BOMBANA, LENTERASULTRA.COM-Jalan tanah memanjang seperti urat yang membelah perbukitan Morengke, di Matausu, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Di sisi kirinya, pepohonan tinggi masih berdiri rapat rimbun, tenang, dan seolah menjadi saksi bisu dari riuhnya perubahan yang perlahan datang. Ranting dan akar menyembul dari permukaan, menandai betapa alam masih mendominasi wilayah ini. Roda sepeda motor menyisakan jejak lumpur basah, sementara daun-daun bergoyang pelan diterpa angin dan suara samar terdengar dari kejauhan.
Sebuah suara menggeram lembut, ritmis, seperti napas panjang yang ditarik dari perut bumi. Deru mesin diesel pengaduk semen mengisi udara, mengusik keheningan hutan. Mula-mula samar, lalu perlahan semakin jelas, semakin dekat. Setiap langkah mendekat membawa suara itu menjadi denyut: “ngggg… ngggg… duk duk duk…”
Benar saja, begitu tikungan terakhir dilewati, tampak sebuah pemandangan yang menghentikan langkah. Tapak tanah tergali panjang menyerupai luka lama yang selama ini tak tersentuh pembangunan. Tapi luka itu kini mulai disembuhkan. Batu-batu besar ditata satu per satu, bertumpu pada campuran semen dan pasir yang diracik dengan penuh ketelitian. Lumpur menempel di sepatu, tangan-tangan menghitam oleh debu dan keringat, namun tak ada keluhan. Mereka tidak sedang bekerja demi nama atau upah. Mereka datang untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar jembatan harapan.
Merekalah para prajurit TNI anggota Satgas TMMD ke-124 Kodim 1431/Bombana yang sejak 6 Mei 2025 resmi bergerak setelah pembukaan program dilakukan oleh Bupati Bombana, Ir. H. Burhanudin, M.Si. Dalam sambutannya, sang bupati menegaskan bahwa TMMD bukan sekadar program pembangunan fisik, tapi momentum strategis untuk menjahit kembali keterhubungan antara wilayah terisolasi dengan denyut kemajuan. “Kami percaya, dari desa-desa inilah wajah Indonesia dibentuk. TMMD harus jadi penggerak perubahan itu,” ujarnya saat memukul gong tanda dimulainya kegiatan.
Hari itu, para prajurit bukan sekadar tentara. Mereka menjadi tukang, pemikul bahan, pengaduk semen, pengatur batu, dan yang terpenting saudara bagi warga Morengke. Anak-anak muda desa ikut serta, tak sekadar menjadi penonton. Mereka mencangkul, mengaduk adonan, mengangkat ember, bahkan menyuguhkan air dan kopi.
Di wajah mereka, peluh tak menyamarkan senyum. Karena di atas setiap batu yang mereka letakkan, berdiri sesuatu yang tak kasat mata namun kuat kepercayaan. Bahwa ketika rakyat dan TNI berjalan beriringan, tak ada batas yang tak bisa dilewati. Termasuk jurang keterisolasian yang selama ini memisahkan desa mereka dari dunia luar.
Pemimpin di Garis Depan
Di balik setiap kemajuan fisik, ada sosok yang memimpin bukan dari balik meja, tapi dari tanah berlumpur tempat kerja keras berlangsung. Letkol Inf Andi Irfandi, S.I.P., Komandan Kodim 1431/Bombana, adalah gambaran pemimpin semacam itu. Ketika kami tiba di lokasi pembangunan, Letkol Andi sedang berdiri di sisi galian jembatan. Sepatu botnya berbalut lumpur, bajunya terciprat adukan semen. Ia jongkok, memeriksa tekstur campuran, memecah batu dengan tangan, memastikan semuanya kokoh.
“Serda Ardi Jafar” panggilnya pada salah satu prajurit muda yang sedang mengangkat karung pasir. “Siap, Komandan!” jawab Serda Ardi Jafar sambil bergegas mendekat. “Kamu lihat tadi campuran yang barusan dipakai? Kurang air, coba perhatikan. Nanti jembatan kita bisa keropos kalau sembarangan,” kata Letkol Andi dengan nada tegas namun tenang. “Siap diperbaiki, Komandan. Saya langsung atur ulang takarannya,” sahut Serda Ardi Jafar cepat.
