La Ode M. Hasmin*
Sebelum jauh menyoal mengenai mandeknya pekerjaan pelebaran jalan jalur Warangga penting kiranya untuk mengetengahkan beberapa hal. Pertama, proyek pekerjaan pelebaran jalan tersebut merupakan konkritisasi dari isi Perda tentang APBD Kabupaten Muna yang merupakan hasil konsensus antara seluruh anggota DPRD dan Pemerintah Daerah.
Kedua, informasi yang berkembang bahwa Warangga merupakan hutan lindung. Ketiga, realitas tuntutan masyarakat atas pembangunan dan penyediaan pelayanan dasar terutama akses jalan pasca Pilkada.
Secara faktual, pekerjaan pelebaran jalan tersebut untuk sementara waktu dihentikan karena beberapa hal, berdasarkan penelusuran terhadap pemberitaan di media lokal bahwa Pemda Muna sementara melakukan koordinasi dengan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Sultra karena Warangga merupakan hutan lindung dan pelebaran jalan itu tidak memiliki izin pinjam pakai.
Lalu ada LSM tertentu yang menantang pihak kepolisian untuk melakukan bedah hukum atas pekerjaan pelebaran jalan tersebut, dan beberapa Kepala Dinas di Muna diperiksa oleh pihak Kepolisian karena pekerjaaan pelebaran jalan sebagaimana tersebut diatas.
Berdasarkan ulasan tersebut diatas, hal yang paling tidak rasional adalah mengenai keberatan anggota DPRD Muna yang seolah-olah tidak menerima pekerjaan pelebaran jalan tersebut padahal sebelumnya telah disepakati lewat APBD dalam bentuk Perda.
Seharusnya keberatan ini dilakukan sebelum Perda tentang APBD Kabupaten Muna tersebut disahkan. Kemudian, Warangga sebagai hutan lindung namun fakta lapangan membuktikan ada perambahan hutan yang dijadikan kebun oleh masyarakat di sepanjang lokasi pekerjaan pelebaran jalan tersebut tetapi selama ini dibiarkan oleh pihak yang berwajib sebelum pekerjaan pelebaran jalan ini dilaksanakan.
Pemanggilan beberapa Kadis di Pemda Muna oleh pihak Kepolisian juga menimbulkan pertanyaan besar karena seolah-olah mempersoalkan Perda tentang APBD Kabupaten Muna yang telah disahkan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
Hal ini berkaitan dengan kesahihan kompetensi kepolisian dalam menjalankan kewenangannya, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kepolisian tidak memiliki wewenang untuk melakukan konfrontir atas pelaksanaan APBD.
Sepanjang tidak merugikan keuangan daerah dan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi pidana dari pelaksanaan pekerjaan tersebut atau dengan kata lain pekerjaan tersebut tidak diselesaikan dan juga tidak sesuai dengan perencanaan.
Faktanya pekerjaan tersebut masih sementara berjalan. Berdasarkan penalaran yang wajar ketika APBD disahkan maka tidak ada masalah karena dilahirkan dari Proses yang berakhir pada Konsensus menjadi Perda.
Selanjutnya, pengawasan atas pelaksanaan APBD diserahkan kepada Inspektorat dan DPRD itu sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Konstruksi kasus yang terjadi berdasarkan pemberitaan yang berkembang bahwa Pemda Muna telah melakukan pelebaran jalan di hutan lindung sehingga Para Kadis tersebut dipanggil oleh pihak kepolisian.
Namun disisi lain Pihak kepolisian juga harus mampu menunjukan keadilan karena di sepanjang pekerjaan pelebaran jalan tersebut ada beberapa kebun masyarakat yang juga diduga dilakukan perambahan hutan sehingga harus dipanggil dan diperiksa agar tidak menimbulkan perdebatan dan anggapan kriminalisasi kepada Para pejabat sebagaimana diatas.
Sebagai pertimbangan bahwa Para kepala Dinas tersebut dalam perbuatan faktualnya tidak untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk memenuhi pelayanan dasar terutama dalam penyediaan jalan yang layak dan representatif.
Sebaliknya masyarakat yang berkebun di sekitar Warangga tersebut semata-mata untuk kepentingan Pribadi. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi pihak kepolisian untuk tidak memanggil dan memeriksa para pemilik kebun tersebut diatas karena secara intensitas dapat dikatakan masif dalam melakukan perambahan hutan.
Tapi jika tidak, maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi kepolisian karena terindikasi menghalang-halangi proses pembangunan di Muna yang sejak lama menjadi harapan masyarakat yakni tersedianya jalan layak dan representatif.
Agar pekerjaan pelebaran jalan ini tidak hanya menjadi konflik kepentingan yang pada akhirnya merugikan masyarakat, maka penting juga untuk mengetengahkan mengenai defenisi perusakan hutan.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pada Pasal 1 poin (3) bahwa perusakan hutan adalah proses, cara, atau merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang proses penetapannya oleh pemerintah”.
Lalu apakah perbuatan para pejabat yang terperiksa tersebut dalam melaksanakan pekerjaan pelebaran jalan Warangga merupakan perbuatan yang tidak sah, maka poin (5) dalam aturan yang sama menyatakan bahwa :
“Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/ atau pertambangan tanpa izin menteri”.
Berdasarkan konstruksi ketentuan diatas maka pada dasarnya pekerjaan pelebaran jalan tersebut merupakan pelaksanaan kegiatan yang telah dilegalisasi oleh Perda tentang APBD sehingga dapat disimpulkan bukan merupakan tindakan perusakan hutan dan perbuatan yang tidak sah.
Perdebatan dan talik ulur kepentingan sebagaimana tersebut diatas maka hal ini membutuhkan itikad baik seluruh pemangku kepentingan, bahwa pelebaran jalan Warangga merupakan hal urgent yang berkaitan dengan pelayanan dasar jika tidak diselesaikan, pasti akan menjadi Preseden buruk bagi DPRD dan Pemda Muna.
Pihak Kepolisian yang merupakan bagian terintegrasi dalam pembangunan sehingga dalam melaksanakan penegakkan hukum harus dengan proses yang mampu menunjukan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan
Kepada insan media mari kita saling mencerdaskan, karena berita bertujuan untuk yang demikian, kepada seluruh masyarakat Muna mari kita dukung Pemda agar mampu menjalankan tugasnya dengan baik sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Kepada seluruh pemangku kepentingan hal ini mesti diingat bersama, bahwa Muna itu merupakan tanah yang diberkati “ Wite Barakati “tentu siapapun yang bermain-main dengan tanah itu maka akan diselesaikan oleh tanah Pula.(***)
Penulis : Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM