Melawan Politik Uang dengan Adat Muna

Oleh : Aksar, S.Pd.I

Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.

Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.

Tindak pidana politik uang diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara.

Apabila ditelaah lebih dalam, pada hakikatnya politik uang tidak seirama dan senyawa dengan 3 tujuan penyelenggaraan Pemilu yakni sebagai berikut: pertama, memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis. Kedua, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas. Ketiga, mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien. Politik uang, jelas tidak dapat memperkuat sistem ketatanegaraan karena demokrasi dibajak melalui korupsi elektoral.

Hubungan antara politik uang yang dalam perspektif anti korupsi sering disebut sebagai korupsi elektoral dengan korupsi politik. Hal ini dirasa sangat penting sebab antara keduanya saling mempengaruhi dan berhubungan satu sama lain. Pada biasanya, korupsi elektoral merupakan cikal bakal terjadinya korupsi politik. Sementara itu tumbuh dan berkembangnya korupsi politik dalam suatu negara memiliki korelasi yang kuat dengan tidak efektifnya kontrol sosial dan penegakan hukum.

Harus diakui bahwa pembelian suara dengan sejumlah uang dalam Pemilu membutuhkan biaya yang sangat besar. Dalam konteks itu maka Pemilu menjadi high cost alias membutuhkan modal besar.

Mutatis mutandis ketika nanti terpilih maka hal pertama yang tebersit dalam pikirannya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan guna memenangkan pemilihan. Pada titik inilah maka akan terjadi korupsi politik dengan cara mendagangkan pengaruh, menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan yang telah diperoleh.

Berbicara tentang pencegahan tindak pidana sesungguhnya menjadi domain ilmu kriminologi. Demikian halnya dengan pencegahan tindak pidana politik uang maka pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan kriminologi sehingga dapat diketahui akar masalahnya termasuk cara memberangusnya. I

Pencegahan kejahatan ini dikemukakan oleh Steven P. Lab yang menyatakan bahwa pencegahan kejahatan dapat dibagi dalam 3 pendekatan yakni primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer difokuskan pada pencegahan masyarakat yang dimulai dari lingkungan rumah tangga, tempat bekerja, hingga hubungannya dengan aktifitas di luar lingkungannya. Pencegahan sekunder, lebih condong pada upaya untuk mengidentifikasi dan memprediksi potensi terjadinya kejahatan dengan melihat realitas sosial. Sedangkan pencegahan tersier merupakan upaya untuk membuat semacam kesepakatan dengan pelaku tindak pidana agar tidak lagi mengulangi perbuatannya

Cara-cara pendidikan politik selama ini yang terkesan formalistis perlu diubah. Masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dalam Pemilu perlu dibuatkan pendekatan khusus, seperti: Pendekatan tersier. Dalam konteks itu, masyarakat dapat disehatkan pikirannya sehingga mereka mampu menyadari bahwa demokrasi yang sehat hanya akan lahir dari pikiran masyarakat yang sehat yang pada ujungnya akan melahirkan pemimpin yang sehat dari korupsi. Masyarakat harus ada rasa memiliki atas daerah atau negaranya sehingga tidak mudah dibujuk dalam perilaku transaksional dan koruptif.

Dalam prespektif keislaman, politik uang relevan dengan apa yang dimaksud sebagai risywah.

Dalam Surat Al-Baqarah: 188 Allah SWT berfirman :

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

” Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS Al-Baqarah 188).

Dalam perspektif hukum Islam, wawasan masyarakat sangat terbatas mengenai masalah risywah dan hadiah. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa  risywah bukan sebuah kejahatan, tetapi hanya dosa kecil. Sebagian lain, walaupun mengetahui bahwa risywah adalah terlarang, namun mereka tidak peduli dengan larangan tersebut. Apalagi karena terpengaruh dengan imbalan yang dijanjikan.

Di sisi lain masyarakat menganggap risywah itu sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Bahkan ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yang telah diberikan seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai sebuah kesalahan atau pelangaran apalagi kejahatan.

Dalam sebuah hadits disebuthkan : “Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum” (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

 

Pendekatan Kultural

Menurut Abdul Wahab  berdasarkan  tutur  lisan  yang  didapat dan  didengarnya,  ada beberapa fahamu atau Falsafah Muna yang digunakan Sarano Wuna dalam mengadili perkara, dapat juga digunakan untuk memerangi tindakan Korupsi.

