Umar Samiun ; Hidayah dari Rutan Guntur

Sepotong Kisah dari Ruang Tahanan PN Jakarta Pusat

Foto ; M Rioddha
Suasana di sebuah ruangan di PN Jakarta Pusat. Masyarakat Buton dengan sangat antusias berfoto dengan Umar Samiun, sesaat sebelum Bupati Buton non aktif itu hendak menjalani persidangan

Senyumnya masih sama seperti yang saya kenal sejak lama. Hangat dan bersahabat. Rangkulannya tak sedikitpun berubah, tetap menjalarkan semangat. Bagi saya, ia bukan hanya seorang kepala daerah-yang saat ini statusnya non aktif-tapi lebih dari itu, ia adalah sosok kakak, sahabat, pencerah dan inspirator. Jika pun kala ini raganya sedang menghadapi masalah, tapi itu tak sekalipun mengubah pandangan saya dan mungkin banyak orang tentang sosoknya.

Dia Samsu Umar Abdul Samiun, atau lebih akrab dikenal sebagai Umar Samiun. Pertengahan Agustus lalu, saya mendapatkan kesempatan ke Jakarta, menemuinya. Saya bertemu dengannya di salah satu ruangan di basement Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saat ia sedang menunggu jadwal sidang digelar. Saya tak sendiri, ada lebih dari 100 orang, yang entah mendapat energi dari mana, orang-orang itu setia menemaninya, memberi semangat, agar selalu kuat.

Sejak Januari, tepatnya tanggal 26, Umar Samiun ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Rutan Guntur karena disangka memberi suap kepada Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Perkaranya kini sedang disidangkan dan tak lama lagi dipungkasi dengan vonis hakim. Saya, hanyalah satu dari ribuan bahkan puluhan ribu orang yang secara emosional dekat dengannya. Lagi-lagi, tidak karena dia Bupati di Buton, tapi karena ia selalu memperlakukan seseorang seperti orang itu ingin diperlakukan.

“Kita ini berteman karena hati dinda,” begitu ia membuka kalimat, setelah saya merangkulnya, dan menyampaikan maaf karena baru sempat menemuinya setelah lama ia tersandung masalah. Ia tetaplah Umar Samiun yang saya kenal sejak tiga tahun lalu. Bersahabat, hangat dan punya banyak energi yang sayangnya tersandera oleh masalah.

Sembari menanti panggilan sidang, ia mengajak saya berbincang. Ada banyak kisah yang ingin ia bagi, khususnya selama delapan bulan terakhir ia berada di sebuah lingkungan yang membatasi geraknya, menyandera ide-idenya, dan tentu saja menghalanginya mendarmakan karya untuk masyarakat Buton. Sesuatu yang pernah ia janjikan ketika mengajukan diri sebagai Bupati di tanah Barakati itu.

“Banyak hidayah dan pelajaran selama saya di Rutan,” lanjutnya, sembari menenggak beberapa teguk air mineral di depannya. Hal yang paling menyiksanya, utamanya di awal-awal ia ditahan adalah perasaan sedih karena harus terpisah oleh keluarga dan tugas sebagai pelayan masyarakat Kabupaten Buton.

Tetapi, mantan Ketua PAN Sultra ini  tetap bersyukur. Ia masih yakin bahwa Tuhan itu maha adil. “Pahit. Tapi ada banyak pelajaran penting yang bisa saya petik dari musibah ini,” tuturnya.
Ada begitu banyak momentum yang harus dilalui dengan rasa haru. Pasalnya, momentum yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan harus dihiasi dengan suasana sedih karena situasi yang sedang dialaminya. Meski demikian, dirinya tetap optimis dapat menebus segala tugas dan tanggungjawab yang selama ini terpaksa ditinggalkannya.

“Tidak ada kata-kata yang bisa saya ucapkan. Bahagia bisa terpilih lagi (sebagai Bupati Buton), namun dengan keadaan seperti ini tetap ada sedihnya, pokoknya terharu. Insya Allah semua akan berjalan lancar dan akan indah pada waktunya,” katanya. Ia pun mengharapkan masyarakat Buton tetap optimis dengan perjalanan pemerintah kedepan.

