, ia memanfaatkan keterampilan yang dimilikinya. Meski menyandang tuna netra, Suhaya bisa menganyam tikar tradisional berbahan dasar daun agel.

Suhaya mengaku sangat senang dengan aktivitasnya yang juga bernilai ekonomi tinggi. Selembar tikar anyamannya bisa ia jual dengan harga Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu selembarnya. “Saya marah pada pengelola panti kalau bahan anyaman saya habis,” tuturnya.

Dalam sebulan, Suhaya bisa menganyam sampai 15 lembar tikar yang dipasarkan di wilayah sekitar Sultra. Bahkan kemampuannya ini sempat dipamerkan di Hari Disabilitas Indonesia yang diadakan di Jogyakarta, awal Desember tahun ini.

Di Panti, Tuhan menunjukan kehidupan baru bagi perempuan uzur ini. Ia mengenal seorang pria yang usianya 10 tahun lebih tua darinya, bernama Sunarto. Ia juga adalah penghuni panti tersebut, yang awalnya hidup sendiri di Desa Lapuko, Moramo, Konsel.

Keduanya menikah pada tahun 2011 lalu. Menurut Sunarto, ia mau menikahi perempuan itu karena iba melihat kesulitan yang dihadapi perempuan yang kini jadi istrinya itu. “Tiap mengambil makan, dia susah karena buta. Makanya, saya suka bantu dan akhirnya kami menikah,” kata Sunarto.

Pengelola Panti Tresna Wreda bernama Siti Hartin mengaku pernikahan keduanya difasilitasi pihak panti. “Kalau ini nenek mereka minta dinikahkan kita nikahkan karena kami bertanggung jawab untuk memfasilitasi mereka,” tukas Siti Hartin.(jovi alqadri)

neneksuhaya