Nestapa Warga Wapulae di Muna yang Hidup dalam Gulita

935

Beginilah wajah Dusun II di Desa Wapulae, Parigi. Masyarakatnya hidup denga segala keterbatasan tapi tetap bertahan

Jumlahnya hanya 70 KK. Data administratif mencatat mereka sebagai warga Dusun II, Desa Wapulae, Parigi. Karena memilih calon bupati tak sesuai arahan Kepala Desa, tiang listrik di kampung mereka dicabut. Ekonomi bagus, tapi gulita harus tetap diakrabi. Mereka butuh lentera, sebagai penerang

Muhammad Ery

Sudah 50 tahunan Ding hidup sebagai warga di Desa Wapulae. Tiap musim politik tiba, entah itu Pilkada atau Pemilu bahkan pemilihan kepala desa, telinganya sudah bosan dengan janji. Listrik tak pernah sungguh-sunguh “menyetrum” kampung itu. Dana desa yang didengarnya sampai ratusan juta setahun, tetap saja tidak bisa setidaknya jadi genset di kampungnya.

Ding hidup di kampung kecil, tak jauh dari jalan poros Wasolangka-Marobo. Secara geografis, kampungnya itu tercatat sebagai Dusun II di Desa Wapuale. Penduduknya sekira 70-an Kepala Keluarga (KK). Yang memembuat Ding heran, di dusun I dan III, Wapulae, warganya sudah menikmati listrik.

“Waktu pemilihan bupati, sudah ada mi sebenarnya tiang listrik
Tapi tidak lama diambil kembali. Dengar-dengar karena pilihanya Pak Desa (Kepala Desa) tidak menang di sini, tiangnya dijual ke desa tetangga,” kata orang tua itu sembari tertawa. Ia tidak menyesali pilihanya yang berbeda dengan Kades, yang ia sesali, kenapa Kades pikirannya bisa seperti itu.

Dua pekan silam, jurnalis lenterasultra.com mengunjungi kampung yang terletak di pesisir Pantai Ghone Modea. Jarak dari Kota Raha memang lumayan jauh. Membutuhkan perjalanan dua jam saja untuk sampai ke sini. Ghone Modea daerah terpencil. Tapi jalan akses menuju pesisir telah ada jalan usaha tani, meski belum teraspal.

Berada di pesisir, lokasinya sangat potensial. Jika dilihat dari daerah Tapi-tapi yang jaraknya hanya 200 meter, pemukiman di dusun II ini, sangat elok. Meski, rumah warga rata-rata tiang diatas air. Panas terik mentari kala itu menyengat.

Aktifitas masyarakat seperti biasa. Selama 10 tahun, mereka telah membudidayakan rumput laut. Bisa jadi berada di kawasan tak jauh dari Gunung Kabaena yang terlihat jelas menjulang, membuat laut wilayah ini dan sekitarnya subur. Rumput laut bisa berkembang.

Jurnalis lenterasultra.com, bersama Asiri, salah seoran tokoh masyaakat di Wapulae

Asiri, seorang tokoh masyarakat setempat mengaku tetap bahagia hidup meski tanpa listrik. Hasil rumput lautnya bisa menunjang kebutuhan rumah tangganya serta bisa menyekolahkan anak-anaknya. “Hidup kami sudah lebih baik,” lanjut Asiri sembari menghela nafas panjang mengisap rokok kreteknya.

Rehat sejenak, lelaki yang kini ditaksir memasuki usia senja itu, sesekali mengajak lenterasultra, melihat rumput laut hasil panen yang sementara dalam tahap pengeringan. Saat itu juga, Asiri menjelaskan, Soal pendidikan anak-anak Ghone Modea sangat utama.

SDN 14 parigi, satu satunya sekolah disana. Mungkin berarti, setelah lulus SD, pendidikan selesai. Untuk pendidilan lanjutan, orang tua mereka memilih menyekolahkan mereka di Baubau, Kendari dan Buton Tengah. Sebab, disana mereka menetap bersama keluarga. Begitu pula, soal air bersih dan pemenuhan kebutuhan pokok. Masyarakat sudah tak susah lagi.

“Kalau air kita ambil di liang. Kalau beli beras, ada dari Mawasangka, Lombe, Wakuru yang menjajakkan disini,” jelasnya. Ia menambahkan, soal sanitasi belum ada WC umumnya.

Berdasarkan, pengakuan Rasna alias istri Kepala RK Antong, jumlah masyarakatnya hanya 70 KK saja. Rinciannya, 50 KK warga setempat sedangkan 20 KK lagi pendatang. Meski, jumlahnya sangat sedikit, tapi toleransinya sangat tinggi. “Kita disini hanya 70 orang saja. Suku kami jiga Muna-Bugis,” katanya saat ditemui. Kala itu, Antong tak dapat ditemui. Ia sementara melaut.

Tahun 2018 ini, masyarakat sangat berharap agar dusun ini segera dialiri listrik. Sebab, penerangan sangat dibutuhkan. Ding bercerita, tahun lalu ada petugas PLN datang. Mereka mengaku bahwa tahun 2018 akan dialiri listrik. Ding berandai-andai, kalau ada listrik, luar biasa kemajuan Ghone Modea. Dibandingkan dengan desa tetangga yakni Bite-bite, Tanjung Batu dan Pulau Bangko.

“Kami bisa bersaing dari hasil rumput laut. Tapi, kalau kita dijanji-janji terus begini-begitu, sudah capek kita,” keluhnya menggeleng-gelengkan kepala. Menurut Ding, perputaran ekononi di daerahnya sudah mensejahterakan masyarakat. Hanya perlu disadari, pemerintah tak pernah melihat masyarakat level bawah.

Penghasilan rumput laut masyarakat bisa digudangkan. Kemudian, dijual ke pihak perusahaan. “Pembuatan gudang juga memang harapan saya. Selain listrik. Bayangkan saja, warga bisa diperdayakan dengan penghasilan Rp 1000 dan Rp 2000. Pemerintah juga bisa dapat retribusi dari itu. Apalagi, harganya kan terus melambung,” narasinya dengan suara lantang.

Kini, masyarakat hanya bisa berharap agar pemerintah segera berbuat dan tak menutup mata. Listrik memang kebutuhan dasar. Dan perlu pesisir ghone modea sudah selayaknya diterangi listrik. Jangan dibiarkan masyarakat terbelenggu dalam gelapnya malam hari.

Yang mesti diketahui pula, tumbuh suburnya rumput laut dipesisir ini antara bulan Desember 2017 hingga September 2018. Satu orang warga saja bisa memanen hasilnya tiap bulan mencapai 2 ton. Sementara, yang menggeluti pekerjaan ini sebanyak 50 orang.(***)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

BERITA TERBARU