Urgensi Pengawasan Partisipatif dalam Mengawal Pemilu dan Pilkada Serentak di Era Post-Truth

Penulis : La Ode Muh. Karman, SE., M.Si (Ketua Umum JPPR Kabupaten Muna Barat)

 

La Ode Karman Muh Karman, S.E.,M.Si

 

Demokrasi merupakan sistem politik yang memberikan ruang bagi keadilan dan persamaan hak bagi semua warga Negara. Sebagai sistem politik dan sistem pemerintahan demokrasi menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga dalam sistem demokrasi sejatinya pelaku utamanya adalah rakyat.

Pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta untuk pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota).

Perkembangan teknologi informasi dewasa ini melahirkan fenomena pergeseran aktor politik untuk melakukan sosialisasi melalui platfrom media sosial. Citra diri politisi dikonsolidasikan secara masif melalui pemberitaan di  media sosial guna mempengaruhi opini publik.

Beragam informasi yang diproduksi di media sosial sebagian “tidak bertuan” dan tidak jelas sumbernya. Informasi yang tidak jelas (hoax) begitu cepat dan dipercaya oleh masyarakat. Masyarakat mempercayai dan menyebarkan informasi tersebut sebab informasi tersebut dianggap mewakili dan sesuai dengan kondisi mereka dan apa yang selama ini telah mereka yakini. Dalam hal inilah terjadi post-truth. Dalam Oxford English Dictionary (2019) Post-truth di definisikan sebagai keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk debat politik atau opini publik dibandingkan dengan menarik emosi dan keyakinan personal. Hoax atau informasi palsu memiliki daya rusak sosial yang dahsyat karena melibatkan sisi emosi masyarakat sebagai pemicu ledakannya (Arifin & Fuad, 2020, hal. 380).

Pelaksanaan pemilhan umum (pemilu) dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah ditengah-tengah ketidakpastian informasi di ruang publik perlu mendapatkan pengawasan dengan tujuan memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan berimbang sehingga dialegktika publik saat penyelengaraan pemilu dan pilkada secara serentak dapat menjamin kualitas demokrasi itu sendiri.

Dalam upaya mewujudkan kualitas pemilu dan pilkada serentak yang demokratis, jujur dan adil di era post truth, maka ruang publik harus mendapat pengawasan dari seluruh elemen masyarakat. Kegiatan pengawasan partisipatif merupakan upaya untuk memastikan setiap pemilih memberikan suara secara cerdas, yang dapat dilakukan oleh pemilih (sendiri atau berkelompok), LSM, lembaga pemantau pemilu, peserta pemilu, lembaga survei, mereka yang berkarya di media massa, akademisi, kelompok profesi, dan organisasi kemasyarakatan.

Kajian JPPR menyebutkan tujuan partisipasi masyarakat dalam pemantauan penyelenggaraan pemilu adalah: (1) Mewujudkan pemilu yang berlangsung secara demokratis, sehingga hasilnya dapat diterima dan dihormati oleh semua pihak; (2) Pemantauan termasuk usaha menghindari terjadinya kecurangan, manipulasi, permainan serta rekayasa yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan kepentingan rakyat; dan (3) Menghormati serta meningkatkan kepercayaan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara (Ramadhanil, 2015: 36-37).

Urgensi dari keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam pengawasan pemilu serentak, tidak saja akan memperkuat kapasitas pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, namun pengawasan partisipatif yang dilakukan oleh civil societi mampu mendorong perluasan terhadap wilayah pengawasan yang melekat dalam fungsi Bawaslu sehingga tujuan utama terselenggara pemilu yang demokratis jujur dan adil dapat terwujud serta dapat mengurangi tingkat pelanggaran dalam setiap tahapan pemilu.

 

 

 

 

PemiluPilkada