Letkol Andi menepuk bahunya pelan. “Kerja kita ini bukan buat laporan. Ini buat warga yang tiap hari lewat sini. Harus tahan puluhan tahun.” kata sang komandan. Tak hanya memimpin, ia hadir dalam interaksi hangat. Setelah memantau pekerjaan jembatan, Letkol Andi tak langsung kembali ke pos. Ia menyusuri jalan tanah menuju rumah-rumah warga yang sedang direnovasi melalui program bedah rumah (RTLH).
Di tiap titik, ia berhenti sejenak, berdialog dengan pemilik rumah, menanyakan kebutuhan mereka, bahkan memberi semangat pada satgas TMMD Kodim 1431/Bombana yang bekerja. Tak jarang, ia memberi arahan langsung agar hasilnya tidak hanya layak, tapi juga nyaman dan berumur panjang.
Ia juga menyempatkan meninjau pembangunan MCK, sumur bor, dan rehabilitasi masjid menandai bahwa perhatian sang komandan tak terbatas pada satu titik, tapi menyebar ke seluruh sasaran TMMD yang tersebar di berbagai desa. “Pembangunan bukan hanya soal beton dan aspal,” tuturnya pelan. “Tapi tentang rasa,” katanya.
Jalan ke Kebun, Jalan ke Masa Depan
Dari tepian Sungai Morengke, pembangunan merambat ke jantung perkebunan. Di Desa Wia Wia dan Desa Lamuru, jalan usaha tani kini terbentang selebar empat meter, memudahkan petani mengakses lahan mereka. Jalur sempit yang dulunya hanya bisa dilewati pejalan kaki kini bisa dilalui motor dan truk kecil.
“Dulu, hasil kebun kami sering rusak karena harus dipikul jauh,” kata Darlan, petani muda setempat. Kini, hasil panen bisa diangkut dalam jumlah besar, dijual tepat waktu, dan menghasilkan lebih banyak. Jalan itu bukan sekadar akses fisik itu adalah jalur keluar dari kemiskinan, dari kesulitan yang turun-temurun. “Ini jembatan kesejahteraan,” ujar Letkol Andi. “Menghubungkan rakyat dengan masa depan yang lebih layak,” imbuhnya.
Dulu Reyot Kini Jadi Rumah Layak
TMMD ke-124 juga menyentuh kehidupan warga dari sisi yang lebih personal tempat tinggal. Tiga rumah milik warga yang sebelumnya nyaris roboh kini berdiri kokoh dan layak huni. Rumah milik Ibu Tina, Ibu Hanaeni, dan Ibu Salmawati di Desa Wia Wia direnovasi total. Dinding papan yang lapuk diganti dengan bata, atap bocor ditukar dengan seng baru, dan lantai tanah kini berubah menjadi semen yang bersih dan nyaman. “Dulu kalau hujan, saya basah tidur di dalam rumah. Sekarang sudah bisa tidur nyenyak,” tutur Ibu Tina, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca.
Bagi para prajurit yang terlibat, pekerjaan ini bukan sekadar tugas, tapi pengalaman yang menyentuh hati. Mereka tidak hanya membangun rumah, tapi turut merasakan kehidupan penghuninya. “Kami makan bareng, tidur di rumah warga, bantu masak, ngobrol malam. Jadi seperti anak sendiri bagi mereka,” cerita Serda Wahyu, sambil tersenyum. Di setiap rumah yang direnovasi, bukan hanya tembok yang dibangun ulang, tapi juga hubungan antara TNI dan rakyat yang semakin kokoh seperti fondasi rumah yang mereka bangun bersama.
