Salah satu wujud program dari asta cita atau delapan program prioritas Kementrian Agama adalah Meningkatkan Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan. Realisasi program tersebut salah satunya dilakukan dengan insersi kurikulum berbasis cinta kemanusiaan serta penghargaan terhadap perbedaan.
Tentang Kurikulum Cinta ini selalu disampaikan oleh Menteri Agama, Prof. Nazarudin Umar, dalam berbagai kesempatan, berulang kali beliau menegaskan bahwa inti dari semua ajaran agama sesungguhnya bermuara pada cinta, cinta yang dimaksud dalam hal ini dimaknai sebagai nilai tertinggi dari pondasi untuk membangun kerukunan, kasih sayang, toleransi dan penghormatan atas keberagaman yang menjadi inti dan nafas dari bangsa dan negara tempat kita hidup dan tinggal saat ini yang bernama NKRI.
Secara teori program Kurikulum Cinta tentu sangat indah dan menginspirasi, sekaligus terkandung pengharapan sesuai namanya. Siapa yang tidak ingin hidup dalam hubungan masyarakat yang penuh cinta, saling menghargai perbedaan dan bebas dari diskriminasi serta kekerasan sebagaimana yang didambakan dan dicita-citakan oleh pendahulu bangsa kita mengawali kemerdekaan?
Namun, pertanyaannya kemudian, apakah gagasan dan program ini bisa efektif untuk mencapai cita-cita bersama dan mencapai untuk tujuan pendidikan nasional serta untuk hidup serta tumbuh dalam realitas kehidupan sehari-hari dalam rumah bersama yang bernama NKRI? Atau hanya akan menjadi jargon manis dalam pidato dan dokumen arsip kebijakan serta nantinya berlalu begitu saja meninggalkan kenangan yang tidak mengenakan, tanpa hasil sebagaimaana yang terjadi dalam setiap pergantian rezim?
Jargon Pendidikan Karakter dan Realitas yang Ironi
Sudah sejak lama Indonesia konsen untuk menguatkan jati diri dan karekter bangsa sehingga berbagai upaya dan usaha dilakukan dengan menelorkan berbagai kebijakan dan program. Istilah penguatan pendidikan karakter, revolusi mental, moderasi beragama, pembentukan badan untuk penguatan Idiologi Pancasila, pendidikan humanisme dan lain sebagainya adalah program serupa dengan label yang berbeda untuk tujuan yang sama pada setiap rezim.
Namun, sayangnya semua itu belum nampak pada hasil yang diharapkan, kenyataan yang terjadi sering kali berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Dalam satu dekade terakhir, masalah kemanusiaan justru semakin marak, baik di tingkat nasional bahkan global. Konflik, kekerasan, diskriminasi, hingga intoleransi terus bermunculan, pada tingkat global, isu perang dunia, perang saudara yang melahirkan konflik antar negara kerap menyita perhatian dunia dan semua itu jelas di hadapan mata melalui pemberitaan media, sementara juga di negara kita kasus intoleransi, pelanggaran kebebasan beragama, dan konflik sosial masih sering terjadi dan nyata di depan mata.
Meminjam istilah Mentri Agama, Prof Nasarudin Umar, berbagai masalah yang terjadi tersebut adalah bentuk dehumanisasi kondisi, dimana nilai-nilai kemanusiaan tergerus dan tercerabut, yang ditandai dengan semakin meluasnya kekerasan dan konflik yang berdampak pada penderitaan orang banyak, menurut beliau humanity is only one kemanusiaan adalah satu dan tidak boleh terpecah-pecah.
Olehnya pemberdayaan umat beragama harus berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan harmoni bersama. Sayangnya saat ini agama yang seharusnya menjadi peyangga harkat dan martabat manusia sering dimanfaatkan dan salah gunakan sebagai dalih melakukan kekerasan dan deskriminasi, seharusnya agama dengan nilai nilai reliusitasnya dapat menjadikan penganutnya dapat meningkat harkat dan martabatnya, untuk menjadi lebih humanis.
Luka Pendidikan dan Kegagalan Kolektif Membentuk Karakter
Bila kita cermati lebih dalam lagi persoalan moral yang terjadi bukan hanya masalah kurikulum di sekolah, tetapi lebih dari itu, kondisi dan fenomena ini adalah kegagalan kolektif dan komunal dari sistem pendidikan secara menyeluruh, baik dari pendidikan informal, formal dan non formal. Berbagai tindak pidana korupsi rasanya tidak pernah ada akhirnya mulai dari nominal kecil hingga skandal besar adalah contoh nyata bagaimana generasi muda yang lahir dari bangku pendidikan kerap kehilangan integritas dan karakter.
Lebih ironis lagi, ruang pendidikan sebagai tempat belajar justru menjadi ladang praktik intoleransi dan diskriminasi. Baru beberapa hari yang lalu di media online diberitakan adanya kasus di daerah Kalimantan Selatan, dimana siswa beragama Hindu dilarang belajar agama dan bahkan dipaksa mengikuti pelajaran agama lain demi nilai rapor.