Pertama Fahamu Poliwu “Hansuru hansuru badha sumano kono hansuru liwu, Hansuru hansuru ana liwu sumano kono hansuru adhati, Hansuru hansuru ana adhati, sumano tangka agama” yang memili makna (Biar hancur badan asalkan daerah/kampung terjaga, Biar hancur daerah/kampung asalkan adat-istiadat terjaga, Biar hancur adat-istiadat asalkan agama (Islam) tetap tegak).

Yang kedua, Fahamu Hakunaasi yang bermakna semua hal yang berkaitan dengan hak seseorang yang tidak dapat diambil oleh orang lain. Menjaga keseimbangan kehidupan antara sesama manusia dan antara manusia dan alam. Hakunaasi merupakan salah satu ajaran dalam pogauno toba atau berbaiat kepada ajaran Nabi Muhammad SAW.

Yang ketiga, Mbolaku merupakan ajaran (doktrin) yang bermakna mencuri, karena pada zaman kerajaan mencuri dianggap hal yang sangat tabu dan memalukan.

Di sisi lain, salah satu tradisi yang dapat dijadikan upaya mencegah korupsi adalah tradisi katoba yang merupakan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat etnis Muna.

Tradisi katoba berarti “proses pengislaman.” Tradisi katoba merupakan penanaman nilai-nilai moralitas budaya Muna yang selaras dengan ajaran islam. Proses pelaksanaan katoba dilakukan dengan memberikan nasehat-nasehat pembentuk karakter kepada anak-anak menjelang baligh.

Nasehat-nasehat ini disebut dengan wambano toba (nasehat toba) yang disampaikan oleh imam dan diiyakan oleh anak yang di- katoba. Terdapat empat nasehat utama dalam tradisi katoba yang salah satunya adalah hakunahasi (hak nahas/hak orang lain).

Dalam nasehat toba yang keempat itu, dikatakan bahwa ada hakunahasi (hak nahas) yang merupakan hak milik orang lain yang tidak boleh kita pikirkan. Hal ini berarti kita harus mengendalikan pikiran kita untuk tidak berusaha memiliki sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Penyampaian nasehat toba merupakan upaya untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan amanah sejak dini sehingga diharapkan anak-anak akan tetap mengingat dan mengamalkan nilai-nilai ini di kemudian hari.

Penanaman nilai-nilai dalam ajaran Islam pada adat Muna dapat diidentifikasi dalam frasa “sumano tangka agama”, yang mana dimaknai sebagai nilai agama (Islam) di atas segalanya. Hal ini relevan dengan larangan politik uang sebagaimana dimaksud risywah. Secara tegas ajaran adat Muna yang berpondasikan agama Islam telah menekankan larangannya dalam  Surat Al Baqarah ayat 188. Secara fundamental, Fahamu Poliwu telah mencakup hal ini.

Kemudian, dalam Fahamu Hakuunasi, kita dilarang untuk memakan sesuatu yang batil. Sebagaimana Politik Uang merupakan suatu kebatilan yang berdampak keburukan (sistemik), Hakuunasi menjaga agar kita terhindar dari itu. Uang, materi, imbalan lainnya dari politik uang merupakan hal yang tidak halal untuk dimakan, dikonsumsi. Karena lahir dari proses yang menyebabkan kerugian pada orang lain.

Politik uang sebagai variable utama terjadinya korupsi sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan sejak dini oleh masyarakat Muna. Dalam skema berkerajaan, Fahamu Poliwu jelas menanamkan nilai agama sebagai pondasi nilai yang dianut oleh masyarakat Muna. Demikian pula dalam konteks pengislaman atau yang disebut Katoba, telah mengajarkan kita untuk menjaga integritas, memakan sesuatu yang halal dan tidak merugikan orang lain. Di luar itu masih banyak lagi petuah-petuah yang bis akita jadikan pegangan hidup untuk menghindari praktik politik uang sebagai kejahatan yang dapat merugikan kehidupan masyarakat Muna secara kolektif maupun secara individu.

Penulis adalah Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Muna

 

 

 

Adat MunaBawasluMunaPolitik UangViral