Infrastruktur yang Menyentuh Kehidupan
Pembangunan oleh Satgas TMMD ke-124 tidak berhenti pada jembatan, jalan, dan rumah warga. Di sela-sela kerja fisik yang berat, prajurit TNI juga membangun infrastruktur yang menyentuh langsung kebutuhan harian masyarakat. MCK dan sumur bor dibangun di Desa Morengke, menjawab persoalan sanitasi dan air bersih yang selama ini menjadi tantangan utama.
Plat duiker di Desa Wia Wia dan Totole dibuat untuk memudahkan aliran air dan akses kendaraan, terutama di musim hujan. Bahkan rehabilitasi masjid di dua desa dan perbaikan tribun upacara pun dilakukan, memperlihatkan bahwa pembangunan menyasar dari kebutuhan spiritual hingga simbol-simbol kebersamaan warga.
Di Morengke, air bersih dulunya harus diambil dari mata air yang tersembunyi di balik bukit, nyaris satu kilometer jauhnya. Setiap hari, anak-anak dan ibu-ibu berjalan kaki sambil memikul jerigen. Kini, suara air yang mengalir dari keran depan rumah menjadi musik baru yang menenangkan.
“Kami tidak lagi khawatir kekurangan air saat kemarau,” ucap seorang warga dengan wajah lega. Di balik tiap sumur yang digali dan tiap bangunan yang direnovasi, ada upaya kolektif TNI dan warga membangun kehidupan yang lebih sehat, layak, dan bermartabat.
Menanam Nilai, Membangun Karakter
Pembangunan sejati tak hanya terlihat dari beton yang mengeras atau jalan yang terbuka lebar, tapi juga dari cara berpikir dan wawasan masyarakat yang tumbuh. Dalam TMMD ke-124, selain membangun secara fisik, prajurit TNI juga menggelar penyuluhan non-fisik yang menyasar hati dan pola pikir warga. Bertempat di balai desa dan masjid, materi tentang wawasan kebangsaan, bahaya narkoba, program keluarga berencana (KB), kesehatan, lingkungan hidup, hingga bela negara, disampaikan langsung oleh prajurit TNI bersama dinas terkait. Bukan sekadar ceramah, tapi ruang dialog yang membuka cakrawala masyarakat pedesaan.
Di Desa Wia Wia, ibu-ibu rumah tangga terlihat duduk antusias, mencatat, bertanya, dan berbagi cerita. Salah satunya adalah Siti, yang mengaku baru memahami pentingnya KB dan ancaman narkoba setelah mengikuti kegiatan ini. “Kami baru tahu betapa bahayanya narkoba, dan betapa pentingnya menjaga keluarga sehat,” tuturnya dengan semangat. Di bawah langit desa yang tenang, penyuluhan ini menjadi pupuk bagi tumbuhnya generasi muda yang lebih sadar, tangguh, dan siap membangun masa depan bangsa dari kampung sendiri.
Jejak Loreng di Tanah Rakyat
Kala suara alat berat berhenti dan debu perlahan mengendap, yang tertinggal bukan hanya bangunan melainkan kisah. Di tanah Morengke yang dulu sunyi, kini berdiri jembatan yang bukan sekadar penghubung dua daratan, tapi dua dunia dunia militer dan dunia rakyat.
TMMD ke-124 bukan parade alat, bukan seremonial semata. Ia adalah cara paling manusiawi dari seorang prajurit untuk mengatakan kami hadir, kami peduli, dan kami bekerja untukmu. Jejak sepatu loreng di jalan berlumpur itu perlahan menghilang, namun yang abadi adalah ingatan warga tentang tentara yang ikut mengaduk semen, yang makan nasi dari piring yang sama, dan yang menyapa bukan dengan aba-aba, tapi dengan senyum dan pelukan.
Ketika pasukan pulang ke barak dan alat-alat disimpan kembali di gudang, desa-desa ini tak lagi sama. Karena yang dibangun bukan hanya infrastruktur, tapi juga martabat, kepercayaan, dan harapan. Di ujung TMMD, rakyat dan TNI tak lagi berdiri berseberangan. Mereka berdiri bersama memandang ke depan, ke masa depan yang kini tak lagi terasa jauh.(*/ril)