“Urusan apapun, asal itu terkait hajat orang banyak, maka sekampung pasti berpartisipasi. Tidak ada yang berani tidak ikut kerja bakti”
Arif Rusman, Sekdes Batuawu
LENTERASULTRA.com-Tak banyak waktu yang dimiliki Rustam Effendi menikmati kopi di beranda rumahnya, Sabtu (9/9) pagi lalu. Panggilan dari masjid agar semua warga berkumpul, sudah terdengar sejak matahari mulai muncul.
Dingin tak lagi dihiraukan lelaki berusia 43 tahun ini. Ia bergegas ke kolong rumahnya, mengambil sekop. Sejurus kemudian, ia sudah beranjak. “Mau ke sekolah, ada kerja bakti menimbun halaman. Suka tergenang air,” katanya.
Begitu keluar dari pekarangan rumahnya, puluhan warga lain juga dilihatnya menuju tempat yang sama. Dengan beragam perlengkapan di tangan. Jadwal ke kebun, atau aktivitas lain dilupakan sejenak.
Pagi itu, lebih dari 300 masyarakat Desa Batuawu, Kecamatan Kabaena Selatan, Bombana, menuju ke titik yang sama. Perangkat desa sudah memberi perintah, bahwa halaman sekolah untuk anak-anak mereka menuntut ilmu, butuh penimbunan karena selalu tergenang air. Dan itu berarti kewajiban.
Begitu berkumpul, mereka berbagi kelompok. Kebetulan, ada timbunan tanah bekas galian proyek pekerjaan jalan yang tak terpakai. Tanah-tanah inilah yang diangkut warga, menimbun pekarangan sekolah. “Anak-anak masih sekolah kala kami orang tuanya bekerja,” ucap Arif Rusman, Sekertaris Desa Batuawu.
Tradisi gotong royong semacam ini sudah terjaga sejak lama. Di desa ini, masih banyak tersimpan kearifan lokal meski peradaban dan gerusan terknologi tak bisa dibendung. Tapi begitu aparat desa atau pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi meminta melakukan sesuatu, seluruh warga pasti turun tangan.
“Di sini, kalau ada warga yang ingin memindahkan lokasi rumahnya, yang kebetulan masih berkonstruksi kayu dengan model rumah panggung. Satu kampung yang angkat ramai-ramai. Pemilik rumah cukup menyediakan air minum. Urusannya sudah kelar,” bangga jebolan sebuah perguruan tinggi di Makassar ini yang memilih pulang membangun kampungnya ini.
Hal-hal lain yang sudah jarang ditemukan di kampung lain di Kabaena adalah soal Miras. Di Batuawu, kampung dimana Hj Masyhura Ila Ladamay, mantan Wakil Bupati Bombana pernah dilahirkan, tak ada yang berani mengonsumsi Miras.
“Anak-anak muda disini Alhamdulilah tidak ada yang berani Miras di kampung. Bukan hanya takut dimusuhi orang sekampung, tapi seperti itulah tradisi membentuk kami,” katanya. Jika pun ada yang niat, mereka akan menyingkir dulu ke tempat lain, nanti setelah reaksi Miras itu hilang barulah mereka kembali.
Bila Ramadan tiba, semangat religius kampung ini juga sangat besar. Tidak ada yang berani tak berpuasa, kecuali perempuan. Bahkan, jika berani tak tarawih, siap-siap saja namanya diumumkan di masjid. Dan tak ada yang berani protes.
Arif bercerita, salah satu penghasilan utama warga adalah dari berkebun, semisal jambu mente. Bila musim panen tiba, dan hasil panen tak terangkut ke kampung, tumpukan karung-karung jambu di jalan tani bisa saja ditemukan.
“Tapi tidak ada itu yang berani mengambil. Satu bijipun kami jamin tak berkurang. Tak ada yang ditugasi khusus mengawasi itu semua, tapi warga kami memang menjunjung tinggi nilai semacam itu,” tambahnya.
Bila ada seorang warga yang meninggal dunia, maka dipastikan seluruh aktivitas warga akan berhenti. Semua akan fokus membantu kerabat yang berduka. Begitupun jika ada hajatan, seperti pernikahan, satu kampung ambil bagian.
Berkat tradisi dan kearifan lokal yang terjaga itu, Batuawu nyaris tak pernah berkontribusi terhadap angka kriminalitas di Pulau Kabaena. Kehidupan di kampung ini sangat tenang dan nyaman.
Desa Batuawu di Kabaena Selatan memiliki penduduk tak kurang dari 600 jiwa termasuk anak-anak. (***)