LENTERASULTRA.com-Entah kenapa, kemolekan puncak Batu Sangia tak masuk dalam daftar destinasi wisata prioritas oleh Pemkab Bombana. Ia seperti kalah pamor oleh puncak “tetangganya”, Tangkeno. Sebuah kampung yang disematkan gelar, Negeri di Atas Awan.
Padahal, menyebut Kabaena, ingatan setiap perantau pastilah tentang kemegahan batu gunung itu yang terlihat menjulang sendiri, jadi pasak bagi negeri itu. Kemolekannya dibiarkan merana dan tak pernah ada tanda-tanda ia akan disentuh.
Ketika Bombana dipimpin Bupati Atikurrahman, ia pernah sangat tertarik untuk sampai ke puncak itu. Syahdan, suatu hari, Atiku pernah berkunjung ke Tirongkotua, dan berniat ke Batu Sangia.
Kala itu, jalan usaha tadi sedang dirintis. Sang Bupati pun menunggang kuda. Sedangkan pejabat dan warga mengikutinya dengan berjalan kaki. Saat perjalanan sudah mendekati kaki gunung, kuda yang ditunggangi Atikurrahman mendadak meringkik. Ia “ngambek”, tak mau melanjutkan perjalanan.
Atiku kebingungan. Si kuda menolak untuk terus berjalan. Ia seperti dihadapkan pada kondisi tak kasat mata. “Semuanya pulang. Bupati tidak jadi sampai ke kaki gunung Batu Sangia,” kenang Abd Madjid, Kepala Desa Tirongkotua.
Saat ini, kata kepala desa, kondisi menuju kawasan Batu Sangia sudah lebih baik. Ada jalan usaha tani yang sudah dibangun agar memudahkan para petani cengkih dan jambu mete memanen hasil kebunnya. “Bisa kita simpan motor, baru jalan 500 meter ke Batu Sangia,” kata mantan pejabat di Kemenag Bombana itu.
Menurut kepala desa yang dilantik 2016 lalu tersebut, kesan angker di kawasan Batu Sangia sudah perlahan memudar. Ini karena makin banyaknya penduduk Tirongkotua yang membuka kebun di kaki gunung tersebut. Hanya memang, jika berniat untuk mendaki puncaknya, dibutuhkan sedikit ritual tertentu.
Terkait soal potensi wisata di Batu Sangia, Majid mengakui bila selama ini memang tidak begitu terjamah. Setahun lalu, Camat Kabaena, Darwis dalam Musrebang sempat mengajukan anggaran Rp 1 M untuk membangun jalan ke kawasan Batu Sangia. “Sayangnya, itu belum terealisasi sampai sekarang,” katanya.
Bicara soal kemolekan Batu Sangia, tanpa bermaksud membandingkanya dengan Tangkeno, Madjid mengaku keindahannya jauh lebih sempurna. Di puncak batu itu, seluruh sisi Pulau Kabaena akan terlihat. Lukisan indah Tuhan di kanvas bernama Kabaena, jelas terlihat.
“Kalaupun sekarang ada kelompok yang sampai ke Batu Sangia, biasanya itu karena mereka memang berjiwa petualang. Mereka ingin tahu soal keindahan gunung itu dari dekat. puncak-puncaknya sudah bisa digapai sekarang,” tambah mantan Kabag TU Kemenag Bombana ini.
Dikutip dari yaminindas.com, sebetulnya ada beberapa puncak gunung di Kabaena. Puncak lainnya adalah Sabampolulu (1850 meter), Sangia Wita, Wumbu Tolimbu, Wumbu Tandasa, dan Dampala Barata. Empat yang pertama, lokasinya berjajar dan saling berdekatan serta merupakan pasak utama bumi pulau tersebut.
Data ketinggian Sabampolulu bersumber dari P Sadler, dokter Jerman yang pernah bertugas di Bau-Bau (Buton) dalam tahun 1960-an. Sadler sering berkunjung ke Pulau Kabaena dengan kegiatan khusus, mendaki gunung tersebut dan tentu saja ia memiliki altimeter. Ia didampingi penduduk Tangkeno yang biasa merambati tebing-tebing curam di sana.
Altimeter adalah alat pengukur ketinggian suatu tempat dari permukaan laut. Biasa digunakan dunia penerbangan, pendakian gunung, dan kegiatan lainnya. Dokter tersebut bersama rombongannya sering menjumpai hewan-hewan liar di lereng dan puncak Gunung Sabampolulu.
Antara lain gerombolan kambing liar. Suatu ketika Sadler pernah menangkap seekor di antaranya. Namun, seketika itu juga langsung turun hujan lebat dan alam sekitar terasa gelap oleh kabut tebal. Pepohonan hutan juga mendadak batangnya seperti saling merapat sehingga menyulitkan perjalanan untuk balik ke Tangkeno.
Menghadapi kesulitan tersebut, penunjuk jalan mendiang Injuru minta kepada dokter agar melepaskan kambing tersebut. Setelah hewan misteri itu dilepas, alam berangsur pulih kembali seperti sedia kala.
Penduduk Tangkeno mengatakan, populasi kambing di gunung tersebut merupakan ternak makhluk halus (jin) setempat. Orang Kabaena menyebut makhluk halus ‘Kowonuano’, yaitu penduduk (alam sana) yang mendiami dan menguasai daratan Pulau Kabaena. Sangia Wita dan Watu Sangia dimitoskan sebagai dua pribadi yang saling segan satu sama lain. Suatu waktu mereka ‘bertukar pikiran’ dengan menunjukkan kesaktian masing-masing.
Watu Sangia mengirim sebatang besi ke Sangia Wita sebagai lambang kekuatan. Tetapi Sangia Wita dengan mudah mematahkan besi tersebut. Dia membalas dengan mengirim sepotong rotan. Watu Sangia bereaksi dengan berusaha mematahkan rotan. Namun, namanya rotan yang lentur, tentu tidak bisa dipatahkan seperti halnya besi tadi.
Kendati Watu Sangia ‘kalah’ dari Sangia Wita, tetapi gunung batu itu justru menjadi ikon Pulau Kabaena dari segi estetika (keindahan). Tanpa terpaan sinar Matahari, puncak gunung tampak berkilau sepanjang waktu. Bila sinar mentari pagi telah menyentuhnya, maka cahaya gemerlapan akan lebih menyilaukan mata.
Dalam cerita lisan (dongeng) dikatakan, lapisan awan yang membungkus puncak Watu Sangia diibaratkan seorang wanita (dahulu wanita Kabaena adalah pemakan sirih). Wanita tersebut singgah sebentar di puncak batu berkilau itu untuk mengunyah sirih. Setelah bersugi (menggosok-gosok gigi dengan tembakau pilihan), wanita itu pun membuang ludah. Nah, ludah itulah hujan.(***)
Penulis : Abdi Mahatma