Hj Sitti Fatimah, Menolak Ikut KB Hingga Nur Alam Lahir

FOTO : FB LHINA DJUFRI
Nur Alam dan sang ibu, Hj Fatimah dalam sebuah acara ulang tahun beberapa waktu lalu

 

Ibu itu....
Puisi yang tak pernah selesai dibaca
Rumah dengan banyak jendela..
Doa yang tak pernah selesai..
Pahlawan hidup

Ibu itu……
Belaiannya lebih lembut dari sutera
Pangkuannya adalah tempat ternyaman
Senyumannya lebih cantik dari bunga
Kau adalah alasan kenapa aku ada.

LENTERASULTRA.com-Andai saja Hj Fatimah mau mengiikuti saran seorang penyuluh Keluarga Berencana (KB) yang datang padanya tahun 1966 lalu, publik Sultra tak akan pernah punya sosok seperti Nur Alam. Gubernur Sultra yang memimpin daerah ini selama 10 tahun.

Kala itu, anak Hj Fatimah sudah 10 orang. Pleh petugas kesehatan, ia disarankan ikut program KB. Tapi perempuan luar biasa asal Konda, Konawe Selatan itu enggan ikut ajakan ber-KB. Suaminya percaya bahwa setiap anak yang lahir, membawa rezekinya sendiri.

Itulah yang kemudian terjadi. Dari rahim perempuan yang Jumat (13/10) dini hari tadi menghembuskan nafas terakhir, lahir anaknya yang ke 11, tepat di bulan Juli 1967. Ia lalu memberinya nama Nur Alam.

Hj Fatimah adalah sosok pejuang bagi keluarga dan anak-anaknya. Lima dari 12 anaknya meninggal ketika masih kecil. Perjuangannya makin berat saat suaminya, Isruddin dipanggil menghadap Sang Khalik, pada tanggal 26 Februari 1982.

Hidup memang hanya menjalankan takdir. Nur Alam, pasti sangat bersedih. Saat orang tuanya dipanggil sang khalik, ia tak pernah bisa berada di samping mereka.

Saat ayahnya, Isruddin dipanggil Tuhan, 1982 lalu, Nur Alam tidak ada di Sultra. Saat itu ia sedang mengikuti kegiatan nasional Pramuka di Cibubur. Nur Alam masih duduk di kelas 3 SMP kala kabar duka itu didengarnya.

Kini, ketika ibunya berpulang ke Rahmatullah, lagi-lagi ia tak berada di samping sang pahlawan. Ia sedang menjalani penahanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Dan diperkirakan akan tiba Jumat (13/10) petang nanti.

Dalam perbincangannya dengan seorang jurnalis senior, Yamin Indas seperti kutip dari yaminindas.com, terungkap bahwa sejak SD, Nur Alam telah berusaha hidup mandiri. Dia menjual kelapa atau apa saja yang bisa menghasilkan uang.

Nur Alam menamatkan pendidikan SD di Konda tahun 1979. Dia melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Ranomeeto, lalu pindah ke SMP Negeri 3 Kota Kendari.

Ke sekolah-sekolah tersebut dia berjalan kaki. Bila kecapekan, dia menginap di rumah sepupu ayahnya, Haeruddin.     Ibunya, Siti Fatimah pun menyertainya  buat menyiapkan makanan dan pakaiannya.

Desember 2016 lalu, menjelang perayaan hari ibu, Nur Alam pernah menyampaikan kesannya terhadap sosok Hj Fatimah, perempuan yang sukses membesarkan anak-anaknya seorang diri.

Bagi Nur Alam, ibu itu memiliki makna universal dan secara filosofis adalah gambaran sebuah kehidupan. Saking tingginya posisi seorang ibu, ia adalah simbol Tuhan di dunia, sehingga dianggap surga itu dibawah telapak kakinya.

“Yang pertama memberi kasih sayang. Kita terlahir di dunia dan mengenal berbagai kenikmatan karena jasa seorang ibu,” kata gubernur. Saat itu, ia belum ditahan oleh KPK.

Gubernur Sultra ini menganggap, sosok ibundanya adalah energi, dan spirit yang selalu menjadi kekuatan besar bagi dirinya. Ibu adalah orang yang selalu mendoakannya dalam semua situasi, termasuk saat ini ketika ia sedang menghadapi masalah rumit.

Menurut Nur Alam, meski ia sudah berusaha menyembunyikan kegundahannya terkait masalah yang tengah ia hadapi, tapi sang ibu, entah dari mana, sepertinya tahu bila anak hebatnya itu tengah menghadapi masalah.

“Setiap saya mengunjungi beliau, pagi atau sore, beliau selalu berpesan agar saya bersabar. Beliau selalu mendoakan saya,”

“Itulah yang membuat saya kuat, karena saya yakin, apa yang saya alami tidak lepas dari penjagaannya. Doa keselamatan selalu beliau panjatkan,” kata Nur Alam kala itu.

Juli 2017, Gubernur Sultra itu ditahan KPK. Semenjak saat itu, ia tak pernah lagi bisa menjengkuk ibunya. Sebulan terakhir, sang ibu dirawat di RS Bahteramas Kendari.

Sesekali, dalam sadarnya, ia menanyakan putra hebatnya itu kenapa tak pernah bisa sempat menjengkuknya di rumah sakit. Hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir. Nur Alam, yang diizinkan KPK, diberi kesempatan mengantar sang ibu ke peristirahatan terakhir.(***)

Penulis : Abdi Mahatma

Fatimahnur alam