Ada begitu banyak visi dan misi pemerintah semaksimal mungkin akan digapai. “Masyarakat tidak perlu kuatir. Insya Allah apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah akan dijalankan semaksimal mungkin. Meski raga saya sementara waktu tidak berada di Buton namun, pikiran dan jiwa saya sebagai Bupati Buton tetap selalu ada untuk masyarakat Kabupaten Buton,” ujarnya.

Begitu banyak hal luar biasa yang dirasakan selama tujuh bulan lebih menjalani kehidupan didalam Rutan. “Didalam Rutan tidak ada yang kita bawa. Jabatan sebagai kepala daerah itu harus kita lepaskan. Kita harus siap menghadapi realita menjalani kehidupan sebagai masyarakat biasa tanpa pelayanan dan perhatian dan fasilitas yang biasa kita rasakan selama ini,” tuturnya.

Sembari melempar tawa, Umar pun mengungkapkan ada pelajaran yang dipetik untuk menjaga kesehatan selama menjalani kehidupan di dalam Rutan. “Selama didalam Rutan semua itu kita kerjakan sendiri. Mulai dari mencuci sampai dengan memasak semua itu kita lakukan sendiri tanpa ada pelayan yang bisa melayani. Jadi kesimpulannya itu, ternyata semakin banyak dilayani itu juga tidak baik karena semakin mudah kita terserang penyakit. Jadi mungkin nanti selepas dari sini (Rutan) kemandirian itu harus tetap dijaga,” katanya sembari melirik istrinya, Iis Elianti yang duduk tak jauh darinya. Keduanya tertawa bersamaan. “Saya tidak butuh pembantu lagi nanti kalau bapak sudah keluar,” itmpal perempuan itu, mencandai suaminya.

Selain itu, tak kalah penting adalah pelajaran spritual. Menurutnya rasa syukur yang tidak kalah penting adalah kedekatan dirinya bersama Tuhan selama menjalani hukuman semakin intens. Dirinya kini tak pernah lepas dari ibadah salat. Sampai-sampai dirinya pun didaulat sebagai imam di masjid didalam Rutan.

“Luar biasa. Selama ini kita lupa akan perintah Tuhan hanya karena  kesibukan tugas kerja. Namun, selama 7 bulan saya bisa menjalani ibadah salat itu dengan tenang dan lebih sering. Saya anggap ini saya sedang berada di Gontor (sebuah pondok

FOTO ; M Rioddha
Masyarakat Buton yang secara sukarela terus hadir memberi semangat kepada Umar Samiun menjalani masalah hukumnya

pesantren terkenal di Indonesia-red), Insya Allah keluar dari sini semua akan jadi lebih baik,” katanya.

Mantan Ketua DPRD Buton ini juga mengilas balik soal perkaranya termasuk bagaimana sesungguhnya para penyidik KPK memperlakukan dirinya, dan mereka yang terbelit perkara. “Soal itu, saya punya penilaian sendiri. Tolong tidak usah ditulis,” kataya, tersenyum penuh makna. Yang perlu ia lakukan sekarang, menyiapkan diri dengan pembelaan di depan hakim.

DILANTIK ;

Tanpa terasa, hampir sejam kami berbincang. Kisah ini juga didengar banyak orang yang berdiri di sisi dan di depan kami. Sejurus kemudian, seorang petugas pengadilan datang ke ruang itu memberi kabar bahwa persidangan segera digelar. Terdakwa, diminta menyiapkan diri. Umar pun menutup perbincangan kami dengan ucapan sederhana, “Mohon doanya dinda”, dan ia memenuhi kewajiban hukumnya.

Di sampingnya, sang istri Iis Elianti berjalan mendampinginya menuju ruang sidang. Perempuan itu memberi kekuatan kepada seorang Umar Samiun untuk tegar dan bersiap menghadapi apapun.(***)

Penulis ; M Rioddha

BupatiCalon Bupati KonkepUmar Samiun
Comments (0)
Add Comment