LENTERASULTRA.com-Bila tak sedang sibuk, Arif Rusman selalu saja punya hasrat mengarungi laut di pesisir kampungnya. Sekretaris Desa Batuawu, Kecamatan Kabaena Selatan ini membawa peralatan pancing bersama perahu bermesin tempel miliknya.
Tak jarang, ia tak sadar sudah mendekati ke Pulau Sagori, sebuah pulau eksotis yang jaraknya memang tak begitu jauh dari pantai desanya. “Selalu ada sensasi keindahan baru yang ditawarkan Sagori. Meski hanya sebentar menjejak pasir putihnya, jiwa sudah tenang,” kata Arif, menceritakan kesannya soal Sagori.
Entah sudah kali keberapa ia berkunjung ke pulau itu, sendiri atau bersama kawan, tetap saja ia tak pernah merasa bosan. Ada keteduhan batin yang dirasakan jebolan sebuah perguruan tinggi di Makassar ini bila sudah merasakan desau sepoi yang mengibas.
Pesona Sagori memang memukau. Pulau dengan struktur pasir putih yang eksotis. Ia seperti sebuah karang atol berbentuk setengah lingkaran. Pulau tersebut tak lebih dari onggokan pasir putih dengan panjang sekitar 3.000 meter dan pada bagian tengah yang paling lebar, 200 meter.
Sagori akan tampak jauh lebih menarik jika dilihat dari pegunungan di Pulau Kabaena. Dari ketinggian jarak jauh itu, Sagori menampilkan sapuan empat warna, yakni biru tua sebagai garis terluar, biru muda, garis putih, kemudian hijau di tengah.
Warna hijau bersumber dari tajuk-tajuk pohon cemara yang melindungi pulau tersebut. Senja menyempurnakan keindahannya tu dengan sapuan sunsetnya. Keindahan Sagori layaknya serpihan surga yang kebetulan berserak jatuh di Kabaena.
Pulau Sagori, berdiri di tengah laut biru perairan Kabaena. Secara administrasi ia adalah salah satu dusun, di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat. Secara geografis, pulau Sagori berbatasan langsung dengan laut Flores di sebelah barat, laut Bone disebelah Utara, perairan Desa Langkema dan Batuawu sebelah Timur serta perairan Pongkalaero sebelah Selatan.
Beragam hikayat tentang terbentuknya pulau ini. Dalam legenda, pulau ini diadopsi dari nama seorang gadis yang ditemukan warga Pongkalaero dari pulau ini. Gadis itu diceritakan menghuni kima raksasa yang terjebak karena air surut.
Saat ditemukan, gadis tersebut dalam keadaan lemah tak berdaya. Para pemburu hasil laut kemudian menggendongnya ke sebuah onggokan pasir sebelum dibawa ke mokole (raja) di Tangkeno di lereng Gunung Sangia Wita, puncak tertinggi (1.800 meter) di Kabaena.
Namun, setelah beberapa saat diistirahatkan di onggokan pasir, gadis tersebut meninggal dunia. Sebelum meninggal ia sempat menyebut namanya, Sagori. Sejak itu penduduk menamakan onggokan pasir itu Pulau Sagori.
Penggiat wisata Pulau Kabaena, Sahrul Gelo menyebut bahwa Sagori berasal dari bahasa Buton Agori atau cepat. Sedangkan bagi orang-orang Kabaena, kata Sahrul, nama Sagori berarti setengah lingkaran. Itu jika dilihat di puncak pegunungan Tangkeno.
Saat ini pulau Sagori dihuni Suku Bajo dengan jumlah tak lebih dari 150 kepala keluarga. Mereka menghuni lahan sekitar 3 hektar. Selain panorama hamparan pasir putih, pulau Sagori juga menyuguhkan keindahan pohon pinus yang selalu melambai.
Jika di Wakatobi, bawah lautnya adalah surga, maka Sagori menawarkan sensansi berbeda di dasar laut perairan pulau itu. Ada aura mistis yang melingkarinya. Dikisahkan, banyak pelaut yang karam meski tak sedang digempur gelombang.
Kecelakaan laut terbesar di Sagori terjadi pertengahan abad ke-17 yang menimpa lima kapal milik VOC. Kelima kapal itu bersamaan menabrak karang dalam perjalanan iring-iringan dari Batavia menuju Ternate, Maluku Utara.
Informasi agak lengkap tentang peristiwa empat abad silam itu dipaparkan Horst H Liebner, seorang tenaga ahli bidang budaya dan sejarah bahari yang pernah bekerja di Badan Riset, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Saat menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara IX di Bau-Bau, 5-8 Agustus 2005 lalu, Liebner berkisah bahwa kelima armada VOC itu karam di Pulau Sagori pada 4 Maret 1650.
Kelima kapal layar Belanda itu adalah Tijger, Bergen op Zoom (berdaya angkut 300 ton), Luijpaert (320 ton), De Joffer (480 ton), dan Aechtekercke (100 ton). 581 orang penumpang dapat diselamatkan. Mereka terdiri dari awak kapal, serdadu, dan saudagar.
Lokasi kecelakaan merupakan daerah asing bagi para pelaut Belanda maupun dunia pelayaran umumnya di zaman itu. Pulau Kabaena yang terdekat dengan lokasi musibah, dalam laporan disebut Pulau Comboina.
Penduduk setempat yang datang ke lokasi pada dasarnya bukan bermaksud menolong, tetapi menjarah seandainya tak dicegah oleh awak kapal. Penduduk yang dilukiskan sebagai ”orang hitam” diartikan Liebner sebagai etnis Sama (Bajo) yang mendiami pesisir Pulau Kabaena.
Mereka juga berusaha membuat sendiri kapal menggunakan bahan-bahan dari kapal yang telah pecah berantakan. Kapal hasil rakitan yang kemudian diberi nama Trostenburg dan diluncurkan awal Mei, hampir bersamaan datangnya kapal bantuan pada 7 Mei 1650 yang dikirim atas perintah de Vlamingh.
Tragedi segera berakhir ketika semua awak kapal bersama muatan dan meriam diangkut ke Batavia. Bangkai kapal tersebut kini masih tergeletak pada kedalaman sekitar lima meter di dasar laut Pulau Sagori. Mesin dan baling-balingnya masih ada.
Entah itu mitos atau tidak, yang jelas, itu tidak melunturkan semangat para pelancong untuk menikmati kemolekan Sagori. Dua tahun silam, saat para peserta Sail Indonesia melintasi Buton, mereka mampir di pulau ini.
Ada, 20-an turis dari Amerika, Australia, Selandia Baru, Perancis dan berbagai negara datang di Sagori. Mereka membawa 13 kapal canggih dari negara masing-masing. “Kami terpesona dengan pulau ini. Kami akan kembali lagi kesini,” kata Land Lyn, turis asal New Zealand.(abdi)