-Menelusuri Jejak Peradaban Purba di Tangkeno, Pulau Kabaena (1)-

Kantor Desa Tangkeno saat diambil gambarnya tahun 2012 lalu. Saat itu nama desa ini adalah Desa Enano di Tangkeno. Tapi sejak 2013, sudah ditertibkan jadi nama Desa Tangkeno

LENTERASULTRA.com-Bupati Bombana, H Tafdil, jatuh cinta betul dengan Tangkeno, sebuah desa di dataran tinggi Pulau Kabaena. Berkali-kali, ia menggelar kegiatan di desa itu. Mulai dari festival budaya, termasuk acara pemerintahan. Sampai akhirnya, Tangkeno diberi predikat sebagai Desa Wisata.

Suatu hari, beberapa waktu lalu, dalam perbincangannya dengan lenterasultra.com,  H Tafdil bilang
di Sultra sudah ada Wakatobi yang tenar dengan wisata baharinya, ada juga Kota Kendari yang punya banyak kawasan wisata pantai.

“Tapi belum ada daerah yang menawarkan wisata gunung kan. Makanya, Tangkeno, saya gagas jadi desa wisata,” kata Ketua PAN Bombana itu. Jangan heran kemudian, gelontoran anggaran, baik lewat dinas wisata, pekerjaan umum dan institusi lainnya, banyak yang mengalir di wilayah itu. Infrastrutur dibenahi.

Wajar jika Tangkeno diberi nilai lebih. Dahulu, ia menjadi pusat kerajaan Kabaena. Saat ini, perubahannya memang terlihat mencolok. Ada banyak bangunan untuk mendukung program desa wisata dibangun.

Tapi satu yang tak berubah, alamnya masih sejuk, teriknya matahari disapu oleh semilir angin gunung Sabampolulu yang menjulang di bagian timur kampung itu. Orisinilitas inilah yang jadi daya tarik Tangkeno.

Keunikan desa ini dimulai dari cacatan administrasinya. Di dokumen kewilayahan, Tangkeno ini pernah ditulis sebagai Desa Enano di Tangkeno. Soalnya, ada juga Desa Tangkeno di Enano, letaknya di bagian utara kampung Tangkeno. Tapi sekarang sudah diubah. Tangkeno di Desa Tangkeno.

Urusan “nama” desa ini, seperti penuturan Kepala Desa Tangkeno, Abd Majid Ege, bermula ketika tiga kampung di Kabaena, yakni Tangkeno, Enano dan Lengora bersatu dalam sebuah konsep pemerintahan bernama desa gabungan, saat masih pertama kali bergabung dengan Kabupaten Buton.

Pusat pemerintahannya di Kampung Enano. Setelah itu, ada usulan untuk memisahkan konsep desa gabungan ini, menjadi desa definitife, meski tetap berisi tiga kampung itu.

“Masalahnya, saat SK desa ini terbit, pemerintah menulis ibukotanya itu di Tangkeno ini. Padahal kan harusnya di Enano. Karena orang Tangkeno dan Lengora tak ada yang mau jadi Kades, maka kepala desa gabungan yang tinggal di Enano, ditunjuk kembali,”

“Tapi beliau tidak mau membangun kantor desa di Tangkeno, maunya tetap di Enano. Padahal, nama desa yang ditetapkan itu Desa Tangkeno,” Majid Ege, mengisahkan. Cerita ini ia urai saat berbincang dengan Abdi Mahatma, dari lenterasultra.com, beberapa tahun lalu.

Makanya, kepala desa yang ditunjuk itu dalam persuratan desanya, menulis Desa Tangkeno di Enano. Dalam perjalanannya kemudian, baik Lengora, Tangkeno maupun Enano akhirnya terpisah menjadi desa sendiri.

Lucunya, “stempel” Desa Tangkeno di Enano, tak mau dilepas masyarakat Enano saat itu. “Makanya, kami akhirnya memilih jadi Desa Enano di Tangkeno,” katanya. Kini administrasi sudah ditertibkan. Namanya sudah jadi Desa Tangkeno.

Tapi seperti kata penyair asal Inggris, William Shakespeare, apalah arti sebuah nama, karena Mawar itu pasti harum meski bukan Mawar namanya. Tangkeno pun demikian, apapun sebutanya, sama sekali tidak mengurangi kemolekannya.

Tangkeno adalah sebuah perkampungan gunung yang menawarkan kesejukan alam, hutan-hutan yang masih hijau, penduduk yang ramah dan tentu saja berbagai jejak sejarah yang menjadi peneguhannya sebagai sebuah daerah bermukimnya para petinggi daerah itu, di zamannya.

Kelayakan Tangkeno sebagai sebuah desa wisata tak perlu diragukan. Di wilayah dengan penduduk tak lebih dari 600 jiwa tersebut, dan berada di ketinggian, sejauh mata memandang, hampir seluruh wilayah Pulau Kabaena, akan terlihat.

Hamparan laut yang biru, Pulau Sagori yang indah di barat laut. Kebun-kebun penduduk yang tertata rapi, keramahan penduduknya. “Kalau siang tetap sejuk, kalau malam lumayan dingin. Potret desa pegunungan,” kata Kades Tangkeno, Abd Majid Ege.

Tangkeno ternyata sudah jamak dengan wisatawan. Kata Kades Enano, daerahnya itu setiap tahun selalu dikunjungi wisatawan asing, dari Belanda dan Inggris, dengan jumlah yang banyak. Para pelancong itu mendapatkan literature soal Tangkeno di perpustakaan dunia di Belanda, yang menerangkan tentang keasliannya.

Para wisatawan itu ingin tahu seperti apa sebenarnya itu hutan, sungai dan semua tentang alam yang perawan. “Agaknya, di Inggris sana sudah tidak ada lagi hutan seperti di Tangkeno ini, di Tangkeno mereka dengan senang, berbaring di rumput, merasakan kesejukan alam. Mandi di sungai,” tukas Majid Ege, sembari terkekeh.

Selain kearifan lokal, budaya, sejarah dan kemolekan alamnya, Tangkeno juga punya sejumlah situs yang meneguhkan Tangkeno pernah menjadi pusat peradaban di Kabaena. Situs purba apa saja yang ada di Desa itu? Catatannya akan ditulis di edisi selanjutnya (bersambung)

KabaneaTangkeno