Ini bukan hanya pelanggaran hak anak, tapi menciderai sekaligus luka mendalam dari cita cita Bhinneka Tunggal Ika. Di saat yang sama, pemerintah lebih sibuk merayakan angka-angka statistik, Balitbang Kementerian Agama melaporkan Indeks Kerukunan Umat Beragama 2024 meningkat tipis ke angka 76,47. Meskipun angka tersebut layak disyukuri, tidak boleh membuat kita terlena dan lupa bahwa kerukunan sejati diuji di ruang kelas, tempat ibadah, ruang sosial, dan dalam interaksi sehari-hari yang sesungguhnya.
Kurikulum Berbasis Cinta: Harapan dan Tantangan
Di tengah tantangan ini, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) muncul sebagai salah satu.solusi strategis yang di lakukan oleh Kementrian Agama untuk merespons berbagai masalah yang terjadi, ia bukan kurikulum baru tetapi kurikulum sisipan untuk pembentukan karaker cinta yang sejati dengan tumbuhnya nilai kasih sayang dan toleransi dari setiap individu dengan pilarnya, yaitu cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama manusia, cinta dan kepedulian terhadap lingkungan dan cinta kepada bangsa, yang muaranya dipandang efektif mengeliminir berbagai persoalan yang terjadi saat ini dan dimasa depan.
Pendidikan menjadi lokus untuk menanamkan nilai-nilai cinta, toleransi, empati, dan keadilan sosial dimulai sejak dini. Ada alasan kuat mengapa pendidikan harus menjadi titik awal; Pertama, pendidikan menyediakan ruang sistematis dan terstruktur bagi siswa dan generasi muda untuk mengawali, memahami dan menghargai keberagaman. Kurikulum ini dirancang inklusif, memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang keberagaman tersebut; Kedua, lembaga pendidikan saat ini masih diwarnai isu-isu minor dan praktik yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan, diskriminasi, bullying, hingga terjadinya intoleransi.
Kurikulum ini bertujuan merekonstruksi sistem pendidikan agar mampu melahirkan insan yang humanis, nasionalis, naturalis, dan toleran, dengan cinta dengan prinsip dasarnya secara konsisten dan berkelanjutan. Lebih jauh lagi, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) diharapkan bukan hanya untuk menyelesaikan persoalan di tingkat lokal, tapi juga berkontribusi pada solusi masalah kemanusiaan global, seperti konflik sosial, diskriminasi, dan ketidakadilan.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Pertanyaannya selanjutnya apakah kita sungguh sungguh telah siap untuk membongkar akar masalah yang selama ini menggerogoti yang terjadi dalam sistem pendidikan kita? Sejatinya cinta bukan sekadar hanya diajarkan pengajaran ceramah, tanya jawab, lewat buku atau bahkan poster motivasi, ia butuh teladan nyata dari para pendidik, orang tua, para tokoh dan pemangku kebijakan, dalam praktiknya juga butuh perlindungan hukum yang tegas dan pengawasan yang konsisten.
Butuh keberanian untuk menindak oknum dan satuan pendidikan yang menciderai nilai kebinekaan, yang melanggar hak anak-anak untuk belajar agama sesuai agama dan keyakinannya. Secara formal, Impelementasi dari Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) di awali pada tahun ajaran 2025/2026 ini dan akan dilaksanakan pada satuan Pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama dan tentu hasilnya akan tidak dapat terlihat secara signifikan secara instan, tetapi dalam jangka menengah hingga panjang.
Kesimpualnya bahwa pendidikan karakter untuk lahirnya “karakter cinta” sebagaimana tujuan KBC butuh komitmen kolektif, tidak hanya dari pemerintah melalui kebijakan dan penerapan di satuan pendidikan, tetapi dari seluruh elemen masyarakat dari tingkat yang paling bawah.
Tanggung Jawab Kolektif
Kurikulum Cinta (KBC) adalah sebuah harapan besar bagi masa depan bangsa yang lebih harmonis, damai, dan beradab. Namun, wacana dan program yang indah ini juga harus diikuti dengan tindakan dan aksi nyata kolektif dari semua elemen. Jika tidak, ia hanya akan menjadi jargon kosong yang tidak pernah menyentuh realitas kehidupan.
Maka, sudah saatnya kita mengambil tanggung jawab kolektif dan komunal untuk menjadikan cinta bukan hanya sebagai wacana, melainkan sebagai bentuk kepribadian, kenyataan, sekaligus tindakan atau perbuatan yang mengedepankan nilai-nilai cinta dan kasih sayang yang hidup dan tumbuh di ruang-ruang pendidikan, dalam keluarga dan di seluruh lapisan sosial kemasyarakatan. Kita meyakini hanya dengan cinta yang nyata, bangsa ini bisa bertahan, berkembang dalam keberagaman, dan maju, menuju Indonesia Emas 2045.
Penulis:
Kadek Yogiarta, Wakil Ketua IV Bidang Humas dan Alumni Sekolah Tinggi Agama Hindu Bhatara Guru Kendari