LENTERASULTRA.com – Untuk sesaat, masyarakat Kota Kendari bisa sedikit menurunkan intensitas keresahan gara-gara jatuhnya korban massal akibat mengonsumsi obat yang sejauh ini belum teridentifikasi persis jenisnya. Para pelaku penyebar obat “maut” itu sudah dibekuk.
Kamis (14/9) pagi, Polda Sultra merilis usaha personilnya dalam dua hari terakhir. Tujuh orang diamankan dari berbagai tempat dengan dugaan mengedarkan obat-obatan yang diduga Narkoba baru jenis Flakka. Dari delapan itu, ada dua apoteker ikut diamankan karena ditenggarai peracik obat jenis PCC.
Mereka sudah ditetapkan tersangka dan dijerat Undang-Undang Kesehatan. Delapan orang adalah hasil penangkapan dari tiga polres jajaran dan polda sendiri. Untuk Polres Kendari berhasil menangkap empat orang, Polres Konawe menangkap satu orang, Polres Kolaka satu orang dan Polda Sultra dua orang.
Kabid Humas Polda Sultra AKBP Sunarto menguraikan, dua orang peracik obat tersebut adalah perempuan. Mereka menjual obat tanpa resep dokter dengan jumlah yang banyak. Obat-obat itu juga diduga ada kaitannya dengan yang dikonsumsi 50-an remaja di Kota Kendari, yang selama tiga hari ini bikin geger rumah sakit.
“Semuanya masih dalam proses penyelidikan. Kita lihat kedepan, yang pasti apoteker ini adalah pembuat dan penjual obat yang tanpa resep dokter,” katanya kepada sejumlah awak media di Kendari.
Dari hasil pemeriksaan kata Sunarto, modus operandi dari penjualan barang haram tersebut dengan membeli langsung kepada para pengedar. Katanya untuk setiap butir dijual dengan harga beragam Rp 25 ribu bahkan lebih.
Sementara itu, Kamis (14/9) pagi, Kepolisian Sektor Mandonga, Kota Kendari, juga merilis tangkapannya. Seorang wanita setengah baya berinisial ST, Rabu malam 13 September 2017. Wanita ini diduga pengedar obat-obatan terlarang sejenis Flaka, yang sempat membuat puluhan remaja dan pemuda mengalami gangguan kejiwaan, kejang-kejang dan mengamuk.
ST ditangkap di Jalan Kemuning, Kelurahan Watuwatu, Kecamatan Kendari Barat, saat hendak mengedarkan obat jenis PCC yang reaksinya mirip dengan Flaka. Polisi berhasil mengamankan perempuan berumur 39 tahun ini bersama ribuan butir obat yang akan diedar.
“Kami juga menyita uang senilai Rp 735 ribu hasil penjualan obat PCC. Saat ini kami masih mendalami bagaimana modus penjualannya dan sejak kapan profesi ini dikerjakan,” kata Kapolres Kendari, AKBP Jemy Junaedi kepada.
Menurutnya, ST adalah jaringan peredaran gelap obat-obatan terlarang yang mengakibatkan remaja di Kendari menjadi korban. Hanya saja kata perwira polisi ini, pihaknya masih akan mendalami dugaan itu. Ia akan melakukan pemeriksaan terhadap korban di rumah sakit, terkait apakah ada yang mengenali ST.
“Saat ini belum (dimintai keterangan) karena korban semuanya belum bisa diperiksa. Hanya saja dari pemeriksaan awal, kami dapatkan informasi bahwa ST ini memang pengedar dan sempat menjual obat kepada beberapa remaja di Kendari yang sempat menjadi korban.
Sementara itu ditanya terkait apakah PCC ada kesamaan dengan Flaka, Jemy belum mau berandai-andai. Pasalnya mereka juga masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium dari BNN, BPOM dan Mabes Polri. Katanya narkoba jenis Flaka masih akan didalami. “Belum mengarah ke sana,” tegasnya.
Dari Jakarta, seperti dikutip dari liputan6.com, staf Ahli Kimia Farmasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Mufti Djusnir mengatakan, apa yang terjadi di Kota Kendari itu harus diyakini dulu apa yang telah dikonsumsi korban hingga menimbulkan dampak yang sangat parah. Sebab, dari informasi yang didapatkan, ada beberapa macam obat yang diracik.
“Jika benar mereka meracik sejumlah obat, di antaranya obat PCC, harus dikonfirmasi dari laboratorium BPOM setempat,” kata Mufti. Merujuk cerita seorang korban, ia mengaku mencampur tiga jenis obat berbeda, yakni Tramadol, Somadril, dan PCC. Tiga obat itu dicampur dan diminum secara bersamaan dengan air putih.
“Jika mereka mencampur tiga obat itu akan menimbulkan efek sinergis. Obat bekerja memengaruhi susunan saraf pusat. Dia menjadi kerja searah menghantam saraf pusat otak dan akan menimbulkan ketidakseimbangan,” jelas Mufti.
Ragam jenis obat tersebut, kata dia, ada sebagiannya yang sudah tidak tersedia lagi di pasaran lantaran ditarik dari peredaran. Karena itu, aparat hukum harus menyelidiki oknum yang menyebarkan obat berbahaya tersebut.
“Informasi yang kita dapatkan, Somadril sudah ditarik dari peredaran. Enggak boleh. Tramadol resmi tapi harus ada resep dokter. Tidak dijual bebas. Harus dikonsultasikan dengan apoteker agar dosis yang diberikan kepada konsumen tepat,” ujar dia.
Lantas apakah PCC termasuk bagian dalam narkoba? Mufti menilai hal itu bisa saja terjadi lantaran memiliki zat adiktif. Meski demikian, perlu hasil laboratorium untuk mengetahui jenis dari narkoba tersebut. “Zat adiktif, bisa saja (obat PCC). Tapi jenisnya apa? Harus ada hasil labnya,” ujar dia.(Egi)
Editor : M. Rioddha